Skip to main content

Dari Teh Boston ke Jalan Jakarta: Sejarah Selalu Menghukum yang Lupa

 

Di jalanan kota-kota Indonesia, dari Senayan sampai Makassar, dari Bandung sampai Surabaya, terdengar bunyi yang sangat purba sekaligus modern. Bunyinya bukan hanya dari toa dan pekikan, tetapi juga dari rasa perih di dompet, dari tagihan yang merangkak, dari tarif yang naik pelan namun pasti. Pemerintah menyebutnya penyesuaian. Rakyat menyebutnya beban. Lalu tiba-tiba gedung dewan daerah dilalap api di Makassar dan tiga nyawa padam bersama malam yang makin panas. Di Jakarta halte hangus, layanan bus dihentikan, jalur kereta bawah tanah dipangkas, dan seorang pengemudi ojek yang sedang mencari nafkah tewas setelah terlindas kendaraan taktis. Di saat seperti ini, alasan apa pun terdengar tidak cukup meyakinkan dibanding suara sirene dan isak keluarga. Fakta-faktanya sudah telanjang, dan negara yang baik seharusnya tidak merasa malu saat bercermin.

Orang boleh berdebat tentang penyebab utama. Apakah karena kemarahan pada fasilitas perumahan wakil rakyat yang terasa mewah saat lapangan kerja tak menentu. Apakah karena gaya aparat yang seperti lupa bahwa wibawa lahir dari pengayoman, bukan dari roda baja. Apakah karena harga bahan pokok dan ongkos hidup yang memanjat dinding gaji. Atau karena pungutan yang merapat ke tulang, baik dalam rupa PPN yang naik sampai dua belas persen pada kelompok barang tertentu maupun PBB daerah yang melonjak liar seperti di Pati. Apa pun kemasannya, rakyat menyimpulkannya dalam satu kata pendek yang pahit: bayar. Dan kata itu terasa semakin getir ketika manfaat balik terasa jauh dari jangkauan.

Sejarah jarang cerewet, tetapi selalu konsisten memberi peringatan. Amerika pernah tersulut oleh pajak teh yang terlihat sepele di neraca kerajaan, tetapi terasa menampar martabat koloni. Seruan tidak ada pajak tanpa keterwakilan menjadi mantra yang menumbuhkan tekad untuk membuang peti-peti teh ke laut dan akhirnya membuang penjajahan itu sendiri. Sebuah pelajaran klasik: pajak bukan sekadar angka, ia adalah bahasa tentang siapa yang dihargai dan siapa yang dilupakan.

Prancis pernah meledak ketika beban pajak menumpuk di pundak golongan ketiga, sementara golongan istimewa menari di lantai marmer tanpa ikut menanggung. Ketika roti menjadi mahal dan keadilan menjadi barang langka, rakyat menyimpulkan bahwa guillotine lebih jujur daripada meja rapat istana. Lagi-lagi sinyal yang sama: ketimpangan beban dan ketimpangan martabat selalu berpasangan.

Inggris pun pernah memantik api perang saudara karena raja memungut uang kapal tanpa persetujuan yang semestinya. Sebuah pungutan yang mungkin terlihat teknis di mata istana, tetapi terasa sewenang-wenang di mata rakyat. Di situ, pajak berubah dari perangkat negara menjadi bukti pengkhianatan terhadap kesepakatan politik. Dan ketika kesepakatan dirusak, sejarah mencatat kepala yang bergulir.

India mengajarkan sisi lain dari amarah. Garam, barang yang sederhana, dikenai pajak dan dimonopoli sampai terasa sebagai penghinaan terhadap martabat hidup. Gandhi berjalan menuju pantai, memungut garam sendiri, dan menunjuk hidung kekuasaan yang lupa bahwa legitimasi tidak bisa ditambal dengan pentungan. Kadang perlawanan tidak memerlukan teriakan keras. Garam saja sudah cukup asin untuk menyadarkan.

