Ada rumah yang lebih dari sekadar dinding, jendela, dan atap. Ada rumah yang, meskipun statusnya hanya kontrakan, mampu menjelma menjadi ruang doa, mimpi, dan kenangan. Begitulah rumah ini bagi kami—rumah impian yang datang terlambat, lalu pergi terlalu cepat.
Ahad lalu, pemilik rumah mengetuk pintu. Aku sudah tahu maksud kedatangan mereka. Dan benar, mereka meminta kami untuk keluar. Rumah ini akan direnovasi, lalu kembali mereka huni. Semua alasan logis dan wajar, tapi tetap saja, hatiku serasa ditusuk perlahan.
Aku kabarkan pada istri dan anak-anakku. Wajah mereka runtuh. Si bungsu, sempat menangis diam-diam di malam hari. Ia bukan sekadar kehilangan ruang, melainkan juga panggung kecil tempat ia menempelkan mimpinya. Di rak bukunya tersusun manga-manga kesayangan, di mejanya berserakan sketsa dan catatan cerita. Ia sering bilang, kelak ingin menjadi wartawan perang—sebuah cita-cita yang terdengar jauh, tapi lahir dari imajinasi yang tumbuh di kamar ini. Betapa sedihnya, panggung kecil itu sebentar lagi akan ditutup.
Abangnya punya dunia sendiri. Dinding kamarnya penuh poster pahlawan super dari komik Marvel, bercampur dengan karya-karya hasil tangannya sendiri. Di balik wajahnya yang terlihat dingin, ada dunia khayal yang juga tumbuh di kamar itu. Sebuah ruang privat tempat ia belajar, beristirahat, dan mencetak sebagian masa mudanya.
Istriku pun terdiam lama. Rumah ini adalah simbol yang ia perjuangkan bersamaku: tempat di mana akhirnya kami bisa menatap anak-anak tidur di kamar mereka masing-masing, tempat di mana suara riuh tawa dan pertengkaran kecil terdengar akrab, tempat yang terasa lebih dari sekadar kontrakan. Rumah ini adalah perwujudan doa-doa kami yang lama terkatung-katung.
Dan kini, kami harus melepaskannya.
Namun, hidup punya cara aneh untuk menyeimbangkan luka. Beberapa hari setelah kabar pahit itu, tepatnya Kamis, aku menjalani masa penentuan di tempat kerja baruku. Sejak tiga bulan terakhir, aku jalani masa percobaan dengan cemas yang tak pernah reda. Setelah bertahun-tahun menganggur, setelah usia mendekati 50 tahun membuat banyak pintu tertutup, aku merasa sedang berjalan di ujung jurang.
Dan hari itu, jawaban yang kutunggu akhirnya datang: aku lulus, aku diterima.
Aku bekerja dari rumah, hanya sesekali perlu datang ke kantor. Pekerjaan ini terasa seperti anugerah, bukan hanya karena gaji, melainkan karena mengembalikan sesuatu yang lama hilang: harga diri. Saat aku menyampaikan kabar itu, istriku tersenyum lega, anak-anak bersyukur dengan gaya khas mereka masing-masing.
Aku sendiri nyaris menangis. Rasanya seperti mendapat napas baru setelah sekian lama tenggelam.
Seminggu ini benar-benar seperti lintasan roller coaster. Di satu sisi, aku kehilangan rumah yang terasa begitu menyatu dengan jiwa. Di sisi lain, aku mendapat pekerjaan yang memberiku kepastian. Seakan-akan hidup sedang mengingatkan: selalu ada yang pergi, selalu ada yang datang.
Rumah ini akan tetap menjadi bagian dari kisah kami. Setiap sudutnya menyimpan fragmen kecil kehidupan: tawa di ruang tamu, aroma masakan dari dapur, langkah kaki di tangga yang tak pernah sepi. Kamar anak-anakku yang penuh poster dan coretan adalah saksi dari mimpi-mimpi mereka yang sedang tumbuh. Semua itu akan berubah jadi kenangan yang suatu hari mungkin kami kenang sambil tersenyum getir.
Tapi aku belajar sesuatu. Rumah terbaik bukanlah yang besar atau indah, melainkan rumah yang sanggup menampung cinta, tawa, dan mimpi. Rumah sejati bukan dinding, melainkan kehangatan orang-orang yang ada di dalamnya. Dan pekerjaan terbaik bukan semata jabatan, melainkan pekerjaan yang memberi ruang untuk bernapas dan merasa dihargai.
Kehilangan ini menyakitkan, tapi kabar baik itu memberi kami harapan. Dan aku percaya, selama kami masih bersama, kami akan selalu menemukan rumah—entah di mana pun itu nantinya.
Hidup tak meminta kita memilih antara bahagia dan sedih—ia mengajarkan kita untuk merangkul keduanya sekaligus.
Comments
Post a Comment