Sudah saatnya gelombang euforia berganti menjadi perenungan.
Ini bukan lagi soal satu dua kisah sukses yang dibesar-besarkan, tapi masalah yang tengah terjadi secara luas.
Dulu, Nadiem Makarim dianggap sebagai ukuran kesuksesan teknologi Indonesia.
Banyak yang terlena, seakan-akan kesuksesan beliau nantinya akan menular pada siapapun yang belajar IT.
Tapi sekarang?
Suasananya berubah.
Banyak yang tengah gelisah.
Lulusan IT kesulitan mencari kerja, para profesional diberhentikan, dan lowongan kerja yang tersedia menyusut.
Ini terjadi bukan karena mereka bodoh atau tak belajar.
Ini terjadi karena memang tengah terjadi masalah yang lebih luas.
Pasar kerja teknologi sedang jenuh.
Jumlah pencari kerja terus bertambah, tapi lowongannya tidak sebanding.
Dan ukuran kesuksesan masih diberatkan pada gelar, portofolio, dan stack teknologi — bukan pada kemampuan manusiawi yang dimilikinya.
Dan di tengah masalah ini, para petinggi teknologi — CTO, CIO, dan VP — masih lebih sering sibuk mencari teknologi mana yang paling unggul, framework apa yang paling keren, dan bahasa apa yang paling unggul.
Sementara di bawah, gelombang pengangguran tengah terjadi.
Bukan karena talenta tak tersedia, tapi karena jembatan untuk menyerap dan memberdayakan mereka memang tak dibangun.
Ini saatnya bergeser.
Sudah bukan waktunya ukuran kesuksesan sebuah perusahaan teknologi bergantung pada seberapa luas stack teknologi yang diterapin, tapi pada seberapa matang manusia diberdayakan.
Tech leader punya tanggung jawab moral — ya, moral — untuk mencari solusi.
Bukan mencari “superstar coder” yang siap kerja rodi demi gaji rendah, tapi menjadi jembatan yang dapat menemukan, mendidik, dan menyerap bakat-bakat yang tengah kesulitan.
Ini memang bukan masalah gampang.
Ini masalah yang terjadi luas, bukan per orang.
Dan memang, tak akan selesai hanya dengan satu dua langkah, tapi setidaknya dimulai dari kesadaran:
Bahwa ukuran kesuksesan teknologi bukan sebatas code dan revenue, tapi seberapa luas manusia diberdayakan olehnya.
Kalau terus dibiarkan, nantinya bukan hanya terjadi “defisit talenta”— tapi krisis manusiawi.
Satu demi satu, angkatan kerja yang tengah mencari tempat nantinya akan terlempar, terlunta, dan terlupakan.
Dan pada saat yang sama, para petinggi masih bergelung pada masalah teknologi, bukan masalah manusia.
Sudah saatnya bergeser.
Tech bukan hanya soal stack dan code.
Tech juga soal manusia — soal nasib, masa depan, dan kepantasan hidup.
Kalau memang nantinya terjadi gelombang resesi teknologi, setidaknya jangan sampai terjadi resesi hati.
Ini momentum penting.
Kalau terus dibiarkan, nantinya bukan hanya terjadi “defisit talenta”— tapi krisis manusiawi.
Dan ketika gelombang tersebut nantinya surut, yang tertinggal bukan hanya perusahaan yang berguguran, tapi sebuah generasi yang terlantar.
Jadi, para CTO, CIO, VP of Tech, dan siapapun yang tengah duduk di puncak kepemimpinan teknologi — perbedaannya bukan pada seberapa luas stack yang diterapin, tapi seberapa luas kepedulian yang dimiliki.
Tech memang tengah bergelut, tapi bukan berarti harus mati.
Ini saatnya bergeser dari ukuran ego dan teknologi demi teknologi, menuju ukuran manusia demi manusia.
Kalau memang nantinya terjadi gelombang resesi teknologi, setidaknya jangan sampai terjadi resesi hati.
Comments
Post a Comment