Skip to main content

Siapa Bilang Rakyat Tak Punya Jam Tangan?

 

(Sebuah esai satir—filosofis tentang amuk yang datang tepat waktu)

Di buku sejarah kita, rakyat selalu muncul seperti tokoh sampingan yang menunggu cue dari sutradara: Filipina punya People Power (lampu padam—kediktatoran ikut padam), Korea Selatan punya Gwangju (sebuah kota berkata “cukup”), Tiongkok punya Tiananmen (sebuah lapangan mengajarkan dunia arti tank), Indonesia punya Mei ’98 (ekonomi kolaps, rezim ikut rubuh). Setiap kali jam besar di dinding negeri berdentang, rakyat keluar; dan seperti yang selalu diperingatkan para ibu: kalau sudah marah, pasti ada piring yang pecah.

Agustus di Jakarta: Dua Babak dalam Satu Pekan

Tanggal 25 Agustus 2025, Senayan menggelar drama: mahasiswa—ditemani ojek online—mendekat ke kompleks DPR, menuntut akal sehat soal gaji dan tunjangan wakil rakyat. Polisi membalas dengan gas air mata dan water cannon; massa menanggapi dengan batu, botol, dan kembang api; satu sepeda motor dilaporkan dibakar. Inti kemarahan? Kontras antara penghasilan wakil rakyat (paket gaji + tunjangan yang tembus ratusan juta) dan upah rata-rata warga yang masih di kisaran jutaan. Simbol-simbol pop—bendera bajak laut ala One Piece—berkibar di tengah kabut gas; sinisme generasi streaming bertemu dinginnya angka APBN. ReutersAP News

Tiga hari kemudian, 28 Agustus, panggung di depan DPR kembali penuh: serikat buruh mengusung enam tuntutan yang sangat “domestik” namun konsekuensinya politis—hapus outsourcing dan tolak upah murah; naikkan upah minimum 2026 sebesar 8,5–10,5%; hentikan gelombang PHK; reformasi pajak perburuhan (termasuk wacana menaikkan PTKP menjadi Rp7,5 juta/bulan serta menghapus pajak pesangon, THR, JHT); dorong RUU Ketenagakerjaan non-omnibus; dan sahkan RUU Perampasan Aset. Aksi sempat panas lagi—petasan, dorong-dorongan, lalu gas air mata—sebelum massa bubar. Bisnis.comKompas.tvMerahPutih

Ada yang menyebut dua babak ini sekadar “musiman.” Tapi jika ditarik garis panjang, pola-pola lama muncul dengan kostum baru: jurang representasi (wakil vs diwakili), ketimpangan, dan—yang paling menyakitkan—rasa dipermainkan oleh bahasa kebijakan. Bahasa yang rapi di rapat dengar pendapat, tetapi terdengar seperti gurauan pahit di dapur kontrakan.

Atlas Kemarahan: Kilas Dunia (Singkat, Pedih, Berulang)

Argentina — Negeri tango menari di atas panci-panci yang dibenturkan (cacerolazo). Desember 2001, krisis moneter membikin jalanan mendidih—puluhan nyawa melayang dalam dua hari kerusuhan. Dua dekade lewat, babak baru datang: 2017 ricuh soal reformasi pensiun; 2024, di sekitar Kongres Buenos Aires, water cannon & gas air mata kembali berbisnis seperti biasa ketika publik menolak paket deregulasi besar. Di sini, “pasar” sering menang berdebat di ruang rapat; di jalanan, lutut rakyat yang menjawab. The GuardianopenDemocracyPolitico

Amerika Serikat — 2020, pembunuhan George Floyd memantik gelombang protes terbesar dalam sejarah modern AS: belasan juta orang turun ke jalan di ribuan kota. Mayoritas damai, sebagian berujung rusuh; kerusakan diasuransikan sampai miliaran dolar; polisi berseragam perang, peluru karet, gas air mata—pada akhirnya, data tetap menunjukkan 90% lebih aksi berlangsung damai. Di negeri dengan demokrasi tertua yang sering jadi juri dunia, “ketertiban” dan “kebebasan” masih berkelahi di lengan yang sama. WikipediaACLED

