Di zaman ketika rotan sudah diganti kode etik, dan sabetan digantikan seminar parenting, kita merasa sudah jadi orang tua yang “modern”. Sudah tidak memukul, sudah tidak bentak-bentak, sudah kasih makan bergizi dan mainan edukatif. Tapi anehnya, kenapa anak-anak zaman sekarang tetap tumbuh dengan rasa asing terhadap kita? Kenapa ketika dewasa, mereka tidak ingin dekat, malas bicara, bahkan merasa lebih nyaman curhat ke dunia maya daripada ke orang tua mereka sendiri?
Mungkin kita lupa satu jenis kekerasan yang tetap hidup diam-diam, bahkan makin canggih dalam penyamarannya: kekerasan emosional.
Ia tidak berbentuk luka di kulit. Tidak terdengar seperti bentakan. Tapi ia hadir lewat keheningan. Lewat pandangan yang tidak diberikan. Lewat kehadiran yang hanya fisik, tapi jiwanya entah di mana.
Mari kita tarik satu momen kecil. Seorang anak, sebut saja Naya, datang membawa gambar kupu-kupu ke ayahnya.
“Pah, warna apa yang bagus buat sayap kupu-kupu ini?”
Tapi sang ayah hanya menjawab, “Terserah. Itu cuma warna.”
Tangannya sibuk menggulir layar Facebook. Matanya tak berpaling.
Dan Naya pun pergi, diam-diam mengubur rasa antusiasnya.
Satu detik kecil, satu luka kecil. Tapi bayangkan jika itu terjadi tiap hari.
Inilah bentuk kekerasan yang tak kasat mata. Kita tidak berniat menyakiti, tapi rasa sakit itu nyata. Karena anak-anak tidak butuh pengasuhan ala korporasi: disuplai makan, diberi seragam, diantar sekolah. Mereka butuh dilihat. Butuh didengar. Butuh disambut dengan tatapan yang mengatakan: “Aku hadir untukmu.”
Kita sering berdalih, “Saya capek. Saya kerja dari pagi sampai malam. Demi anak juga.” Tapi sayangnya, yang anak perlukan bukan semata hasil kerja kita, tapi keberadaan kita. Emosional, bukan hanya logistik.
Ironisnya, kita begitu rajin menyemangati orang asing di media sosial, tapi pelit pujian kepada anak sendiri. Anak ranking 7, kita cuek. Ranking 19, malah diceramahi. Seolah nilai sekolah adalah tiket penghargaan, dan perjuangan tidak berarti tanpa hasil sempurna. Padahal satu kalimat: “Keren, kamu sudah berusaha,” bisa jadi pelumas kepercayaan diri seumur hidup.
Banyak dari kita juga terlalu sibuk menata anak jadi rapih di mata tetangga, tapi lupa menata emosinya agar utuh di dalam. Anak ingin pakai baju kuning, kita paksa merah. Anak pilih sepatu sandal, kita larang habis-habisan. Demi estetika, demi kesan “terdidik”, kita matikan naluri memilih mereka sejak kecil. Dan kelak, kita heran mengapa anak itu tumbuh gamang, tak tahu harus jadi siapa.
Lebih parah lagi, kita sering mempermalukan anak secara halus, penuh niat “bercanda”. Ketika orang lain memuji anak mencuci piring, kita malah menyeletuk, “Halah, di rumah juga ogah-ogahan.”
Mungkin maksudnya rendah hati. Tapi yang tersakiti bukan harga diri kita—tapi anak yang mendengarnya.
Dan ketika anak merasa dirugikan, kita malah menyepelekan.
“Penghapusmu diambil Fadil? Sudahlah, nanti Bunda beli.”
Padahal anak tak sedang bicara soal barang, dia bicara soal keadilan.
Tapi kita, terlalu malas mendengarkan perjuangan kecil mereka.
Mereka minta kita jadi pembela, tapi kita malah jadi hakim pemalas.
Sikap ini diperparah dengan penolakan kaku terhadap permintaan anak. Anak minta jajan, kita jawab: “Enggak. Udah, jangan banyak mau.”
Kalau tidak hati-hati, kita hanya akan mengajarkan bahwa keinginan mereka tak layak disuarakan, tak layak didengar.
Lalu, ketika anak remaja mulai diam, kita panik. Ketika mereka mulai menutup pintu kamar, kita mengeluh. Ketika mereka lebih nyaman ngobrol dengan teman atau TikTok daripada dengan kita, kita bilang mereka kurang ajar. Kita lupa bahwa keheningan itu adalah hasil tabungan luka-luka kecil yang kita berikan setiap hari—tanpa kita sadari.
Kita terlalu sering membesarkan anak seperti membentuk boneka. Dipoles dari luar, diarahkan supaya sesuai. Tapi kita lupa bahwa mereka manusia. Punya suara, punya pilihan, punya batas sabar.
Dan saat kita merasa kehilangan anak kita ketika mereka tumbuh besar, kadang itu bukan karena mereka menjauh. Tapi karena mereka sudah terlalu sering kita diamkan.
Penutup: Anak adalah Cermin, Bukan Proyek
Jangan bilang “tidak punya waktu”. Karena waktu itu bukan ditemukan, tapi disediakan. Kita tidak akan pernah “punya waktu” untuk anak, kalau tidak pernah memilih untuk menunda video TikTok demi menjawab pertanyaan warna kupu-kupu.
Anak bukan proyek untuk dibanggakan di media sosial. Bukan trofi untuk dikeluhkan ke grup WhatsApp orang tua. Anak adalah cermin kita. Dan jika kita terus menyiram mereka dengan keheningan, jangan kaget kalau mereka tumbuh tanpa suara—atau malah tumbuh dengan suara yang enggan kita dengarkan.
Jadi lain kali ketika anak bertanya hal kecil—soal warna, soal baju, soal cerita receh di sekolah—jangan buru-buru menjawab “Terserah.” Karena bisa jadi, itulah awal dari perpisahan emosi yang tak akan pernah utuh kembali.

Comments
Post a Comment