Kadang saya merasa negara ini memang tidak pernah utuh. Kalau Slavoj Žižek benar, kita memang hidup di tengah retakan, bukan di atas pondasi kokoh. Dua pandangan yang berjalan sendiri-sendiri, tidak akan pernah bertemu, dan justru di celahnya itulah kebenaran muncul.
Tapi di sini, celah itu terasa seperti jurang.
Kita punya Presiden tua dengan sejarah kelam yang bahkan keluarganya sendiri seakan enggan menyebutnya. Entah bagaimana bisa menang pemilu hanya karena citra kakek lucu yang gemar joget, sambil menjual program yang sejak awal sudah jelas tidak realistis. 58 persen pemilih jatuh hati. Demokrasi katanya. Tapi rasanya lebih seperti eksperimen sosial yang gagal. Seperti kita disuruh memilih antara batu bata, besi karatan, dan bom waktu, dan mayoritas memilih bom waktu sambil tersenyum di depan kamera.
Lalu wakil presidennya. Anak dari presiden sebelumnya, yang bisa maju karena undang-undang usia jabatan diutak-atik khusus untuknya. Nepotisme di sini bahkan sudah tidak terasa seperti penyakit, tetapi seperti gaya hidup. Ironisnya, prestasi akademiknya pun bukan hal yang bisa dibanggakan. Lulus dari kampus medioker di Singapura dengan IPK 2,3. Bukan karena sibuk menciptakan teknologi baru atau riset hebat. Krena kalau ada prestasi, pasti sudah dipajang gede-gede di baliho tiap tikungan. Nyatanya? Nggak ada. Memang begitu saja.
Program kebanggaan mereka?
Makan siang gratis. Hasilnya malah membuat anak-anak keracunan, dengan menu yang berbeda-beda antar sekolah, dan akhirnya berhenti total.
Ibu kota baru. Proyek yang menyedot keuangan negara seperti lubang hitam, tetapi tetap mangkrak. Mungkin sebentar lagi menjadi monumen narsisme kolektif. “Di sinilah impian rakyat dikubur bersama APBN.”
Dan siapa pun yang berani memperlihatkan kenyataan di lapangan, seperti siswa yang merekam menu makan siang gratis, akan dipaksa minta maaf. Sekolah melarang merekam, seolah ponsel adalah ancaman keamanan negara. Media independen yang mencoba bersuara malah dikirimi kepala babi. Ya, benar-benar kepala babi.
Kepolisian? Kita semua tahu ini masalah lama, tetapi entah mengapa terasa makin akut. Warga bisa ditembak di siang bolong lalu diberi narasi standar: korban mabuk, mengancam, atau “lagi ngantuk”. Barang bukti sering kali tampak seperti properti film murahan. Korban terakhir bahkan seorang mahasiswa. Negara yang katanya cinta generasi muda ternyata tidak segan menembak mereka.
Dan saat publik mencoba bersuara, yang datang justru gaslighting. Kritik soal pajak tinggi dibalas dengan seruan agar kita pindah negara dan bakar KTP. Kritik soal hukum dianggap sebagai upaya asing yang mau menghancurkan negara. Kritik soal sensor kepala babi? Disuruh masak kepala babinya sekalian. Kritik apa pun diarahkan ke dalih yang sama: ini permainan agen asing.
Perspektif Žižek dan Retakan yang Tidak Pernah Selesai
Žižek pernah bilang manusia modern itu subjek yang tidak pernah utuh. Selalu ada yang hilang di dalam dirinya. Kekurangan itu yang memicu hasrat akan cinta, pengakuan, kekuasaan, bahkan politik. Dan kalau dipikir-pikir, negara ini sama saja. Selalu ada yang kurang secara struktural. Setiap proyek besar, setiap janji mulia, hanyalah usaha menutup lubang yang memang tidak bisa ditutup.
Lebih parahnya lagi, seperti yang Žižek bilang soal ideologi, kita semua sebenarnya tahu sistem ini tidak sehat. Kita tahu politik penuh tipu daya. Kita tahu korupsi merajalela. Kita tahu gaji yang kita terima tidak sebanding dengan pajak yang kita bayar. Tetapi kita tetap ikut. Tetap patuh. Tetap bekerja. Bahkan kadang ikut membela sistem yang menyakiti kita. Kenapa? Karena ada kenikmatan aneh di sana. Semacam kepuasan masokis, rasa puas dalam penderitaan yang sebenarnya tidak perlu ada.
Dan pada akhirnya, bahkan perlawanan pun terasa lumpuh. Dalam dunia yang menuntut kita untuk terus aktif, produktif, dan ikut arus, sikap paling radikal bisa jadi justru memilih berhenti ikut permainan. Ala Bartleby: “Saya lebih memilih tidak.” Ketidakaktifan yang membuat sistem yang selalu lapar partisipasi itu jadi kikuk.
Žižek menyadarkan kita: dunia ini memang tidak dirancang untuk selesai. Tidak ada rekonsiliasi sempurna. Tidak ada akhir bahagia yang utuh. Yang ada hanyalah retakan, celah, dan ketegangan. Dan Indonesia hari ini adalah buktinya. Pemerintah dan rakyat hidup di dunia yang sama, tetapi dengan kenyataan yang berbeda, saling berbenturan, tanpa penyelesaian.
Mungkin di sanalah kebenaran itu bersembunyi. Bahwa kita memang hidup di tengah retakan yang tidak bisa diperbaiki. Dan menyadari itu, walau getir, mungkin langkah pertama untuk berhenti pura-pura bahwa semua ini baik-baik saja.
Comments
Post a Comment