Rumania — 2017–2019, ratusan ribu warga memadati Bucharest menolak dekrit yang melunakkan tindak korupsi—protes terbesar sejak 1989. Bahkan aksi diaspora 10 Agustus 2018 berakhir dengan ratusan orang perlu perawatan medis. Negara yang pernah mengajar Eropa Timur cara menjatuhkan tirani kini mengajari birokrasi cara takut pada senter saku warganya. Wikipedia

PrancisGilets Jaunes, rompi kuning yang awalnya hanya soal pajak bahan bakar, lalu mekar menjadi gugatan luas atas biaya hidup dan representasi. Korban jiwa, ratusan cedera, dan satu pelajaran lama: republik bisa sangat keras kepala—dan warganya pun demikian. Al JazeeraFrance 24

Cile — Kenaikan tarif metro 30 peso (sekitar empat sen dolar) pada 2019 menyulut estallido social: keadaan darurat, tentara di jalan, dan laporan penembakan peluru karet yang membutakan mata para demonstran. Kadang percikan kecil menyulut sejarah besar. VoxFrance 24Amnesty International

Sri Lanka — 2022, warga menyerbu istana; presiden berjanji mundur lalu angkat koper. Ketika kulkas kosong lebih fasih daripada pidato, legitimasi runtuh bukan oleh pamflet, melainkan oleh antrian solar. The GuardianAl Jazeera

Iran — 2022, kematian Mahsa (Jina) Amini melahirkan seruan “Perempuan, Hidup, Kebebasan.” Laporan independen memperinci ratusan korban jiwa dan pembunuhan di luar hukum—terutama dalam peristiwa “Jumat Berdarah” di Zahedan. Di sini, tubuh perempuan menjadi halaman depan republik, dan rakyat mengembalikannya sebagai manifesto. House of Commons LibraryThe Washington PostHuman Rights Watch

Apa yang Sebenarnya Terjadi Saat Rakyat Marah?

Kita suka berpikir kemarahan rakyat itu “spontan.” Nyatanya, ia lebih mirip gempa yang sudah lama menggesek di bawah tanah. Pemicunya bisa macam-macam: ongkos hidup, polisi yang menembak, hukum yang melunak untuk elite, tunjangan yang terasa menghina logika. Tetapi struktur di bawahnya nyaris sama di banyak negara:

  1. Defisit Representasi — Ketika bahasa kebijakan terdengar seperti akrobat kata untuk melindungi yang di atas, rakyat belajar menerjemahkan: “Bersabar” = “Tahan sakit lebih lama.” Di Jakarta minggu ini, isu tunjangan dan gaji DPR berperan menjadi kamus kilat untuk menerjemahkan jurang. AP NewsReuters

  2. Krisis Kepercayaan — Semakin sering janji diumumkan di konferensi pers, semakin cepat massa mengecek tanggal kedaluwarsanya di jalan raya. Argentina, Rumania, hingga Cile menunjukkan: begitu publik yakin hukum adalah bumerang, trotoar jadi kotak suara alternatif. PoliticoWikipediaFrance 24

  3. Kekerasan sebagai Bahasa Default — Gas air mata dan peluru karet adalah Google Translate negara: dipakai saat pemerintah tak lagi mengerti bahasa rakyat. AS, Cile, bahkan momen di Senayan pekan ini, membuktikan kamus itu masih laris. WikipediaAmnesty InternationalMerahPutih

Indonesia, Edisi 2025: Yang Baru, Yang Lama

Yang baru: estetika protes. Dari spanduk meme, bendera bajak laut anime, hingga live-stream lintas platform—protes kini punya brand guideline yang lincah. Yang lama: daftar tuntutan sangat nyata—upah, PHK, outsourcing, pajak—dan satu tema klasik: keadilan prosedural. Saat buruh menyebut angka 8,5–10,5% untuk UMP 2026, mereka mengusulkan matematika moral: kalau inflasi, produktivitas, dan pertumbuhan selalu punya rumus, kenapa kesejahteraan hanya punya slogan? Bisnis.comKatadata

