Ada momen menarik di dunia maya yang mungkin bagi sebagian orang hanya sekadar hiburan, tetapi sebenarnya menyimpan ironi besar: Indonesia disebut sebagai Konoha, bendera bajak laut Topi Jerami berkibar di bawah Sang Saka Merah Putih, dan Wakanda yang muncul bukan di Afrika fiksi, tetapi di imajinasi para netizen lokal. Di titik ini, rasanya kita sedang hidup di sebuah negeri yang identitasnya semakin kabur antara realitas dan meme.
Menyebut Indonesia sebagai Konoha bukan hal baru. Netizen sudah lama gemar membungkus frustrasi politik dengan referensi anime, karena menyebut langsung nama tokoh bisa berisiko, sementara memanggil “Hokage” terasa lebih aman dan bahkan mengundang tawa. Konoha adalah desa ninja yang tampak damai di permukaan, tetapi di dalamnya penuh intrik: kudeta keluarga sendiri, konspirasi militer, eksperimen rahasia, sampai ninja pengkhianat yang kabur dan malah jadi tokoh penting di luar. Rasanya familier? Seolah kita benar-benar tinggal di desa yang penuh “jurus rahasia”, tapi tanpa chakra. Kita cuma dapat dramanya, plus pajak dan berita sidang.
Di tengah sindiran itu, tiba-tiba muncul bendera bajak laut Topi Jerami dari One Piece yang berkibar di rumah-rumah warga, di kendaraan, bahkan di kapal nelayan, menjelang 17 Agustus—Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke‑80. Bedanya, bendera itu tidak menggantikan Sang Merah Putih, melainkan berada di bawahnya. Sebagian besar yang mengibarkannya adalah penggemar anime sekaligus warga yang kecewa, ingin menyampaikan pesan simbolik: ada sesuatu yang salah, ada ketidakpuasan yang tidak tertampung di jalur formal.
Bagi mereka, bendera Jolly Roger versi Topi Jerami bukan lambang kriminalitas, melainkan simbol perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil, persis seperti makna bajak laut Luffy dan kawan-kawan dalam cerita One Piece. Dalam dunia itu, bajak laut Topi Jerami melawan Pemerintah Dunia yang penuh rahasia gelap dan korupsi, demi membebaskan rakyat dari belenggu kekuasaan yang menindas. Tidak heran jika simbol ini terasa pas dipakai sebagai tanda protes damai. Namun bagi sebagian pejabat, ini serius. Ancaman penangkapan dan pidana dilontarkan dengan dasar penodaan simbol negara. Ada nada keras yang keluar: “Ini bisa memecah belah bangsa.” Bahkan ada yang menyebut gerakan ini sebagai bentuk provokasi menjelang peringatan kemerdekaan.
Di sisi lain, sebagian pejabat dan pakar hukum berpendapat lain: tidak ada larangan spesifik mengibarkan bendera lain di bawah Merah Putih, selama bendera negara tetap dikibarkan lebih tinggi dan dihormati. Tetapi reaksi negara yang keras mengingatkan kita pada satu hal penting: bagaimana sebuah simbol, walau lahir dari pop culture, bisa mengganggu rasa aman sebuah rezim. Ini memperlihatkan sensitivitas yang tidak kecil terhadap kritik nonverbal, seolah-olah sekeping kain bergambar tengkorak bertopi jerami bisa mengguncang sendi-sendi kekuasaan.
Lalu, kenapa fenomena ini begitu mudah viral? Jawabannya ada pada gaya baru masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Generasi digital sekarang tidak terlalu suka berdebat panjang di ruang rapat atau membuat spanduk panjang. Mereka memilih meme, bendera fiksi, dan referensi budaya pop. Dalam kasus ini, pengibaran bendera bukan sekadar gaya-gayaan; ini adalah ekspresi kolektif yang mengatakan: “Kami kecewa, kami lelah, dan kami ingin menyampaikan itu tanpa perlu bentrok fisik.” Ini mirip dengan topeng Guy Fawkes dari V for Vendetta di berbagai demonstrasi global—ikon fiksi yang jadi simbol nyata perlawanan.
Wakanda juga ikut disebut-sebut. Negara fiksi yang digambarkan maju, kaya, dan penuh teknologi itu sering jadi metafora untuk impian kita: sebuah Indonesia yang benar-benar merdeka, modern, adil, dan makmur. Tapi menyebut negara ini Wakanda sering disampaikan dengan nada satir: seperti ingin berkata, “Lihat, kita punya pembangunan, kita punya klaim teknologi, kita punya potensi besar… tapi kenapa rasanya tidak seperti di film?” Ada rasa getir yang tidak terucap: kita mencintai negeri ini, tapi kita juga lelah dengan realitas yang sering jauh dari ekspektasi.
Kombinasi Konoha, Jolly Roger, dan Wakanda menunjukkan satu hal: masyarakat punya cara baru menyalurkan kritik—cara yang lucu di permukaan, tapi getir di dalam. Kita ingin desa yang damai dan adil seperti Konoha yang seharusnya, bukan yang penuh kudeta dan ninja pengkhianat. Kita ingin kebebasan dan solidaritas seperti kru Topi Jerami, bukan kebijakan yang mengekang. Kita ingin teknologi dan kemakmuran seperti Wakanda, bukan sekadar klaim kemajuan yang terasa seperti presentasi PowerPoint.
Dan di tengah semua itu, bendera berkibar di bawah Merah Putih. Bukan bendera pemberontakan bersenjata, melainkan simbol yang lahir dari dunia fiksi. Lucu? Iya. Kekanak-kanakan? Mungkin. Tapi juga jujur—karena di negara yang serius soal simbol, warga memilih simbol paling absurd untuk menyampaikan yang serius. Bukankah itu ironis? Satu kain dengan gambar tengkorak dan topi jerami bisa membuat pejabat gemetar, padahal rakyat yang mengibarkannya hanya ingin didengar.
Mungkin memang begitu gaya zaman sekarang: menyuarakan frustrasi dengan cara yang bikin orang bingung apakah harus ikut ketawa atau ikut marah. Kita ini seperti hidup di timeline Twitter: satu sisi ada drama politik yang rumit seperti intrik ninja di Konoha, sisi lain ada impian besar setara Wakanda, dan di tengahnya berkibar bendera bajak laut yang entah kenapa lebih mewakili rakyat daripada jargon-jargon resmi.
Apakah ini akan mengubah dunia? Entahlah. Tapi setidaknya, di tengah keseriusan yang kaku, ada sekelompok orang yang memilih cara paling aneh untuk berkata: “Kami di sini, kami ada, dan kami tidak diam.” Dan kadang, itu saja sudah cukup untuk bikin rezim merasa tak nyaman.
Comments
Post a Comment