Skip to main content

Tech Winter dan Mitos “Nadiem 4.0”—Ketika Pasar Kerja IT Tak Semanis Ceritanya

 


Sudah saatnya gelombang euforia berganti menjadi perenungan.
Ini bukan lagi soal satu dua kisah sukses yang dibesar-besarkan, tapi masalah yang tengah terjadi secara luas.

Dulu, Nadiem Makarim dianggap sebagai ukuran kesuksesan teknologi Indonesia.
Banyak yang terlena, seakan-akan kesuksesan beliau nantinya akan menular pada siapapun yang belajar IT.
Tapi sekarang?
Suasananya berubah.
Banyak yang tengah gelisah.
Lulusan IT kesulitan mencari kerja, para profesional diberhentikan, dan lowongan kerja yang tersedia menyusut.

Ini terjadi bukan karena mereka bodoh atau tak belajar.
Ini terjadi karena memang tengah terjadi masalah yang lebih luas.
Pasar kerja teknologi sedang jenuh.
Jumlah pencari kerja terus bertambah, tapi lowongannya tidak sebanding.
Dan ukuran kesuksesan masih diberatkan pada gelar, portofolio, dan stack teknologi — bukan pada kemampuan manusiawi yang dimilikinya.

Dan di tengah masalah ini, para petinggi teknologi — CTO, CIO, dan VP — masih lebih sering sibuk mencari teknologi mana yang paling unggul, framework apa yang paling keren, dan bahasa apa yang paling unggul.
Sementara di bawah, gelombang pengangguran tengah terjadi.
Bukan karena talenta tak tersedia, tapi karena jembatan untuk menyerap dan memberdayakan mereka memang tak dibangun.

Ini saatnya bergeser.
Sudah bukan waktunya ukuran kesuksesan sebuah perusahaan teknologi bergantung pada seberapa luas stack teknologi yang diterapin, tapi pada seberapa matang manusia diberdayakan.
Tech leader punya tanggung jawab moral — ya, moral — untuk mencari solusi.
Bukan mencari “superstar coder” yang siap kerja rodi demi gaji rendah, tapi menjadi jembatan yang dapat menemukan, mendidik, dan menyerap bakat-bakat yang tengah kesulitan.

Ini memang bukan masalah gampang.
Ini masalah yang terjadi luas, bukan per orang.
Dan memang, tak akan selesai hanya dengan satu dua langkah, tapi setidaknya dimulai dari kesadaran:
Bahwa ukuran kesuksesan teknologi bukan sebatas code dan revenue, tapi seberapa luas manusia diberdayakan olehnya.

Kalau terus dibiarkan, nantinya bukan hanya terjadi “defisit talenta”— tapi krisis manusiawi.
Satu demi satu, angkatan kerja yang tengah mencari tempat nantinya akan terlempar, terlunta, dan terlupakan.
Dan pada saat yang sama, para petinggi masih bergelung pada masalah teknologi, bukan masalah manusia.

Sudah saatnya bergeser.
Tech bukan hanya soal stack dan code.
Tech juga soal manusia — soal nasib, masa depan, dan kepantasan hidup.
Kalau memang nantinya terjadi gelombang resesi teknologi, setidaknya jangan sampai terjadi resesi hati.

Ini momentum penting.
Kalau terus dibiarkan, nantinya bukan hanya terjadi “defisit talenta”— tapi krisis manusiawi.
Dan ketika gelombang tersebut nantinya surut, yang tertinggal bukan hanya perusahaan yang berguguran, tapi sebuah generasi yang terlantar.

Jadi, para CTO, CIO, VP of Tech, dan siapapun yang tengah duduk di puncak kepemimpinan teknologi — perbedaannya bukan pada seberapa luas stack yang diterapin, tapi seberapa luas kepedulian yang dimiliki.

Tech memang tengah bergelut, tapi bukan berarti harus mati.
Ini saatnya bergeser dari ukuran ego dan teknologi demi teknologi, menuju ukuran manusia demi manusia.
Kalau memang nantinya terjadi gelombang resesi teknologi, setidaknya jangan sampai terjadi resesi hati.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...