Skip to main content

Way Haru: Republik yang Lupa Rumah Sendiri

 

Ada sebuah nama yang terdengar seperti judul lagu lama atau legenda hutan tropis: Way Haru. Letaknya bukan di luar negeri, bukan pula di titik misterius yang bahkan peta Google pun menyerah. Ia berada di ujung barat Provinsi Lampung, bagian dari republik yang mengaku berdaulat, adil, dan makmur. Namun dari cara negara memperlakukannya, kita bisa bertanya: Republik ini untuk siapa sebenarnya?

Jalan yang Tak Layak Disebut Jalan

Orang kota sering mengeluh macet di depan mall karena proyek flyover molor. Warga Way Haru bahkan tidak punya kemewahan untuk merasakan macet—karena mereka tidak punya jalan. Yang mereka miliki hanyalah jalur tanah bercampur batu dan lumpur yang lebih layak disebut trek rally. Inilah definisi kemajuan yang absurd: negara bisa mengaspal jalan layang ratusan meter di kota, tetapi gagal memberi jalan tanah yang bisa dilalui tanpa risiko patah tulang di desa.

Di Way Haru, orang sakit tidak langsung ke puskesmas. Mereka harus ditandu, berjalan belasan kilometer menembus medan yang membuat supir ojek kota menangis kalau diminta lewat sana. Sementara di kota, pejabat sibuk memotong pita peresmian gedung baru dengan AC yang suhunya bisa disetel 18 derajat.

BBM: Ketika Harga Menjadi Hukuman

Harga Pertalite di sana Rp17 ribu per liter. Bukan karena krisis global, melainkan karena akses logistik seperti film horor. Setiap liter bensin yang tiba, seperti memenangkan lotre. Sementara di kota, mobil pejabat berderet di SPBU resmi, mengisi tangki dengan harga subsidi. Ironi republik: subsidi untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan, bukan mereka yang dekat dengan keterasingan.

Di Way Haru, harga hidup itu hukuman. Bayangkan jika setiap kali anakmu sakit, bukan hanya biaya obat yang mahal, tetapi juga biaya untuk mencapai apotek yang membuatmu berpikir dua kali. “Kemajuan” macam apa yang menormalisasi penderitaan ini?

Lampung Maju: Slogan atau Lelucon?

“Lampung Maju” katanya. Kata yang dicetak tebal di baliho, ditulis di spanduk setiap kali pejabat datang, dan dipromosikan di akun media sosial pemerintah. Tapi ketika sampai di Way Haru, slogan itu terdengar seperti humor sinis yang bahkan komedian pun enggan melontarkannya.

Negara seolah berkata: kami membangun tol megah, kami punya flyover, kami punya bandara — sementara ujung wilayahnya seperti anak tiri yang bahkan tak diberi sandal untuk berjalan. Inilah wajah pembangunan: glamor di pusat, telanjang di pinggiran.

Kemajuan Versi Kekuasaan

Di kota, kemajuan diukur dari berapa banyak beton yang berdiri. Di pinggiran, kemajuan diukur dari berapa banyak lumpur yang bisa dihindari. Perbedaan ini bukan karena rakyat Way Haru tidak mau maju, tetapi karena kekuasaan lebih sibuk memoles wajahnya sendiri ketimbang mencuci kaki yang kotor.

Apa artinya republik kalau ada warganya yang merasa tinggal di luar negeri sendiri? Jika membangun jalan saja dianggap investasi rugi karena penduduknya sedikit, maka republik ini bukan lagi rumah bersama, melainkan hotel berbintang yang hanya melayani tamu kelas tertentu.

Way Haru sebagai Cermin

Way Haru adalah cermin yang memantulkan betapa pembangunan kita sering bersifat kosmetik: bagus di foto, buruk di kenyataan. Ia adalah simbol negara yang rela memotong pita proyek tol untuk kamera, tapi enggan memotong birokrasi untuk membuka akses jalan desa.

Jika sebuah republik tidak bisa menjangkau rakyatnya di ujung batas, apakah kita benar-benar layak menyebutnya republik? Atau kita hanya tinggal di sebuah perusahaan besar dengan saham terbatas, di mana yang tinggal di pusat kota adalah pemegang saham, sementara yang di hutan adalah karyawan kontrak tanpa hak cuti?

Filosofi yang Terlupakan

Pembangunan seharusnya tentang memanusiakan manusia, bukan memamerkan beton. Infrastruktur bukan sekadar angka di laporan atau foto aerial yang masuk majalah bandara. Jalan di Way Haru bukan hanya soal aspal—itu tentang memastikan seorang ibu bisa membawa anaknya berobat tanpa mempertaruhkan nyawa di jalan tanah. Itu tentang memastikan petani bisa menjual panennya tanpa separuh hasil habis untuk ongkos angkut. Itu tentang menghapus stigma bahwa lahir di pinggiran berarti dihukum sejak lahir.

Pertanyaan untuk Rezim

Jadi, wahai para pemimpin yang sibuk mencetak slogan: untuk apa kalian bicara “Lampung Maju” jika ada warga yang bahkan tidak bisa melihat republik kecuali di televisi? Untuk apa bangga membangun flyover di kota, jika di Way Haru orang sakit masih harus ditandu? Kemajuan apa yang kalian maksud—kemajuan beton atau kemajuan manusia?

Kesimpulan yang Tak Mau Menjadi Kesimpulan

Way Haru bukan sekadar cerita sedih di ujung provinsi; ia adalah tamparan ke wajah kekuasaan yang terlalu lama memalingkan muka. Dan tamparan itu menyakitkan bukan karena keras, tapi karena benar.

Republik ini akan selalu gagal “maju” selama ada satu saja warga yang harus berjalan belasan kilometer hanya untuk bertahan hidup. Way Haru bukan tragedi geografis; ia adalah tragedi moral.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...