Meksiko berjuang dari beban upeti dan pungutan kolonial yang menyayat petani dan kaum bawah. Ketika negara dianggap tidak lagi rumah, melainkan kasir yang dingin, maka lonceng gereja dibunyikan bukan untuk misa, tetapi untuk perang. Pajak yang tidak adil adalah homili yang buruk. Ia mengajarkan benci, bukan ketaatan.

Kembali ke Indonesia hari-hari ini. Di Pati, kenaikan PBB memicu amarah yang merembet menjadi tuntutan politik. Di Jakarta, protes meledak karena rasa tidak adil yang menumpuk, diperparah insiden yang merenggut nyawa seorang anak bangsa yang sedang bekerja mengantarkan makanan. Di Makassar, api menjilat gedung dan menelan tiga jiwa. Di Surabaya, kantor pemerintahan diterjang massa. Di ibukota, halte terbakar, layanan bus berhenti, dan rute kereta dipangkas. Ini bukan lagi perdebatan akademis tentang elastisitas pajak. Ini adalah ongkos sosial yang dibayar dengan darah, air mata, dan puing.

Boleh saja pejabat menjelaskan bahwa PPN dua belas persen dipatok terutama untuk barang mewah dan ada masa transisi yang membuat dampaknya ke barang umum cenderung sebelas persen. Kertas kerja konsultan pajak memang bisa membuktikan kepatuhan regulasi. Namun rakyat tidak hidup di kertas kerja. Rakyat hidup di rak pasar dan layar aplikasi belanja, di sambungan listrik dan cicilan, di harga beras dan ongkos sekolah. Ketika persepsi yang sampai adalah semua sedang mahal dan pejabat sedang nyaman, maka detail teknis tak mampu menenangkan. Persepsi adalah realitas politik yang paling keras kepala.

Pemerintah juga bisa berkata bahwa negara butuh penerimaan. Tentu saja. Jalan tidak membangun diri, jembatan tidak menjelma dari doa, dan pelayanan publik butuh anggaran. Tetapi penerimaan yang memukul tanpa kejelasan manfaat adalah seperti dokter yang menagih sebelum menyentuh stetoskop. Ketika komunikasi gagap, partisipasi absen, dan pengawasan terasa ompong, maka pungutan berubah menjadi tudingan. Dan tudingan tidak melahirkan kepercayaan. Ia melahirkan pengadilan jalanan. Alat buktinya adalah batu. Jaksa penuntutnya adalah amarah kolektif.

Jika negara ingin terus berjalan dengan kepala tegak, ada etika fiskal yang harus dipelajari dari sejarah. Pertama, beban harus terasa adil. Golongan istimewa tidak boleh melenggang dari kewajiban sementara kelas pekerja dan usaha kecil diperas hingga kering. Prancis sudah memberi pamflet pelajaran yang sangat mahal. Kedua, partisipasi harus nyata. Tidak ada pajak tanpa suara. Amerika telah menulis kalimat itu di tembok waktu. Ketiga, akuntabilitas harus terlihat. Jangan baru sibuk menyusun narasi saat gedung sudah terbakar. Inggris dan India menunjukkan bahwa panggung paling efektif justru tercipta sebelum pentas amarah dimulai.

Di luar itu, ada kewajiban moral yang lebih sederhana. Hentikan tradisi menjelaskan penderitaan rakyat dengan metafora yang manis. Jangan suruh rakyat bersabar sambil menonton pejabat berpose di depan mobil dinas. Jangan mengajar rakyat tentang pengorbanan sambil menandatangani fasilitas yang mengilap. Moral publik tidak dibangun dari poster, tetapi dari keteladanan yang konsisten dan keputusan yang mau menanggung risiko politik demi rasa adil. Ketika wakil rakyat bicara tentang penghematan, biarkan rakyat melihat kursi empuk yang dikurangi, bukan hanya lampu gedung yang diredupkan.

