Siapa yang bisa kau panggil ketika algojo memakai seragam penolong. Di negeri yang setiap hari menjual jargon “Presisi”, kita justru menyaksikan presisi paling kejam: ban baja yang menemukan tulang manusia. Nama anak itu Affan Kurniawan, 21 tahun, pengemudi ojek online yang sedang mencari nafkah, bukan mencari masalah. Di tengah kekacauan pembubaran massa dekat DPR, sebuah kendaraan taktis Brimob melaju, berhenti sesaat, lalu melindas tubuhnya. Affan dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal. Polisi minta maaf, tujuh personel disebut ditahan, dan negara mendadak bicara tentang proses yang transparan. Naskahnya sudah kita hafal seperti hafal lagu pengantar tidur, penuh janji, minim akhir yang memulihkan.
Tarik pandangan lebih luas. Demonstrasi pecah karena publik muak melihat wakil rakyat hidup bak bangsawan, menikmati tunjangan perumahan puluhan juta rupiah per bulan, sementara upah minimum masih berkutat dengan harga cabai di pasar. Polisi menyebutnya penegakan ketertiban. Publik menyebutnya pengkhianatan akal sehat. Gas air mata ditembakkan, water cannon dinyalakan, jalan ditutup rapat, dan televisi nasional dengan patuh melaporkan situasi kondusif. Padahal di paru-paru warga masih tersisa asap kimia yang tak bisa dicuci dengan framing berita.
Versi resmi selalu menyarankan kita percaya pada mekanisme internal: propam, etik, disiplin. Namun inilah paradoks abad ini. Bagaimana mungkin pengawas diisi oleh orang yang memanggil pelaku dengan sebutan rekan. Keadilan berubah jadi rapat koordinasi. Organisasi HAM mencatat pola lama berulang, pembubaran dengan kekerasan, anak-anak terseret, penangkapan sewenang-wenang. Kita seperti menonton siaran ulang tanpa pernah tiba di episode terakhir.
Lalu ke mana melapor ketika polisi menjadi pembunuh.
Ke polisi. Itu seperti mengadu nasi basi kepada tungku. Ke parlemen. Mereka sibuk menghitung allowance. Ke pengadilan. Mereka baru datang belakangan, setelah trauma keburu jadi batu. Ke media arus utama. Hanya seperlima ruang untuk fakta, sisanya penuh sponsor dan narasumber terpercaya. Maka rakyat akhirnya melapor ke tempat yang tidak bisa disuap, tidak bisa dibungkam, tidak bisa ditakut-takuti dengan water cannon. Tempat itu bernama sejarah.
Tetapi sejarah tidak bekerja sendirian. Ia butuh saksi yang tidak gentar. Itulah mengapa kamera ponsel tiba-tiba menjadi mahkota warga. Tanpa rekaman warga, Affan hanya tinggal angka di tabel insiden. Dengan rekaman, publik melihat jelas keberanian sekaligus kegagalan moral aparat. Mobil berhenti, dikerubuti, lalu memilih menambah tenaga pada pedal gas, bukan pada nurani. Negara merespons dengan bahasa baku: menyesalkan, mohon maaf, usut tuntas, jangan terprovokasi. Kata-kata itu terdengar rapi, tapi jarang menghasilkan bab penutup yang adil.
Ada yang berkata, massa juga anarkis. Betul, kemarahan memang punya bau bensin. Namun tugas aparat bukan menambah korek. Dalam negara demokrasi, kekuatan negara diikat oleh kewajiban. Setiap tembakan gas air mata harus proporsional, setiap dorongan water cannon harus berdasar hukum, dan setiap roda baja harus berhenti sebelum menyentuh tulang. Bila prinsip paling dasar itu gagal, apa gunanya palang nama Kepolisian di gedung-gedung megah.
Kematian Affan menyalakan solidaritas. Iring-iringan helm hijau mengiringi pemakaman, upacara sunyi digelar, protes menyebar dari Jakarta ke kota-kota lain. Pemerintah menyerukan tenang, pasar finansial ikut gelisah. Bukan karena rakyat marah, tetapi karena kepercayaan, mata uang paling berharga dalam republik ini, terkikis. Tidak ada program ekonomi yang bisa berdiri tegak di atas jalan yang licin oleh gas air mata.
Sebagian pejabat menenangkan diri dengan mantra lama: ini hanya oknum. Baiklah, mari berandai. Jika benar hanya oknum, mengapa polanya selalu sama dari waktu ke waktu. Mengapa SOP selalu kalah cepat dari adrenalin. Mengapa yang ditahan hanya beberapa orang, sementara yang kehilangan anak adalah satu keluarga penuh yang tak akan pulih. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak radikal, hanya logis.
Apa yang bisa dilakukan rakyat selain melapor ke sejarah.
Pertama, catat dan simpan bukti. Rekam, arsipkan, duplikasi. Dalam masyarakat yang gemar melupakan, dokumentasi adalah vaksin. Kedua, dorong akuntabilitas berlapis. Bukan hanya etik internal, tetapi pidana umum dan pengawasan independen. Ketiga, jaga protes tetap bermartabat. Bukan demi citra, melainkan agar kebenaran tidak kehilangan saksi. Keempat, bangun solidaritas lintas profesi. Hari ini Affan, besok bisa siapa saja yang kebetulan sedang melintas ketika negara sedang buruk mood-nya.
Pada akhirnya, pertanyaan ke mana melapor adalah kritik terhadap arsitektur kuasa. Negara yang sehat memberi kita alamat yang jelas. Lembaga independen yang berfungsi, polisi yang bisa diadili di pengadilan yang berani, parlemen yang waras, media yang tidak berbisik pada pemilik modal, ruang protes yang dilindungi. Jika semua alamat itu palsu, rakyat hanya punya dua tempat: jalanan dan sejarah. Yang satu adalah ruang untuk suara, yang satu lagi pengadilan terakhir.
Affan tidak akan kembali. Namun namanya bisa menjadi batu penjuru untuk menata ulang hubungan antara warga dan aparat. Dari takut menjadi tegas, dari pasrah menjadi partisipan, dari oknum menjadi akuntabilitas yang bernama dan bertanda tangan. Bila negara sungguh ingin menutup bab tragis ini, lakukan hal paling sederhana sekaligus paling sulit: adili yang bersalah, lindungi yang lemah, hentikan kebiasaan mengubah duka menjadi siaran pers. Hingga hari itu tiba, bila kau tanya ke mana melapor ketika polisi menjadi pembunuh, jawabannya tetap sama. Lapor ke sejarah, dan jangan pernah berhenti bersaksi.
Comments
Post a Comment