Ada sesuatu yang sangat kelam namun memesona tentang Irlandia Utara. Seperti luka lama yang tak sembuh tapi justru melahirkan puisi. Dunia mengenalnya dengan nama yang cukup halus untuk menyamarkan bau mesiu: The Troubles. Tapi jangan tertipu. Tak ada yang lembut dari 30 tahun penuh kekacauan, ledakan bom, dan darah yang tumpah di jalan-jalan Belfast.
Konflik ini, bagi sebagian orang, adalah pertikaian antara Katolik dan Protestan. Bagi yang lain, ini soal kolonialisme Inggris yang belum selesai. Tapi pada dasarnya, The Troubles adalah cerita tentang dua identitas yang tidak mau hidup berdampingan dalam bingkai politik yang sama—Unionis yang ingin tetap dalam pelukan Britania Raya, dan Nasionalis yang menginginkan penyatuan dengan Republik Irlandia. Dan di tengahnya: tentara Inggris, agen rahasia, dan generasi yang tumbuh besar dengan suara ledakan sebagai pengantar tidur.
Tapi yang menarik adalah bagaimana tragedi ini justru menghasilkan karya-karya seni yang luar biasa. Irlandia seakan menyulap penderitaan menjadi bahan bakar kreatif. Darah yang menggenang di Derry berubah jadi lirik, jadi sinema, jadi buku yang membuat kita bertanya: siapa sebenarnya yang waras dalam konflik panjang seperti ini?
Lihat saja film Belfast karya Kenneth Branagh. Di tangan sutradara ini, kekacauan politik tampil bukan sebagai kuliah sejarah, melainkan sebagai kenangan masa kecil. Kamera mengikuti mata seorang anak yang bingung melihat tetangganya saling mengusir karena beda agama. Film ini seperti secangkir teh hangat di tengah hujan gas air mata. Tidak menggurui, tidak menghakimi, hanya menunjukkan absurditas hidup di negeri yang terbelah.
Bandingkan dengan film ’71, yang tak memberi jeda untuk napas. Seorang tentara Inggris muda tersesat di tengah Belfast yang liar, dan yang kita lihat bukan pahlawan atau penjahat, hanya manusia-manusia yang terseret dalam labirin paranoia. Ini bukan perang antara kebaikan dan kejahatan, tapi antara siapa yang panik duluan dan siapa yang bisa sembunyi lebih cepat.
Dan tentu saja, ada Bloody Sunday (2002), film garapan Paul Greengrass yang menampilkan kembali hari paling berdarah di Derry dengan gaya dokumenter yang mentah dan mengguncang. Ini bukan drama yang dipoles, melainkan rekonstruksi dingin yang menusuk hati. Tak ada soundtrack megah, hanya suara sepatu lari, peluru, dan tangisan. Greengrass—yang kemudian menyutradarai film United 93 dan seri Bourne—membuktikan bahwa ketegangan terbesar justru muncul saat fiksi tidak lagi berani mengungguli kenyataan.
Lalu ada Sunday Bloody Sunday dari U2—lagu yang mengangkat tragedi yang sama ke panggung global. Tapi jangan salah, ini bukan himne kemarahan sepihak. Ini lagu keputusasaan. Liriknya tidak memihak IRA, tidak juga membela tentara Inggris. Ini teriakan dari orang-orang biasa yang muak menyaksikan darah jadi rutinitas mingguan. “How long must we sing this song?” tanyanya. Dan hingga kini, lagu itu masih relevan, bukan hanya di Irlandia, tapi di Gaza, di Myanmar, di mana pun darah rakyat menjadi dekorasi politik.
Dan bicara tentang darah, tak lengkap rasanya tanpa menyebut Bobby Sands—anggota IRA yang meninggal setelah mogok makan selama 66 hari di penjara. Ia bukan sekadar simbol perlawanan, tapi bukti bagaimana tubuh bisa jadi senjata politik. Pemerintah Inggris saat itu, dipimpin oleh Margaret Thatcher, menolak menyebut Sands dan kawan-kawannya sebagai tahanan politik. “A crime is a crime is a crime,” kata Thatcher, dengan ketegasan khasnya yang dingin seperti es batu di kuburan.
