Selamat datang di dunia pemasaran digital 2025 — tempat di mana manusia berubah wujud menjadi Swiss Army Knife hidup. Di mana satu kepala harus kuat menopang enam topi profesi, sementara dompetnya cuma cukup buat beli satu porsi nasi padang (tanpa rendang).
Topi-topi itu tidak main-main. Di sana tertulis tegas: Social Media Manager, Graphic Designer, Video Editor, Copywriter, Videographer, Photographer. Dan jangan lupa: semua itu hanya untuk satu orang. Dengan satu gaji. Tanpa lembur. Tanpa asuransi jiwa. Tanpa penghargaan, selain mungkin ucapan, “Kamu hebat banget ya, bisa semua.”
Terdengar familiar?
Di lautan lowongan kerja dan agensi yang silih berganti seperti mantan datang minta balikan, satu pola terus berulang dan kini menjadi mantra zaman:
“Jack of all trades, master of none, tapi yang penting murah.”
Mari kita hadapi kenyataan pahit ini dengan senyuman getir. Perusahaan-perusahaan hari ini bukan lagi mencari talenta. Mereka mencari paket bundling. Bukan lagi tim, tapi versi manusia dari promo combo hemat.
📦 Mereka ingin:
-
Strategi seorang konsultan.
-
Desain setajam desainer senior.
-
Video sekelas Netflix.
-
Caption selembut pujangga.
-
Konten secepat Reels viral.
-
Dan semua itu... diselesaikan kemarin.
Kenapa tidak sekalian minta bisa terbang dan menyembuhkan luka batin CEO-nya?
Padahal kalau kita tarik ke filsafat praktis, jelas: peran berbeda memerlukan kompetensi berbeda. Bayangkan kamu minta seorang koki juga jadi kasir, cleaning service, akuntan, barista, dan motivator rohani. Bukan hanya makanannya gosong, tapi jiwanya juga.
🧠 Social Media Manager bukan Graphic Designer.
🎨 Graphic Designer bukan Video Editor.
✍️ Copywriter bukan Strategist.
📹 Videographer bukan Terapi Healing Innerchild.
Setiap peran lahir dari latar belakang, pelatihan, jam terbang, dan intuisi yang tidak bisa dibubuhkan begitu saja dalam satu jobdesk Excel. Tapi kini semua itu diperas menjadi satu kata sakti: “Multitalenta.”
Multitalenta bukan berarti serba bisa. Kadang ia adalah eufemisme dari “terpaksa bisa semua agar tetap makan.”
Ironisnya, industri yang katanya “mengutamakan kreativitas” justru melanggengkan pola pikir manufaktur: satu orang = seribu fungsi = efisiensi maksimal. Kreativitas dikeringkan seperti spons, diperas sampai tetes terakhir, lalu dibuang saat mulai berjamur.
Dan kemudian mereka bertanya:
“Kenapa ya output tim kreatif kita sekarang biasa aja?”
Jawaban sebenarnya sederhana:
Karena kita memperlakukan manusia seperti printer multifungsi.
Padahal manusia bukan alat. Manusia punya batas. Dan kreativitas tidak tumbuh dari tekanan deadline atau seruan “ngerti kan maksud saya? Gampang kok!” sambil memberikan brief setipis tissue bekas.
Sudah saatnya kita mereformasi narasi ini.
⚠️ Hormati spesialisasi.
⚠️ Bayar sesuai peran.
⚠️ Pahami bahwa satu orang tidak bisa jadi rombongan sirkus digital.
Kembalilah ke asas keadilan. Jika ingin hasil luar biasa, rekrut talenta yang sesuai untuk tiap bidang. Bukan mencetak satu gladiator konten yang harus bertarung setiap hari dengan laptop panas dan kopi sachet.
Ingat:
Dunia digital bisa berubah cepat. Tapi rasa hormat terhadap profesi tidak boleh ikut tergerus.
PS: Kepada semua insan kreatif yang kini mengenakan enam topi, saya salut. Tapi juga ingin bilang: topi itu berat, dan Anda tidak harus memakainya semua.
Comments
Post a Comment