Yang juga lama: refleks keamanan. Setiap kali massa mendorong pagar, negara mengeluarkan manual “pengendalian massa” yang—anehnya—tidak pernah benar-benar menenangkan massa. Kita selalu kembali ke pertanyaan Socrates versi senayan: “Mana yang lebih berbahaya: rakyat yang marah, atau penguasa yang tidak mendengar?” (Catatan: sejarah sering berpihak pada mikrofon yang berfungsi.)

Catatan untuk Para Penguasa (dan Kita Semua)

  1. Jelaskan dengan angka, bukan slogan. Jika ada rasionalisasi tunjangan, dedahkan metodologinya seterang audit—sebelum netizen membuat versinya sendiri. (Lihat bagaimana narasi “allowance Rp50 juta/bulan” menjadi bensin protes.) AP News

  2. Rawat legitimasi dengan respons cepat. Rumania membatalkan dekrit, tapi publik tetap menguji ketulusan lewat aksi susulan—karena legitimasi bukan satu event, melainkan maintenance. Wikipedia

  3. Kurangi jarak simbolik. Di tengah keluhan biaya hidup, wacana menaikkan fasilitas pejabat adalah poster yang ditempel terbalik. Argentina dan banyak negara lain sudah memperagakan akibatnya. Politico

  4. Amankan hak protes, bukan hanya pagarnya. Data AS 2020 menunjukkan mayoritas aksi damai; pendekatan “militerisasi” sering memperparah eskalasi dan memperlebar jurang kepercayaan. WikipediaACLED

Darah, Keringat, dan Jam Tangan

“Ketika rakyat marah, darah akan tertumpah,” begitu kata Anda. Mungkin benar—tetapi seringkali yang lebih dulu tertumpah adalah kepercayaan. Dan ketika kepercayaan sudah habis, waktu meledak dalam ritme yang sangat presisi: 25 Agustus, 28 Agustus, entah tanggal berapa lagi. Sejarah bukan deret kebetulan; ia jadwal rapat yang tak pernah benar-benar selesai.

Jika negara ingin mengubah alur cerita, kurangi adegan gas air mata, tambah adegan dengar pendapat yang sungguh-sungguh; ganti monolog podium dengan dialog yang merumuskan angka—bukan sekadar tagline. Sebab rakyat, ternyata, punya jam tangan. Dan mereka pandai datang tepat waktu.


Rujukan utama (ringkas):
• Ricuh 25 Agustus soal gaji/tunjangan DPR & respons aparat: Reuters, AP. ReutersAP News
• Aksi buruh 28 Agustus & enam tuntutan: Bisnis.com, KompasTV, Katadata. Bisnis.comKompas.tvKatadata
• Argentina: 2001 kerusuhan; 2017/2024 bentrokan di sekitar Kongres: Guardian, openDemocracy, Politico. The GuardianopenDemocracyPolitico
• AS: skala protes George Floyd & temuan ACLED: Wikipedia (ringkasan terkurasi), ACLED. WikipediaACLED
• Rumania: protes anti-korupsi 2017–2019 & korban 2018: Wikipedia (ringkasan terkurasi). Wikipedia
• Prancis: Gilets Jaunes dan korban: Al Jazeera, France24. Al JazeeraFrance 24
• Cile 2019: pemicu 30 peso & pelanggaran HAM: Vox, France24/VOA, Amnesty. VoxFrance 24Amnesty International
• Sri Lanka 2022: istana diserbu & presiden mundur: The Guardian, Al Jazeera. The GuardianAl Jazeera
• Iran 2022: korban dan temuan PBB/LSM: UK Parliament Library, Washington Post, HRW. House of Commons LibraryThe Washington PostHuman Rights Watch

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...