Tahun 2000, Liverpool Football Club membuat sebuah keputusan yang saat itu dianggap banyak orang sebagai langkah "ajaib tapi bodoh". Mereka merekrut seorang pemain yang di mata sebagian besar penggemar dan pengamat, sudah berada di ujung kariernya. Namanya Gary McAllister. Usianya? 35 tahun. Di era ketika sebagian klub-klub besar berlomba-lomba berburu pemain muda penuh potensi, Liverpool justru datang ke pasar dengan membawa koper penuh keyakinan dan menandatangani pemain yang, menurut standar umum, “sudah tua”.
Banyak yang heran. Beberapa bahkan langsung sinis. “Buat apa rekrut pemain tua?” “Masih kuat lari 90 menit, nggak tuh?” “Liverpool ini mau juara atau mau jadi panti jompo?” Kalimat-kalimat semacam itu bergema di media dan forum-forum penggemar saat itu.
Tapi seperti kisah-kisah klasik yang menolak tunduk pada logika umum, Gary McAllister membungkam semua keraguan dengan cara yang paling elegan: prestasi.
Musim Ajaib Seorang “Tua-Tua Keladi”
Di musim 2000–2001, Liverpool menorehkan sejarah. Mereka menyapu tiga trofi besar dalam satu musim:
-
Piala Liga (Worthington Cup)
-
Piala FA
-
Piala UEFA
Sebuah treble domestik dan Eropa yang bukan hanya membanggakan secara angka, tapi juga bermakna secara emosional bagi fans. Dan Gary McAllister? Dia adalah bagian penting dari mesin kemenangan itu.
Ia mencetak gol penalti krusial di semifinal melawan Barcelona. Ia mencetak gol kemenangan dalam derby panas melawan Everton. Ia menjadi jantung di lini tengah, memberikan keseimbangan antara visi, pengalaman, dan ketenangan yang tak bisa diajarkan dalam sesi latihan dua bulan. Bahkan di Final Piala UEFA yang berakhir dengan skor 5-4 dramatis melawan Alavés, McAllister menjadi Man of the Match.
Di awal musim berikutnya, sebagai hasil dari keberhasilan musim sebelumnya, Liverpool melanjutkan prestasi dengan meraih FA Charity Shield dan Piala Super UEFA, menjadikan total raihan mereka lima trofi dalam rentang satu tahun kalender. Lima trofi yang menegaskan satu hal: kehadiran Gary McAllister bukan hanya berguna—ia menentukan.
Dunia Kerja dan Bias Usia: Masih Belum Belajar?
Pertanyaannya sekarang: kenapa dunia kerja tidak belajar dari cerita ini?
Di banyak perusahaan, terutama di lingkungan profesional modern yang terobsesi dengan “growth mindset”, “agile talent”, dan “digital native”, ada satu bias yang masih sulit ditanggalkan: usia. Seolah-olah begitu seseorang memasuki usia kepala empat, apalagi lima, maka kariernya perlahan harus diparkir. Sebagus apa pun pengalamannya, sepanjang apapun rekam jejaknya, ia akan ditolak—bahkan sebelum diberi kesempatan bicara.
CV mereka tak pernah sampai ke meja manajer rekrutmen. Resume mereka disaring oleh sistem otomatis yang memberi nilai minus hanya karena tahun kelulusan tidak cocok dengan parameter “maksimal 35 tahun”. Dan bila mereka beruntung bisa ikut wawancara, pertanyaan yang muncul kadang lebih meragukan daripada mengevaluasi: “Bapak yakin masih bisa bekerja di bawah tekanan?” atau “Bukannya sudah waktunya Bapak istirahat saja?”
Saya pernah mendengar seorang HR manager berkata, “Kami lebih memilih yang muda karena mereka bisa dibentuk.” Tapi bukankah itu artinya Anda mencari kertas kosong, bukan seorang profesional? Padahal dalam dunia nyata, yang Anda butuhkan untuk menghadapi krisis, ketidakpastian, konflik internal, dan manuver kompetitor, bukan hanya semangat dan kreativitas. Anda butuh kebijaksanaan. Anda butuh jam terbang. Anda butuh seseorang yang pernah gagal dan tahu cara bangkit.
Seperti Gary McAllister.
Bukan Soal Kuat Lari, Tapi Kuat Membaca Permainan
Jika lapangan kerja adalah seperti lapangan sepak bola, maka tidak semua orang harus menjadi sprinter. Anda tidak butuh semua pemain berlari cepat. Anda butuh seseorang yang bisa membaca permainan. Yang tahu kapan harus menahan bola. Kapan harus mengumpan. Dan kapan harus mengubah taktik agar tim tak kebobolan.
Gary McAllister, di usia 35, tak pernah jadi pemain tercepat. Tapi ia tahu bagaimana mengendalikan tempo. Ia tahu bagaimana membuat keputusan tepat dalam waktu sepersekian detik. Ia tahu bagaimana memimpin tim, tanpa teriak, tanpa drama, hanya dengan caranya sendiri: memberikan ketenangan saat semua orang panik.
Bayangkan jika Liverpool saat itu berpikir seperti perusahaan zaman sekarang—“Ah, McAllister terlalu tua, kita cari gelandang 23 tahun yang cepat lari saja”—mungkin mereka tak akan pernah punya musim lima trofi itu. Dan para fans Liverpool tak akan pernah menyaksikan penalti ajaib, umpan presisi, atau leadership yang sunyi tapi berdampak besar.
Jadi, Pertanyaannya: Siapa Gary McAllister di Organisasi Anda?
Apakah Anda memberi mereka tempat?
Atau Anda justru menyingkirkan mereka dari daftar kandidat hanya karena tahun kelahiran mereka tak lagi dimulai dari angka ‘9’?
Karena kadang, yang Anda butuhkan bukan orang yang bisa mengetik 100 kata per menit...
...tapi orang yang tahu kapan harus diam dan kapan harus bicara.
...bukan yang fasih presentasi, tapi yang tahu siapa yang perlu didengar.
...bukan yang cepat naik jabatan, tapi yang tahu cara bertahan saat badai datang.
Dan mereka ini tidak belajar semua itu dari TikTok. Mereka belajar dari hidup.
Jadi lain kali Anda melihat CV dari seorang profesional berusia 45 atau 50 tahun, jangan buru-buru mengernyit. Buka dulu. Baca dulu. Ajak ngobrol. Siapa tahu, Anda sedang duduk berhadapan dengan Gary McAllister Anda sendiri.
Dan ingat, yang tua bukan berarti usang.
Kadang mereka justru yang paling tahu cara menang tanpa harus lari.
#AgeDiversity #HRReflections #ExperienceMatters #GaryMcAllister #InclusiveHiring #Leadership #RecruitmentBias #PengalamanItuMahal
Comments
Post a Comment