Tapi sejarah tidak pernah begitu hitam-putih. Di satu sisi, Thatcher dianggap penjaga stabilitas dan ketertiban hukum. Di sisi lain, ia adalah simbol kekerasan negara yang tak kenal ampun. Sands, dengan tubuhnya yang menolak makan, menjadi pengingat bahwa perlawanan tak selalu bersenjata. Kadang ia hanya perlu satu orang yang bersedia mati agar dunia berhenti dan menatap.
Dan lalu ada Gerry Adams, tokoh yang paling sulit dikotakkan. Bagi sebagian, ia adalah wajah diplomasi dan arsitek damai. Bagi yang lain, ia tetap bayang-bayang gelap IRA yang dibungkus senyuman politikus. Ia menyebut dirinya juru runding, tapi masa lalunya tak pernah benar-benar bisa dibersihkan dari darah. Namun ironisnya, tanpa Adams, mungkin tidak ada Perjanjian Jumat Agung. Kadang, jalan menuju damai justru dipandu oleh orang-orang yang pernah menyulut perang.
Buku Say Nothing karya Patrick Radden Keefe memperdalam luka itu. Ia membuka kembali kasus penculikan Jean McConville, seorang ibu 10 anak yang “menghilang” karena diduga jadi informan. Cerita ini lebih dari sekadar drama kriminal—ia adalah pelajaran tentang bagaimana kekerasan menggerogoti moralitas kolektif. Tidak ada pahlawan dalam buku ini. Yang ada hanya sisa-sisa kemanusiaan yang diperebutkan oleh propaganda dan dendam.
Kini, kisah kelam itu menjelma menjadi serial televisi dari Disney+ tahun 2024, adaptasi dari buku yang sama. Sebuah ironi modern: cerita brutal tentang penghilangan paksa dan politik berdarah kini tayang dengan logo tikus kartun di pojok layar. Tapi itulah zaman kita—di mana sejarah kelam harus beradaptasi dengan algoritma, agar bisa hidup lebih lama dan didengar lebih jauh.
Yang membuat saya terpikat adalah cara seniman Irlandia menghadapi sejarah mereka. Mereka tidak menutup-nutupi kebusukan masa lalu dengan jargon patriotik. Mereka tidak menyulap pembunuh menjadi pahlawan atau sebaliknya. Mereka menatap masa lalu seperti seseorang menatap bekas luka di tubuhnya: tidak bangga, tapi juga tidak menyangkal. Dan di sanalah letak kejujuran yang menyakitkan sekaligus melegakan.
Coba kita bandingkan dengan tempat-tempat lain yang juga dilanda konflik. Di banyak belahan dunia, sejarah diseret masuk ruang sidang atau dimutilasi untuk kepentingan elektoral. Di Irlandia, sejarah dijadikan lagu, novel, dan film. Mereka tidak meredam trauma dengan sensor, tapi memeluknya dengan karya. Sakit, iya. Tapi jujur.
Dan ini membuat saya berpikir: mungkin cara terbaik untuk menghadapi sejarah kelam bukan dengan menulis ulang catatan masa lalu, tapi dengan mengabadikannya dalam bentuk yang bisa membuat orang menangis dan berpikir sekaligus. Irlandia menunjukkan kepada kita bahwa di balik reruntuhan politik, seni bisa jadi pelampung terakhir kemanusiaan.
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita masih menyanyikan lagu kemenangan sambil mengubur kebenaran di lubang tak bertanda? Atau kita berani, seperti mereka, membiarkan sejarah bicara—seburuk apa pun nadanya?
Karena pada akhirnya, tragedi yang tak diakui hanya akan terus mengulang dirinya. Tapi tragedi yang diabadikan, bisa jadi cambuk. Atau, jika cukup jujur—jadi karya agung.
Comments
Post a Comment