Di tengah derasnya arus media sosial yang penuh kutipan motivasi setengah matang dan kebijaksanaan palsu berselimut meme, saya menjumpai satu kalimat yang menggoda untuk dibedah, bukan karena kebenarannya, tapi karena kedangkalannya yang merasa dalam:
“Sains tanpa agama jadinya lumpuh. Seperti Stephen Hawking. Dan agama tanpa sains jadinya buta. Seperti Gus Dur.”
Hebat, bukan? Sebuah kutipan yang berusaha tampil filosofis, terdengar seperti hasil perenungan mistis sambil ngopi di kafe literasi—padahal tak lebih dari hasil olahan setengah matang dari kutipan Albert Einstein yang di-twist agar tampak edgy:
“Science without religion is lame, religion without science is blind.”
Einstein bicara dalam konteks spiritualitas dan etika ilmiah. Tapi warganet kita, seperti biasa, merasa perlu menambahkan ilustrasi biografis—agar lebih “ngena”. Lalu dipilihlah dua nama besar yang, kebetulan, memiliki disabilitas fisik: Stephen Hawking dan Gus Dur. Dan seperti yang sering terjadi di dunia yang lebih peduli clickbait ketimbang akurasi, kondisi fisik mereka pun dipelintir menjadi metafora murahan.
Lumpuh. Buta. Lalu dilabelkan sebagai akibat dari kehilangan satu sisi ideologi: sains atau agama. Sebuah lompatan logika yang hanya mungkin terjadi ketika manusia berhenti berpikir, dan mulai merasa bahwa permainan kata lebih penting daripada empati.
Sains itu lumpuh... seperti Hawking?
Mari mulai dari sisi sains. Stephen Hawking adalah fisikawan teoritis brilian yang tubuhnya dikalahkan oleh ALS, penyakit neurodegeneratif yang membuatnya hanya bisa berbicara melalui alat bantu suara elektronik. Tapi pikirannya? Justru menjelajah lubang hitam, menyusun ulang teori waktu, menghipotesiskan tentang “tepi” semesta—dan menginspirasi jutaan manusia, baik yang percaya Tuhan maupun tidak.
Jika sains dianggap “lumpuh” karena tidak didampingi agama, maka kita harus bertanya: siapa yang benar-benar lumpuh di sini? Apakah Hawking yang menjelajah waktu menggunakan matematika, atau mereka yang menjelajah WhatsApp group dengan meme konspirasi anti-vaksin?
Kalau sains Hawking dianggap cacat karena ia tidak percaya pada Tuhan, maka kita tidak sedang mengkritik sains—kita sedang menunjukkan bahwa kita tidak mengerti sains. Bahwa kita lebih memilih mitos nyaman ketimbang realitas yang rumit. Bahwa kita takut pada alam semesta yang sunyi, lalu menutupnya dengan doa sambil mencemooh mereka yang memilih menjelajahnya.
Agama itu buta... seperti Gus Dur?
Kini kita masuk ke wilayah yang lebih sensitif: agama. Dan sialnya, nama Gus Dur digunakan sebagai simbol kebutaan. Ya, Gus Dur, seorang kiai, presiden, pemikir pluralisme, pendobrak kebisuan mayoritas, dan pencinta tawa—disamakan dengan “agama yang buta” hanya karena... ia buta secara fisik?
Ini bukan hanya salah secara logika. Ini penghinaan terhadap kecemerlangan spiritual dan intelektual. Gus Dur adalah figur langka yang berhasil membuat agama turun dari menara gading menuju kehidupan nyata—bertemu minoritas, membela kebebasan beragama, membungkus kesalihan dengan humor.
Jika agama buta seperti Gus Dur, maka mungkin justru dari kebutaan itulah ia belajar melihat manusia apa adanya — tanpa prasangka, tanpa kacamata dogma. Dan barangkali itu lebih terang daripada banyak yang mengaku melihat, tapi hanya sibuk menghakimi dunia dari balik layar ponselnya.
Gus Dur mungkin tak melihat dunia, tapi beliau melihat manusia. Dan itu lebih dari cukup. Karena banyak dari kita yang matanya sehat, tapi tak pernah melihat siapa pun kecuali bayangan ego sendiri.
Metafora yang malas dan moral yang payah
Menggunakan disabilitas sebagai metafora untuk kekurangan ideologi adalah bentuk kemalasan berpikir. Ini bukan sekadar satire yang cerdas—ini satire malas. Yang menertawakan tubuh, bukan ide. Yang menjadikan keterbatasan biologis sebagai senjata debat, seolah Tuhan sendiri mendisain tubuh manusia sesuai kebenaran teologis.
Padahal, jika memang Tuhan yang Maha Kuasa menciptakan manusia seutuhnya, lalu mengapa kita merasa perlu menghina ciptaan-Nya demi membenarkan posisi ideologis kita?
Yang lebih ironis adalah: mereka yang menggunakan kutipan itu, biasanya tidak paham sains, tidak paham agama, dan tidak pernah membaca Einstein. Tapi dengan percaya diri, mereka melemparkan bom kata yang bersinyal seolah bijak, padahal isinya hanya dendam identitas.
Ini bukan tentang memilih sains atau agama. Ini tentang kesombongan manusia yang merasa tahu segalanya, lalu merasa berhak merendahkan mereka yang tubuhnya tak seperti miliknya. Ini tentang budaya berpikir yang dangkal, yang lebih mencintai permainan kata ketimbang pencarian makna.
Yang sebenarnya lumpuh dan buta
Yang lumpuh bukan sains tanpa agama. Yang lumpuh adalah manusia yang menolak belajar dari apa pun kecuali teks yang ia anggap sakral. Yang buta bukan agama tanpa sains. Yang buta adalah mereka yang menolak melihat bukti, data, dan dunia, karena terlalu sibuk mencari “tanda-tanda akhir zaman” dari gempa kecil di kabupaten sebelah.
Dan yang paling berbahaya bukanlah sains yang kehilangan Tuhan, atau agama yang kehilangan logika. Tapi pikiran yang kehilangan empati. Yang mengira bahwa kemenangan dalam debat bisa dicapai dengan mencemooh tubuh orang lain.
Jadi, kalau kamu merasa kalimat tadi bijak, cobalah bertanya:
Apakah kamu sedang membela nilai, atau sekadar menyembunyikan kebencian di balik kata-kata cerdas?
Dan jika memang kamu ingin dunia yang bisa melihat dan melangkah maju, belajarlah dari Hawking dan Gus Dur. Yang satu mengajarkan kita bagaimana berpikir dengan semesta, dan yang satu mengajarkan kita bagaimana beriman dengan cinta.
Comments
Post a Comment