Tahun ini, Indonesia kembali membuktikan satu hal yang luar biasa: bahwa hukum bukanlah kitab suci yang wajib ditaati, melainkan sekadar dekorasi yang tergantung manis di ruang tamu kekuasaan. Sementara rakyat masih sibuk membayar parkir minimarket dan debat apakah nyicil motor bisa bikin masuk surga atau neraka, para pejabat justru sibuk... mengisi dua absen sekaligus.
Selamat datang di WaMen Fest – festival tahunan tak resmi yang merayakan kepiawaian para Wakil Menteri merangkap Komisaris BUMN. Jika Anda berpikir multitasking adalah skill manajerial, mereka sudah menjadikannya agama. Inilah ajang selebrasi diam-diam atas pelanggaran terang-terangan terhadap Good Governance, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005, dan setumpuk regulasi lain yang tampaknya hanya berlaku untuk rakyat biasa dan honorer desa.
Sesi 1: How to Get a Job Without Applying on LinkedIn
Bicara soal kerja, di negeri ini, meritokrasi hanyalah mitos urban seperti tuyul atau unicorn start-up. Para WaMen tidak perlu membuat CV, tidak perlu menghadiri interview, apalagi mengganti foto profil LinkedIn. Cukup dengan bersyahadat politik yang benar dan berjejaring dalam orbit kekuasaan, maka posisi strategis di BUMN akan datang menghampiri seperti malaikat penjemput rezeki.
Sim salabim, seketika Anda bisa jadi Wakil Menteri sekaligus Komisaris di PT Telkom, PT PLN, bahkan PT Dahana – tanpa takut dicap korupsi waktu dan konflik kepentingan. “It’s not about what you know, it’s about who you know,” kata mereka sambil tersenyum di rapat dewan komisaris yang hanya berlangsung dua jam tapi honornya cukup buat DP Alphard.
Sesi 2: Double Job Management – Mengapa Satu Jabatan Terlalu Sederhana untuk Orang Besar
Dari Giring Ganesha hingga Fahri Hamzah, dari Veronica Tan hingga Taufik Hidayat – daftar peserta WaMen Fest tahun ini semakin meriah. Tak peduli latar belakang, yang penting loyalitas dan keberadaan di lingkaran kuasa. Bahkan mantan pebulu tangkis dan penyanyi pun kini bisa duduk di meja komisaris. Di sinilah kita belajar: profesionalisme adalah hal kedua, yang utama adalah keterhubungan dengan kekuasaan.
Sementara itu, rakyat disuruh memilih antara makan atau beli kuota. Di sisi lain, para pejabat menikmati gaji ganda, fasilitas negara, dan kehormatan sebagai wajah ganda republik ini – di kementerian dan di perusahaan negara.
Sesi 3: Good Governance and Other Fairy Tales
Pasal demi pasal tentang larangan rangkap jabatan adalah semacam dongeng pengantar tidur untuk anak-anak hukum tata negara. Bahkan Presiden sendiri pada 2015 pernah mengatakan bahwa pejabat negara tidak boleh merangkap jabatan demi menjaga profesionalitas dan fokus kerja. Tapi tahun demi tahun, daftar komisaris justru diisi oleh para Wakil Menteri. Kita menyaksikan sendiri, tidak ada sanksi, tidak ada teguran, hanya pengabaian sistematis dari elite negara yang membungkus pelanggaran dengan senyum seremonial.
Pertanyaannya sederhana: jika pemerintah tidak bisa menegakkan peraturannya sendiri, lalu apa makna dari negara hukum? Atau lebih jujur lagi: apakah kita benar-benar negara hukum, atau hanya negara dengan brosur hukum?
Sesi 4: Politics for a Better Life Career
Tidak perlu PhD, cukup jadi loyalis. Di negeri ini, politik bukan lagi sarana perjuangan ideologi, tapi eskalator karier tercepat. Masuk partai, bersalaman dengan elite, teriak keras di masa kampanye, lalu tunggu SK pelantikan. Anda bisa jadi Wakil Menteri. Setelah itu, tak perlu heran jika pintu-pintu komisaris terbuka lebar seperti diskon tengah malam.
Di sinilah kita belajar: integritas kalah dari integrasi. Profesional kalah dari politikal. Dan etika... ya, itu hanya bahan stand up comedy.
Sesi 5: Ikhlas vs Tugas – Ketika Jabatan Jadi Ladang Amal
Ada yang bilang mereka menjalankan dua jabatan karena panggilan negara. Tapi mari kita realistis: jika panggilan itu tidak datang dengan gaji puluhan juta per bulan, mobil dinas, dan fasilitas mewah, apakah mereka akan tetap mendengar panggilan itu?
Rangkap jabatan bukanlah bentuk pengabdian, tapi pengkhianatan terhadap prinsip efisiensi dan keadilan. Ini bukan soal mampu atau tidak mampu, tapi soal etika publik dan conflict of interest yang merusak tatanan BUMN sebagai entitas profesional.
Negara yang Tak Mau Tahu
Negara ini bukan tidak tahu. Negara ini memilih untuk tidak tahu.
Pelanggaran rangkap jabatan adalah simtom dari penyakit lama: kompromi sistemik demi stabilitas politik. Sementara rakyat didorong untuk bekerja keras, jujur, dan patuh pada peraturan, pejabat justru diberikan karpet merah untuk melanggar semua itu atas nama kepentingan “negara”.
Dan kita tahu, dalam praktiknya, “negara” itu siapa.
Maka selamat datang di WaMen Fest. Sebuah festival tak resmi yang menertawakan akal sehat dan mempermalukan hukum yang tak pernah ditegakkan. Sebuah panggung di mana pejabat bisa tampil dengan dua topi, dua gaji, dan nol rasa malu.
Di negeri ini, yang ganda bukan cuma badminton.
Catatan Kaki:
-
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Pasal 17 mengatur larangan pejabat publik merangkap jabatan komisaris BUMN, kecuali atas penugasan oleh Presiden.
-
Banyak jabatan komisaris ini de jure dianggap penugasan, tapi tidak transparan apakah benar-benar berdasarkan seleksi atau sekadar akomodasi politik.
-
Kementerian BUMN pernah menyatakan akan menyusun aturan tegas, namun realisasinya tak kunjung tiba.
Comments
Post a Comment