Korban jiwa sudah jatuh. Keluarga sudah berduka. Infrastruktur publik sudah rusak. Layanan transportasi sudah terganggu. Gedung dewan daerah sudah menjadi arang. Dan ini baru hitungan hari sejak gelombang protes menguat pada pekan terakhir Agustus. Andaikan ada yang masih menganggap semua ini sekadar dinamika, mungkin ia lupa menghitung nilai nyawa dalam satuan kebijakan. Nilai itu tidak pernah nol. Bahkan satu adalah terlalu banyak.

Dalam suasana seperti ini, negara dihadapkan pada pilihan sederhana namun keras. Menggandakan pendekatan represif demi ketenangan semu, atau memperbaiki fondasi kepercayaan dengan langkah yang berani. Langkah berani bukan sekadar konferensi pers dan kunjungan belasungkawa. Langkah berani adalah revisi kebijakan yang timpang, pembekuan fasilitas yang memancing luka sosial, audit terbuka atas pengeluaran yang tidak urgen, dan jalur dialog yang nyata bagi serikat pekerja, mahasiswa, dan warga yang terdampak. Ketika kanal partisipasi dibuka sungguh-sungguh, batu di tangan akan jatuh dengan sendirinya.

Seorang pemikir pernah berkata, pajak adalah harga yang kita bayar untuk peradaban. Namun kalimat itu mengandung syarat yang tidak boleh diabaikan. Peradaban yang dimaksud harus terasa adil, dekat, dan bisa disentuh. Jika yang hadir justru rasa bahwa warga membayar peradaban orang lain, maka pajak berubah makna menjadi denda karena dilahirkan di tempat yang salah. Dari situ jaraknya tinggal sejengkal menuju ledakan yang kita saksikan hari-hari ini.

Kita beruntung sejarah tidak hanya menyajikan tragedi, tetapi juga resep yang bisa diikuti. Transparansi yang sungguh-sungguh. Keadilan beban yang terukur. Simplikasi kebijakan yang memihak yang lemah. Penegakan hukum yang melindungi hak berkumpul dan bersuara, sekaligus menghukum vandalisme tanpa membabi buta. Dan yang paling penting, empati institusional yang tidak menyerah menjadi slogan. Semua ini bukan barang canggih. Hanya perlu kemauan yang tulus.

Sebelum api menjadi kebiasaan dan pagar kawat menjadi pemandangan normal, baiknya negara memilih belajar dari Boston, Paris, London, Ahmedabad, dan Puebla. Jangan tunggu rakyat menulis teks yang sama dalam bahasa Indonesia dengan tinta yang lebih mahal. Harga dari ketidakpekaan selalu naik lebih cepat daripada indeks harga konsumen. Dan tidak ada rupiah yang cukup untuk menebus nyawa yang terlanjur hilang.

Akhirnya, ini bukan ajakan untuk membakar kota dan bukan juga permintaan untuk membungkam kota. Ini ajakan kepada negara untuk mengingat pelajaran paling tua dalam tata kelola: keadilan adalah pemasukan terbaik. Setiap kebijakan yang menambah legitimitas akan mengurangi biaya keamanan. Setiap keputusan yang membuat rakyat merasa dihargai akan mengurangi kebutuhan akan tameng dan gas. Dalam kalkulus yang sederhana, rasa adil adalah insentif fiskal yang tidak pernah rugi.

Indonesia punya kesempatan untuk membuktikan bahwa demokrasi tidak harus menunggu tragedi agar mau berubah. Nyawa yang sudah hilang tidak bisa kembali. Namun kesalahan yang melahirkan duka bisa diperbaiki. Mulailah dari yang konkret. Tinjau ulang pungutan yang terbukti memicu luka sosial. Perbaiki komunikasi dan libatkan warga sejak hulu. Pukul telak privilese yang mempermalukan akal sehat. Dan pastikan aparat selalu ingat bahwa tugas utama mereka adalah membawa pulang semua orang hidup-hidup, termasuk yang tidak setuju. Jika itu dilakukan, mungkin suatu hari nanti kita bisa melihat kembali pekan-pekan ini bukan sebagai titik awal kehancuran, tetapi sebagai momen ketika negara memilih menjadi dewasa.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...