Skip to main content

Pluto dan Kutukan Planet yang Tak Diundang ke Reuni Keluarga Tata Surya

 

Pernahkah kamu didepak dari grup WhatsApp keluarga hanya karena kamu terlalu jarang mengirim stiker Selamat Pagi? Atau lebih parah: kamu tetap datang ke reuni keluarga, tapi namamu tidak ada di daftar undangan, dan semua orang berpura-pura tidak melihatmu berdiri canggung di pojokan sambil makan pastel.

Begitulah nasib Pluto sejak tahun 2006.

Dulu, Pluto adalah si bungsu kesayangan tata surya. Kecil, jauh, beku—tapi tetap dihitung. Masuk silabus pelajaran IPA. Namanya tercetak rapi di buku SD, ditemani ilustrasi lucu: bola es mungil yang mengelilingi matahari dengan polos. Tapi pada suatu siang yang tak mengenakkan, sekelompok ilmuwan yang terlalu serius memutuskan bahwa Pluto… bukan planet.

Tiba-tiba, dia didepak. Dibuang. Dipensiunkan secara paksa. Tanpa pesangon. Tanpa upacara perpisahan.

Alasannya? Karena Pluto terlalu kecil, terlalu miring orbitnya, dan tak mampu “membersihkan lingkungan orbitnya dari objek lain.” Ya ampun, bahkan jadi planet sekarang butuh kebijakan tata ruang. Tampaknya, Dewan Planet Tata Surya—kalau boleh kita sebut begitu—lebih mirip panitia masuk kos elit: kalau kamu terlalu kecil, terlalu aneh, dan tidak bisa menyingkirkan batuan liar dari sekitar tempatmu tidur, kamu dianggap mengganggu estetika tata surya.

Lucunya, saat Pluto dilabeli “planet kerdil”, dia tidak protes. Tidak turun ke jalan bawa poster bertuliskan I IDENTIFY AS A PLANET. Dia tidak bikin utas di Twitter, tidak menangis di podcast, tidak menulis surat terbuka ke NASA berjudul “Saya Masih Layak.” Dia hanya... terus mengorbit. Seperti biasa. Seperti sejak miliaran tahun lalu.

Pluto, saudara-saudara, adalah zen. Pluto adalah resistance yang sunyi. Dia tidak sibuk membuktikan dirinya ke publik; dia sibuk jadi dirinya sendiri.

Sementara itu, kita di Bumi sibuk mati-matian mengejar validasi. Pekerjaan harus punya gelar keren. Hubungan harus diumumkan dengan template canva. Pikiran harus dibungkus kutipan motivasi agar terlihat mendalam. Semua harus diukur, diklasifikasi, disertifikasi. Seolah-olah nilai eksistensial seseorang hanya sah jika diakui oleh lembaga resmi atau algoritma.

Tapi Pluto mengajarkan hal sebaliknya: kamu tetap bisa mengelilingi mataharimu, bahkan ketika dunia menghapusmu dari daftar resminya.

Planet atau Tidak Planet, Apa Pentingnya?

Pertanyaan sederhana: apakah hidup Pluto berubah sejak statusnya dicabut? Tidak. Apakah ia berhenti mengorbit? Tidak. Apakah ia keluar dari tata surya, membuka warung kopi di galaksi lain? Tidak juga. Ia tetap berada di sana—jauh, dingin, tenang. Tidak peduli dengan sirkus nomenklatur manusia.

Ilmuwan menyebutnya “planet kerdil.” Tapi itu seperti menyebut Socrates sebagai "pengangguran yang suka ngobrol". Ya, mungkin benar secara teknis. Tapi kamu melewatkan esensinya.

Label bukan segalanya.

Dan bukankah begitu juga hidup kita? Kita terlalu sering memerangkap diri dalam kotak sempit: status sosial, jabatan, jumlah followers, atau jabatan keluarga di grup arisan. Kita lupa bahwa esensi eksistensi bukan terletak pada label, tapi pada konsistensi.

Dunia Ini Terlalu Sibuk Menilai, Tapi Lupa Mengerti

Kisah Pluto adalah sindiran halus terhadap dunia yang mencintai klasifikasi tapi malas mengenal. Dunia yang cepat sekali menunjuk dan menilai: ini sah, ini tidak sah. Ini normal, ini menyimpang. Ini planet, ini bukan. Dunia yang berpikir dalam daftar, bukan dalam makna.

Bahkan standar “planet” pun berubah. Kalau dulu ukuran dan lintasan cukup jadi syarat, sekarang ada tambahan: harus mampu “menguasai lingkungan sekitarnya.” Kalau itu diterapkan ke manusia, berarti kamu baru bisa disebut “dewasa” kalau sudah sukses menyapu bersih kompetitor di lingkup 5 kilometer dari rumahmu.

Kebetulan saja Pluto tidak hidup di era startup. Kalau tidak, dia pasti sudah membuat pitch deck dengan slogan:

“Kami adalah entitas luar angkasa yang disruptif, dengan orbit unik dan potensi investasi berbasis cryogenic minerals.”
Dan beberapa investor bumiwi mungkin akan percaya.

Moral dari Pluto: Jangan Sibuk Masuk Daftar, Sibuklah Jadi Dirimu

Akhirnya, kita semua harus bertanya: kita ini siapa kalau tanpa label dari orang lain?

Karena kadang dunia memang absurd. Kadang orang-orang akan mencabut statusmu bukan karena kamu tidak layak, tapi karena kamu tidak muat dalam kerangka berpikir mereka yang sempit. Dan ketika itu terjadi, kamu bisa memilih: menangis di pojok, atau mengorbit seperti Pluto.

Jangan salah: Pluto tidak perlu diakui sebagai planet untuk tetap menjadi bagian dari sistem. Ia hanya perlu setia pada lintasannya.

Maka saat hidup ini membuatmu merasa dikeluarkan dari “daftar resmi”, entah itu cinta, pekerjaan, atau pertemanan—ingatlah Pluto.

Ia tidak bersinar terang. Ia bahkan tak terlihat tanpa teleskop. Tapi ia tetap ada. Dan tetap berputar.

Dan siapa tahu… suatu hari nanti, saat manusia menyadari bahwa ukuran dan definisi itu fana, Pluto akan disambut kembali—bukan karena ia berubah, tapi karena manusia akhirnya bisa melihat lebih dalam.

Atau tidak. Dan itu pun tidak masalah.

Karena Pluto tidak butuh pengakuan. Ia hanya butuh jarak, dingin, dan sedikit ketenangan dari kegilaan dunia.

Dan mungkin… kamu juga.


Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...