Ada hal-hal dalam hidup yang tampaknya sederhana. Seorang dosen bertanya, "Bisa tolong editkan video kultum untuk suami saya?" dan kamu menjawab dengan sopan, memberi rate yang sesuai. Lalu... hening. Tak ada lanjutan, tak ada follow-up, bahkan tak ada "terima kasih sudah bersedia." Seolah kamu bukan manusia yang memberi waktu dan tenaga, tapi hanya etalase harga yang terlalu mahal untuk diambil.
Kejadian ini bukan sekadar percakapan yang tak selesai. Ini adalah potret dari sesuatu yang jauh lebih dalam dan menyebar luas: mentalitas gratisan. Sebuah penyakit sosial yang tak mengenal jabatan, gelar akademik, atau usia. Kadang justru datang dari mereka yang seharusnya menjadi panutan.
Dan yang menyakitkan? Ini bukan satu-satunya kisah.
Ketika kamu memberikan kelas online—tentang copywriting, tentang bahasa Cina—secara cuma-cuma, niatnya adalah berbagi. Membuka jendela pengetahuan kepada mereka yang mungkin belum mampu menjangkaunya. Tapi yang kamu dapat bukan apresiasi, melainkan pengabaian. Murid yang setengah hati, tugas yang tak terkumpul, dan semangat belajar yang hilang entah ke mana.
Lucunya, semua itu terjadi karena satu hal: kelasnya gratis.
---
Harga Tak Selalu Berupa Uang
Orang sering lupa, bahwa harga bukan selalu berupa rupiah. Terkadang, harga hadir dalam bentuk waktu yang dicurahkan, tenaga yang disedot, dan semangat yang disiapkan untuk menyampaikan ilmu dengan utuh. Tapi sayangnya, dunia ini sudah terlalu terbiasa menilai segala sesuatu dari nominal.
Kalau gratis, ya berarti tidak berharga.
Padahal, berapa harga sabar seorang pengajar yang tetap menjelaskan walau hanya tiga murid yang muncul? Berapa harga kecewa ketika tugas tak dikerjakan, padahal materi sudah disusun dengan niat dan cinta?
Semua itu tak ada di invoice. Tapi sakitnya bisa lebih pedih dari utang yang tak dibayar.
---
Budaya Take It for Granted
Ada satu kutukan dari kemurahan hati: orang mengira kamu akan selalu memberinya.
Mereka pikir, karena dulu kamu kasih gratis, maka kamu tak berhak menetapkan harga. Karena dulu kamu ikhlas, maka kamu tak boleh kecewa saat mereka cuek. Karena kamu terlihat "baik," maka kamu bisa terus dieksploitasi.
Dan begitu kamu menyebut harga, mereka diam. Bukan karena mahal. Tapi karena mereka sebenarnya cuma mau gratisan.
Kita sedang hidup di zaman yang aneh: orang lebih rela bayar langganan streaming drama Korea ketimbang membayar ilmu yang bisa menyelamatkan kariernya. Mereka mau keluar uang untuk kopi estetik, tapi tidak mau mengeluarkan sepeser pun untuk kursus bahasa yang bisa menambah nilai jual di dunia kerja.
Gratis itu enak. Tapi enaknya cepat basi. Dan sayangnya, manusia yang dimanjakan dengan gratisan akan sulit paham nilai dari sesuatu yang mereka tidak perjuangkan.
---
Bukan Soal Uang, Tapi Soal Sikap
Ini bukan tentang kamu butuh uang dari jasa edit video atau mengajar online. Ini tentang kamu ingin dihargai. Karena dalam setiap proses yang kamu beri, ada waktu hidup yang tak bisa diulang. Tapi orang lebih suka berpikir bahwa memberi itu tugasmu, dan menerima itu hak mereka.
Inilah logika bengkok yang dibiarkan tumbuh subur: seolah kemurahan hati adalah kewajiban orang baik, dan menuntut lebih adalah hak semua orang.
Padahal, kamu boleh baik. Tapi kamu juga berhak memilih siapa yang pantas menerima kebaikanmu.
---
Solusinya Bukan Pelit, Tapi Bijak
Banyak orang berpikir bahwa satu-satunya cara agar dihargai adalah dengan mematok harga tinggi. Tapi itu hanya separuh benar. Yang perlu dibangun adalah sistem yang membuat orang berkomitmen, bukan hanya berbayar.
Mau kelas gratis? Bisa. Tapi beri mereka tantangan. Beri syarat. Buat mereka mengisi surat motivasi, atau setor tugas mingguan. Bikin mereka "berkorban sedikit" agar otaknya ikut bekerja.
Karena yang datang tanpa usaha, akan pergi tanpa makna.
Dan kadang, lebih baik ada lima murid serius daripada lima puluh peserta yang cuma datang untuk numpang lewat. Biarkan jumlah kecil yang konsisten, menjadi ladang subur untuk semangatmu menanam ilmu.
---
Penutup yang Tak Menutup Mata
Kamu tidak salah karena memberi. Tapi kamu juga tidak harus selalu jadi korban dari ekspektasi manusia yang cuma tahu menadah.
Kita semua harus belajar: menghargai bukan hanya dengan uang, tapi dengan sikap. Karena tidak semua yang gratis itu murahan. Tapi menyia-nyiakan yang gratis, bisa jadi tanda bahwa kita belum pantas menerima sesuatu yang berharga.
Dan bagi para pembaca yang pernah menerima sesuatu secara cuma-cuma dari siapa pun—guru, mentor, atau bahkan teman—ingatlah: rasa hormat dan komitmenmu adalah bentuk pembayaran yang paling manusiawi.
Gratis tidak berarti tak berharga.
Tapi cara kamu memperlakukan yang gratis, menunjukkan siapa kamu sebenarnya.
Comments
Post a Comment