Skip to main content

Satu Film, Satu Lagu, dan Sisa-Sisa yang Masih Bisa Dipegang

 

Ada satu lagu dari era 90-an yang sampai hari ini nggak pernah benar-benar hilang dari kepala saya. Lagu yang awalnya saya ingat cuma karena nadanya enak, chord-nya gampang, dan cocok banget buat belajar gitar pertama kali. Judulnya Breakfast at Tiffany’s, dibawakan oleh band bernama Deep Blue Something—yang, jujur saja, sampai sekarang pun banyak orang hanya tahu satu lagu itu dari mereka. Tapi lucunya, justru lagu satu itu cukup untuk meninggalkan kesan mendalam.

Waktu lagu itu sering muter di radio, saya masih remaja. Hidup belum rumit. Akhir pekan isinya nonton kartun dari jam 7 pagi, sarapan gorengan dengan teh manis hangat, dan kekhawatiran terbesar saya adalah lupa ngerjain tugas kuliah.  Cinta? Pacaran sama teman sejurusan yang saya tembak sebulan pasca ospek. Saya suka lagu itu karena iramanya bikin semangat, dan ya, karena main chord-nya cuma butuh G – D – C – Em—kombinasi sakti yang bikin saya ngerasa seperti gitaris profesional meski baru bisa satu lagu.

Tapi seperti banyak hal dalam hidup, makna lagu itu baru terasa betul setelah waktu berjalan dan hidup mulai menunjukkan giginya.

Liriknya sederhana: sepasang kekasih duduk, mungkin sedang bicara soal hubungan mereka yang mulai renggang. Mereka menyadari bahwa mereka punya terlalu banyak perbedaan. Tapi si pria mencoba mencari satu hal—apa pun itu—yang bisa jadi alasan untuk tetap bersama. Dan yang dia temukan? Sebuah film lama: Breakfast at Tiffany’s.

“And I said, what about Breakfast at Tiffany’s?”
She said, “I think I remember the film,
And as I recall, I think we both kinda liked it.”
And I said, “Well, that’s the one thing we’ve got.”

Dulu saya pikir itu lucu. Sekarang saya tahu: itu tragis.

Bayangkan, satu-satunya benang yang masih bisa ditarik dari tumpukan kenangan bersama adalah film yang bahkan mereka nggak terlalu suka-suka amat. Mereka cuma “kinda liked it.” Tapi buat si pria, itu cukup. That’s the one thing we’ve got.

Dan di titik ini, rasanya lagu ini bukan cuma soal cinta yang mulai retak. Tapi tentang bagaimana manusia kadang berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan sesuatu yang sudah lama kehilangan bentuk aslinya. Kita nggak rela menyerah, jadi kita gali kenangan, cari sisa-sisa kecil yang bisa dijadikan alasan buat bertahan. Bahkan kalau itu cuma nostalgia samar tentang film jadul yang ditonton bareng.

Menariknya, Breakfast at Tiffany’s—film yang jadi judul lagu ini—juga bukan cerita cinta yang utuh dan manis seperti dongeng Disney. Film itu, yang dibintangi Audrey Hepburn sebagai Holly Golightly, justru bicara tentang perempuan yang kompleks, lari dari masa lalu, dan hubungan yang nggak jelas ujungnya. Holly bukan tipe tokoh yang bisa “diselamatkan” atau dipeluk lalu semuanya baik-baik saja. Dia rumit, bebas, dan sering kali sendiri bahkan saat dikelilingi banyak orang.

Jadi, ketika lagu ini menjadikan Breakfast at Tiffany’s sebagai simbol satu-satunya kesamaan, mungkin ada ironi di situ. Si tokoh pria dalam lagu seolah berkata: “Kita nggak cocok, tapi kita pernah nonton film yang ceritanya juga nggak cocok-cocok amat, dan kita sedikit suka. Jadi, mungkin itu cukup?”

Dan di situlah kita sebagai orang dewasa mulai mengerti. Hidup tidak selalu butuh alasan besar untuk membuat sesuatu berarti. Kadang yang kita pegang hanyalah pecahan kecil: lagu yang pernah kita nyanyikan bersama, kopi favorit yang dulu sering dibeli bareng, atau bahkan sekadar satu momen sunyi yang terasa nyaman. Tapi apakah itu cukup untuk bertahan? Entahlah. Lagu ini juga nggak memberikan jawaban. Dan mungkin itu justru yang bikin lagu ini jujur.

Saya pernah baca satu kutipan dari Alain de Botton: “Compatibility is an achievement of love; it shouldn’t be its precondition.” Dan mungkin Breakfast at Tiffany’s adalah gambaran dari dua orang yang mencoba “mencapai” kompatibilitas itu lewat ingatan, bukan kenyataan.

Sekarang, setiap kali saya mendengar lagu itu lagi—entah dari suggestion YouTube yang muncul random, atau dari kafe yang kebetulan nostalgia 90-an—saya nggak cuma tersenyum. Saya juga diam. Karena lagu ini adalah pengingat bahwa kita pernah polos, pernah bodoh, pernah berharap dari hal-hal kecil… dan kadang, kita masih begitu.

Lucu, ya? Lagu yang dulu saya mainkan sambil sok-sokan jadi cowok keren dengan gitar di pangkuan, sekarang jadi semacam refleksi tentang hubungan yang banyak orang-orang alami. Lagu ini seperti waktu yang membeku—ia menyimpan versi kita yang kecil, tapi juga berbicara ke kita yang sekarang. Dan di antara dua versi diri itu, satu hal yang pasti: kita semua pernah berpegangan pada sesuatu yang rapuh, berharap itu cukup untuk tidak jatuh.

Dan Breakfast at Tiffany’s? Itu bukan cuma film. Bukan cuma lagu. Itu simbol dari semua yang tersisa, ketika semua yang besar sudah lenyap. Ketika yang bisa kita andalkan hanyalah kenangan samar, dan kalimat “I think we both kinda liked it.”

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...