Jakarta,
kau berdiri angkuh dan manis sekaligus,
di antara langit kelabu dan senja yang malu-malu
memoles cakrawala dengan rona jingga yang pelan
seakan tak ingin terburu-buru
mengakhiri hari yang penuh sesak.
Gedung-gedungmu
tegak seperti puisi yang dibangun dari baja dan kaca,
menyentuh langit tanpa ragu,
memantulkan cahaya yang kini mulai redup
namun tetap anggun,
seolah berkata:
“Aku pernah menyala, aku akan bersinar lagi esok pagi.”
Sungai kecil mengalir pelan di bawahnya,
cokelat dan jujur,
menjadi saksi bisu ribuan langkah yang pulang
menyusuri lorong-lorong waktu bernama rutinitas.
Lampu-lampu kendaraan menyalakan nyawa jalanan,
seperti bintang-bintang yang terlalu cinta tanah
hingga enggan bersemayam di langit.
Para pekerja—
dengan tubuh lelah dan mata yang menatap jauh
ke arah rumah,
ke arah pelukan,
ke arah nasi hangat dan anak-anak yang menunggu cerita—
mereka pulang,
dalam diam yang penuh harapan.
Sore di Jakarta bukan sekadar waktu,
ia adalah rasa.
Campuran getir dan manis,
antara ambisi dan kerinduan,
antara hiruk-pikuk dan hening yang dirindukan.
Di sela-sela hon dan langkah cepat,
terselip doa-doa kecil:
tentang rezeki yang cukup,
tentang waktu luang yang utuh,
tentang hidup yang tetap hangat walau tak selalu mudah.
Jakarta,
kau tak pernah benar-benar tidur,
tapi soremu adalah jeda yang lembut,
sebelum malam mengganti baju dan
menghidupkan lampu-lampu mimpi.
Dan di balik segala riuh dan gegap gempita,
kau tetap cantik,
dalam caramu yang paling sederhana—
ketika senja jatuh perlahan
di sela bayang gedung-gedung yang tak pernah lelah
menjaga langitmu.
Comments
Post a Comment