Skip to main content

Hari Ini Pati, Esok Jakarta?

 

Di musim panas 1789, rakyat Paris berkumpul di depan Bastille. Mereka bukan sekadar marah pada harga roti yang melambung. Mereka marah pada sistem—sebuah tata kelola negara yang membebani banyak, membebaskan sedikit, dan membungkam suara yang berbeda. Louis XVI mungkin tak pernah membayangkan bahwa keluhan soal pajak dan pangan akan berubah menjadi badai revolusi yang mencabut tahtanya, bahkan nyawanya. Tapi sejarah sering kali dimulai dari satu retakan kecil.

Retakan itu, di Prancis, berawal dari percikan di satu kota, lalu merembet ke seluruh negeri. Dan kini, di Indonesia, sebuah retakan serupa muncul di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Bupati Pati memutuskan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Alasannya: tarif ini sudah belasan tahun tak diperbarui. Secara administrasi mungkin logis, tapi secara sosial—terutama di tengah ekonomi yang belum benar-benar pulih—kebijakan ini adalah bom waktu. Banyak warga mengaku pajaknya melonjak berkali lipat, dari ratusan ribu menjadi jutaan rupiah.

Alih-alih meredakan keresahan, respons sang bupati justru memperkeruh suasana. Pernyataan “Silakan demo, jangan hanya 5 ribu—50 ribu pun silakan” terdengar seperti undangan terbuka bagi perlawanan. Undangan itu ternyata diterima. Warga membangun posko donasi, menggalang dukungan, dan mempersiapkan demonstrasi besar-besaran. Pada hari yang dijanjikan, ribuan orang memadati jalanan, membawa tuntutan bukan hanya soal pajak, tetapi juga desakan agar sang bupati mundur.

Bagi sebagian pengamat, ini hanyalah isu lokal. Bagi yang membaca sejarah, ini adalah early warning. Revolusi jarang dimulai dari ibu kota; ia tumbuh dari daerah yang merasa diabaikan, diatur dari jauh, tapi menanggung beban paling berat. Paris hanyalah panggung final; naskahnya ditulis di banyak kota kecil yang marah.

Kemarahan sosial punya sifat menular. Apalagi sekarang, di era media sosial, gambar warga Pati yang berorasi di bawah terik matahari bisa sampai ke layar ponsel di Makassar, Aceh, atau Kalimantan dalam hitungan detik. Semua daerah punya versinya sendiri: pajak baru, tarif naik, pernyataan pejabat yang terkesan meremehkan penderitaan rakyat.

Pemerintah pusat seharusnya membaca tanda-tanda ini. Bukan hanya memantau kerumunan di alun-alun Pati, tetapi mengukur suhu di seluruh negeri. Kebijakan fiskal yang dirasakan memberatkan tanpa diimbangi komunikasi yang empatik adalah resep klasik untuk keresahan. Dan ketika keresahan itu menemukan momentum, sejarah mengajarkan, ia bisa bergerak lebih cepat daripada yang dibayangkan para penguasa.

Louis XVI tidak kalah karena perang atau kudeta militer. Ia kalah karena kehilangan legitimasi di mata rakyatnya sendiri. Ketika rakyat percaya bahwa pemimpinnya tidak lagi mendengar, maka pintu untuk kompromi tertutup rapat.

Pati memberi pelajaran penting: satu daerah yang berani melawan bisa menjadi cermin untuk daerah lain. Pertanyaannya—yang semestinya membuat para pembuat kebijakan di ibu kota tidak tidur nyenyak—bukan lagi apakah aksi ini akan merembet, tetapi seberapa cepat.

Hari ini Pati.
Esok… Jakarta?

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...