(Esai reflektif-filosofis tentang suara yang mulai kehilangan cerita)
Ada masa di mana suara adalah dunia. Dunia itu tidak punya bentuk, tapi punya wajah yang bisa kita bayangkan. Suara adalah jendela menuju mimpi, dan radio adalah petanya.
Saya masih ingat, betul-betul ingat, bagaimana suara Brama Kumbara dan tokoh-tokoh kerajaan Madangkara membelah malam saya di Jakarta. Saya, anak SD yang belum tahu politik, belum kenal algoritma, tapi sudah tahu satu hal: hidup bisa terasa lebih seru ketika dibacakan, bukan ditampilkan. Drama radio bukan sekadar hiburan. Ia adalah jembatan menuju dunia di mana imajinasi adalah raja, dan suara penyiar adalah pemandunya.
Dan jangan lupakan Mak Lampir. Misteri Gunung Merapi dulu seperti lubang hitam: menyedot perhatian, menegangkan, dan sesekali bikin saya tak bisa tidur karena kepala saya masih berputar-putar dengan teriakan latar yang mendesis. Saya tidak hanya mendengar ceritanya—saya hidup di dalamnya.
Lalu waktu bergerak. Saya remaja. SMA. Ada ritus kecil yang absurd tapi suci: menunggu lagu favorit diputar di radio, jari sudah siaga di tombol “REC” di mini compo di kamar. Dan ketika akhirnya lagu itu muncul—entah Radiohead, Smashing Pumpkins, atau Silverchair—saya tekan tombolnya. Sebagian lagunya terpotong oleh suara penyiar yang terlalu semangat, tapi saya tetap bahagia. Itu rekaman yang saya perjuangkan, bukan playlist yang jatuh dari langit.
Kini, saya masih mendengarkan radio. Tapi rasa itu hilang. Radio masih ada, tapi jiwa yang dulu menuntun imajinasi saya kini lebih sering terdengar sibuk membacakan kondisi lalu lintas atau memutarkan lagu-lagu dengan tempo cepat dan transisi tanpa emosi. Penyiar kini tak lagi seperti pemandu kisah, tapi seperti petugas informasi di bandara: jelas, praktis, dan cepat berlalu.
Apa yang berubah?
Barangkali bukan hanya radionya. Kita semua berubah. Kita menuntut kecepatan, bukan keintiman. Kita ingin akurasi, bukan cerita. Radio terpaksa ikut. Ia bukan lagi rumah dongeng yang memanjakan telinga, tapi toko serba ada yang hanya memberi apa yang cepat kita inginkan. Di dunia yang dikuasai oleh algoritma dan suara-suara seragam, mungkin kita tak lagi punya waktu untuk mendengarkan sesuatu yang pelan, hangat, dan tidak instan.
Tapi saya percaya: kerinduan akan suara yang bercerita tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya tersingkir. Ia menunggu waktu. Menunggu kita, manusia-manusia yang jenuh dengan visual, untuk kembali duduk dan hanya mendengar. Bukan sekadar mendengar lagu, tapi mendengar kehidupan lewat suara.
Karena suara tidak butuh filter. Ia tidak bisa dimanipulasi seperti gambar—dan justru di situlah kejujurannya. Ia bisa berbohong, tapi kita akan tahu. Karena suara datang dari ruang yang lebih dalam. Dan radio, jika ia masih ingat siapa dirinya, masih punya tempat untuk menjadi teman paling jujur dalam hidup yang makin sunyi oleh kebisingan.
Kadang saya bertanya, bukan pada radio, tapi pada diri saya sendiri: kapan terakhir kali saya menunggu? Bukan antrean layanan online, tapi benar-benar menunggu—seperti menanti suara Brama Kumbara muncul, atau berharap lagu favorit diputar pukul sembilan malam.
Di dunia yang serba “on demand”, menunggu adalah tindakan yang nyaris revolusioner. Menunggu artinya memberi waktu untuk harapan tumbuh, untuk rasa penasaran merambat, untuk makna mengendap. Radio, dalam bentuknya yang paling manusiawi, pernah menjadi ritual itu. Ia tidak terburu-buru, ia tidak mendorong kita menekan tombol “next”. Ia mengajak kita duduk sebentar, mendengarkan sebentar, membayangkan sebentar.
Kini semua itu terdengar usang. Drama radio? Siapa yang masih mau mendengar sandiwara tanpa gambar? Siapa yang mau diceritakan secara lambat, jika bisa menonton versi film 1,5x speed?
Tapi saya tidak ingin mengutuk zaman. Tidak ada gunanya bernostalgia sambil menyalahkan kemajuan. Ini bukan tentang memilih antara radio atau Spotify, antara sandiwara atau streaming. Ini tentang menyadari apa yang hilang: rasa terhubung secara lambat, personal, dan tak seragam.
Karena jika dipikir-pikir, mungkin yang kita rindukan bukan hanya radionya—tetapi cara kita mendengar, dan siapa diri kita saat sedang mendengar itu.
Saya masih memutar radio, terutama saat berkendara—bukan untuk menemukan cerita, tapi sekadar ditemani suara manusia.. Mendengar penyiar pagi bercanda soal cuaca dan lalu lintas. Kadang saya membatin: kamu dulu punya sayap, sekarang jadi alat ukur kecepatan mobil. Tapi entah mengapa, saya tetap bertahan. Karena di balik candaan garing dan iklan bertubi-tubi, saya masih menangkap satu hal: suara manusia. Yang hidup, yang spontan, yang sesekali terdengar gugup. Dan di era di mana semuanya makin terdikte dan dibersihkan oleh AI, suara manusia yang belum sempurna itu terasa semakin mahal.
Jadi tidak, radio belum mati. Tapi ia tua. Terkadang pelupa. Sering lelah mengikuti zaman. Tapi ia tetap bernapas.
Dan saya percaya: selama masih ada satu orang yang mendengarkan bukan karena ingin cepat, tapi karena ingin terhubung, maka suara radio tak akan pernah benar-benar padam.
Mungkin, ia hanya menunggu waktu untuk kembali bercerita.
- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment