Skip to main content

17 + 8 = 25: Matematika Perlawanan Rakyat

Dalam politik, angka seringkali lebih jujur daripada pidato. Pidato bisa penuh retorika, tetapi angka tidak pandai berbohong. Dari daftar tuntutan rakyat yang belakangan beredar, ada sesuatu yang menarik: jumlah poin yang mereka ajukan bukan sembarangan. Ada 17 poin utama, lalu ditambah 8 poin lanjutan, yang jika digabung menjadi 25 tuntutan. Sekilas ini hanya hitungan aritmetika sederhana. Tetapi jika ditelisik, ia menyimpan makna simbolis yang lebih dalam: sebuah bahasa perlawanan yang ditulis dengan angka, bukan sekadar kata.


17: Jejak Kemerdekaan

Angka 17 bukan angka biasa di Indonesia. Ia adalah tanggal proklamasi kemerdekaan, simbol lahirnya bangsa yang bebas dari penjajahan. Dengan mengawali daftar tuntutan dengan 17 poin, seolah rakyat sedang berkata: kami ingin kembali pada cita-cita asli kemerdekaan, cita-cita yang sudah jauh dibelokkan oleh elite politik.

Kemerdekaan itu bukan sekadar bebas dari kolonial asing, tapi juga bebas dari korupsi, penindasan ekonomi, dan privilese yang hanya dinikmati segelintir orang di kursi empuk parlemen. 17 poin tuntutan itu adalah proklamasi ulang, versi rakyat abad ke-21.


8: Agustus, Bulan Perlawanan

Angka 8 hadir bukan sebagai tambahan kosong, melainkan pengingat bahwa perlawanan rakyat ini lahir di bulan Agustus. Bukan kebetulan bahwa aksi besar dilakukan pada 25, 28, dan 29 Agustus 2025. Bulan yang sama dengan bulan proklamasi, hanya berbeda tahun.

Seolah rakyat sedang menyelipkan pesan: kalau elite politik tidak sanggup menjaga warisan kemerdekaan, maka kami sendiri yang akan merawatnya, bahkan jika harus turun ke jalan di bulan yang sama ketika republik ini pertama kali diproklamirkan.


25: Tahun Ini, Saatnya

Ketika 17 + 8 menghasilkan 25, ia bukan lagi angka abstrak. Ia menyatu dengan tahun ini, 2025. Angka itu menjadi penanda zaman, garis tipis antara kesabaran dan kemarahan.

Rakyat ingin mengingatkan: cukup sudah, ini waktunya. Tuntutan mereka bukan sekadar catatan aspirasi, melainkan ultimatum historis. Kalau tahun 1945 adalah tahun lahirnya republik, maka 2025 bisa jadi tahun rakyat menagih utang janji kemerdekaan yang sudah terlalu lama diselewengkan.


Matematika Moral

Uniknya, jumlah tuntutan yang berakhir di angka 25 juga menunjukkan logika yang sederhana tapi tajam: rakyat sudah menghitung. Mereka tahu persis berapa gaji anggota DPR, berapa privilese yang dinikmati, berapa triliun anggaran DPR yang menguap.

Jika dulu rakyat hanya bisa mengeluh, kini mereka datang dengan kalkulator moral. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan akta dakwaan terhadap sistem politik yang busuk. Dengan 25 tuntutan ini, rakyat sedang memegang papan tulis besar di depan DPR dan menulis: ini soal matematika sederhana, bukan filsafat rumit—kalau uang negara disedot segelintir orang, maka rakyat akan terus menderita.


Simbol Perlawanan

Kalau mau dibaca lebih puitis:

  • 17 adalah akar.

  • 8 adalah batang.

  • 25 adalah buah.

Artinya, akar perjuangan kemerdekaan (17), tumbuh dalam perlawanan rakyat di bulan Agustus (8), lalu menghasilkan buah berupa 25 tuntutan di tahun 2025.

Sebuah siklus yang indah sekaligus getir, karena mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak pernah selesai; ia harus terus diperjuangkan, bahkan melawan anak-anak kandung bangsa sendiri yang kini menjelma jadi elite rakus.


Ultimatum Angka

Pada akhirnya, 17 + 8 = 25 bukan sekadar soal jumlah poin dalam daftar tuntutan. Ia adalah bahasa rakyat yang sederhana, padat, dan sulit dibantah. Angka itu mengikat masa lalu (1945), masa kini (Agustus 2025), dan masa depan (apakah bangsa ini masih punya harapan atau tidak).

Dan seperti semua angka, ia tidak bisa diganggu gugat. Kalau elite politik mengabaikannya, rakyat tinggal menambahkan satu angka lagi di papan hitungannya: Revolusi.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...