Ada yang hilang di antara kita dan orang tua kita — mereka yang lahir di era 1940-an dan 1950-an. Bukan karena mereka tak menyayangi kita. Bukan pula karena mereka tak menginginkan kita bahagia. Tapi ada tembok tebal yang seolah membatasi aliran kasih itu dari hati mereka ke hati kita. Tembok yang dibangun bukan dari batu bata, tapi dari gengsi, ego, dan luka zaman yang tak pernah sembuh.
Pelukan, kata sayang, atau sekadar sentuhan hangat? Itu nyaris menjadi kemewahan yang langka di masa kecil kita. Kata-kata sederhana seperti “maaf”, “tolong”, dan “terima kasih” seolah terlalu mahal untuk diucapkan kepada anak-anaknya sendiri. Bagi mereka, mengaku salah adalah menistakan martabat. Meminta tolong kepada anak adalah menurunkan wibawa. Mengucapkan terima kasih? Ah, bukankah menolong orang tua itu kewajiban anak, jadi untuk apa diucapkan?
Mereka merasa sudah cukup membayar semua itu — dengan menyediakan rumah untuk berteduh, nasi untuk mengisi perut, pakaian untuk menutup tubuh. Selebihnya? Terserah kita, anak-anak mereka, untuk memahami sendiri bahwa itulah bentuk kasih sayang mereka yang terselubung, yang tak pernah sempat dinyatakan.
Tapi bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa yang membuat generasi orang tua kita seperti itu?
Didikan Zaman Kolonial dan Sisa Trauma Masa Sulit
Generasi orang tua kita adalah generasi yang lahir atau dibesarkan dalam bayang-bayang perang dan kemiskinan. Mereka lahir di zaman Jepang menguasai tanah ini. Mereka tumbuh saat negeri ini masih berdarah-darah menuntut kemerdekaan, lalu terseok-seok mencari arti dari kata “merdeka” itu sendiri. Hidup pada masa itu bukan tentang mengekspresikan kasih sayang. Hidup pada masa itu adalah tentang bertahan hidup.
Kolonialisme — selama ratusan tahun — telah menanamkan pada orang-orang di tanah ini sebuah mentalitas: jangan lemah, jangan terlihat rapuh. Dalam tatanan masyarakat kolonial, orang pribumi ditekan untuk tunduk, untuk patuh, untuk kuat menanggung derita tanpa suara. Kelembutan bukanlah nilai yang dirayakan. Yang dirayakan adalah kemampuan menahan sakit, menekan emosi, dan tetap berdiri di tengah deraan.
Ketika Jepang datang, penderitaan itu berlipat ganda. Kerja paksa, kelaparan, penyiksaan — semua itu menjadi kenangan kolektif yang membentuk karakter orang tua kita. Mereka lahir di dunia yang kasar, dan mereka diajari bahwa untuk bertahan, mereka juga harus mengeraskan hati. Bahwa mengungkapkan perasaan hanyalah mengundang luka baru.
Dan ketika masa sulit itu berlalu, luka itu tetap tinggal. Tidak sembuh, hanya diwariskan dalam bentuk pola asuh.
Kultur Patriarkal: Kekuasaan yang Membungkam Perasaan
Lalu datang kultur yang menegaskan bahwa kepala keluarga — sang ayah — harus selalu kuat, selalu benar, selalu jadi panutan. Lelaki tidak boleh menangis, apalagi meminta maaf kepada anak-anaknya. Ibu pun, meski lebih lembut, tetap terjebak dalam logika bahwa dirinya harus menjadi penegak disiplin, bukan teman berbagi rasa.
Anak-anak pun bukan dilihat sebagai individu, melainkan sebagai perpanjangan tangan keluarga. Anak adalah investasi masa depan. Anak harus berbakti, mengangkat derajat keluarga, dan pada waktunya nanti — membalas semua pengorbanan orang tua. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal harga diri.
Dalam tatanan ini, hubungan orang tua dan anak menjadi relasi hierarkis. Kasih sayang jadi sesuatu yang diandaikan ada, tapi tak pernah harus dinyatakan. Karena kalau dinyatakan, bisa-bisa dianggap melemahkan kedudukan orang tua di mata anak-anaknya.
Dampak Bisu pada Generasi Berikutnya
Lalu kita, anak-anak mereka, tumbuh dengan lubang di hati. Lubang yang tak kelihatan, tapi terasa. Kita tumbuh dengan rindu pada kata-kata hangat yang tak pernah datang. Kita belajar memaklumi, belajar membaca tanda-tanda cinta di balik teguran, di balik kerja keras mereka mencari nafkah. Tapi tetap saja ada bagian dalam diri kita yang hampa.
Dan anehnya, banyak di antara kita yang akhirnya mewarisi pola ini. Kita menjadi orang tua yang lebih ekspresif — ya, kita berpelukan dengan anak, kita bilang sayang. Tapi di sudut hati kita, kita masih sering bergulat dengan bisikan-bisikan warisan: jangan terlalu memanjakan anak, jangan terlalu sering minta maaf pada anak, nanti kita kehilangan wibawa.
Generasi kita juga jadi generasi yang canggung mengekspresikan kebutuhan emosional. Kita haus pada validasi, tapi bingung caranya memintanya. Kita jadi generasi yang gelisah, yang haus pujian, karena masa kecil kita kekurangan itu. Kita berusaha keras menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak kita, tapi dalam banyak hal kita tetap terseret bayang-bayang pola lama.
Dan Kini, Pertanyaannya: Akankah Lingkaran Ini Berakhir?
Lingkaran ini hanya akan berhenti jika kita berani menyadari dan memutusnya. Jika kita berani memaafkan luka masa kecil kita, sekaligus berani menjadi orang tua yang penuh cinta tanpa gengsi. Yang mau bilang maaf saat salah, bilang tolong saat butuh bantuan, dan bilang terima kasih bahkan untuk hal-hal kecil yang dilakukan anak-anak kita.
Karena pada akhirnya, tiga kata itu — maaf, tolong, terima kasih — bukan sekadar sopan santun. Itu adalah jembatan. Jembatan yang menghubungkan dua hati, tanpa perlu tembok tinggi di antaranya. Dan mungkin, itulah satu-satunya warisan yang layak kita tinggalkan: warisan keberanian untuk mencintai tanpa gengsi.
Comments
Post a Comment