24 Juli 2025. Menteri Komunikasi dan Digitalisasi (Menkomdigi) berdiri percaya diri di podium. Dengan senyum yang (seolah) meyakinkan, ia mengatakan bahwa transfer data pribadi Indonesia ke Amerika Serikat akan menjadi “pijakan hukum yang aman dan terukur.”
Kata kunci: aman dan terukur.
Tapi aman untuk siapa? Terukur oleh siapa?
Karena ketika seseorang berbicara tentang keamanan, kita berhak bertanya: apakah keamanan itu ditimbang berdasarkan standar bangsa sendiri, atau standar bangsa lain yang bahkan tak pernah mengakui kita sebagai rekan sejajar?
Ketika seseorang bicara tentang ukuran, kita harus bertanya: apakah kita ini sedang mengukur hak rakyat, atau sedang menyesuaikan diri dengan penggaris asing?
Kesepakatan yang Menyamar sebagai Kemajuan
Kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS ini sudah terasa getir bahkan sebelum tinta pengesahan mengering. Produk Indonesia ke AS dikenakan tarif 19%, sementara produk AS ke Indonesia bebas bea 0%.
Ini bukan simbiosis mutualisme. Ini lebih mirip simbiosis penyerahan diri.
Dan di tengah ketimpangan itu, kita justru menyerahkan mahkota emas masa depan kita: data pribadi. Data bukan lagi sekadar informasi. Ia adalah minyak baru, logam langka, bahkan lebih berharga dari emas. Dengan data, seseorang dapat mengontrol pasar, opini, perilaku, dan pada akhirnya: masa depan.
UU PDP: Simbol atau Senjata?
Indonesia memang telah mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi. Kita menyambutnya sebagai tonggak sejarah. Tapi ketika pemerintah sendiri yang membuka gerbang bagi negara lain untuk mengakses data kita, UU itu seketika berubah dari senjata kedaulatan menjadi hiasan di dinding rapat diplomatik.
Pasal 55-56 UU PDP jelas mengatur bahwa transfer data ke luar negeri harus berdasarkan prinsip keamanan, perlindungan hak subjek data pribadi, dan izin dari pemerintah Indonesia. Tapi bagaimana jika pemerintah itu sendiri tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan pada kepentingan pasar?
Kedaulatan Digital: Mati Sebelum Tumbuh
Kita sedang menyaksikan momen paling ironis dalam sejarah teknologi Indonesia. Di saat kita sedang merayakan “kemajuan” dalam bentuk UU PDP, kita juga membuka semua pintu server dan firewall untuk ditonton oleh kekuatan asing.
Kita memang belum memiliki cloud nasional yang andal. Kita masih tergantung pada AWS, Azure, dan Alibaba Cloud. Tapi apakah itu alasan untuk menyerah? Ataukah itu justru alasan untuk segera bangkit?
Jangan sampai kita menjadi bangsa yang dengan bangga berkata: "Kami tidak punya teknologi, jadi lebih baik kami serahkan saja semua datanya."
Itu bukan strategi. Itu bunuh diri kolektif dengan persetujuan pers.
Menguasai Tanpa Menjajah
Amerika tidak perlu mengirimkan satu pun tentara untuk “menguasai” Indonesia. Mereka hanya perlu satu hal: akses.
Dengan akses terhadap data pribadi warga Indonesia, mereka bisa membaca pola konsumsi, menyusun strategi pasar, memetakan opini publik, bahkan mengetahui titik-titik lemah dalam struktur ekonomi kita. Dan jika itu masih dianggap “tidak apa-apa,” maka pertanyaannya sederhana: masihkah kita bangsa yang berdaulat, atau hanya koloni digital yang terselubung?
Akhir Kata: Bangga Dalam Kekalahan?
Kalah itu biasa. Tapi membanggakan kekalahan adalah tragedi mentalitas.
Kita bisa menerima kekalahan dalam perang tarif. Tapi membanggakan diri ketika data pribadi kita resmi ditransfer ke negara yang bahkan tak memberikan perlindungan hukum bagi kita? Itu bukan kompromi. Itu bukan diplomasi. Itu menyerah sambil tersenyum.
UU PDP akan menjadi catatan sejarah: apakah ia benar-benar digunakan untuk melindungi warga negara, atau hanya dijadikan lembaran dekoratif dalam pesta digitalisasi global yang tidak pernah benar-benar mengundang kita duduk di meja utama.
Karena di abad ini, yang menguasai data, menguasai dunia.
Dan kita? Kita sedang sibuk mencuci tangan, sambil membuka pintu.
Comments
Post a Comment