Di era ketika manusia lebih rajin memencet tombol share daripada membaca, sebenarnya membedakan mana karya manusia, mana karya AI itu bukan perkara susah-susah amat. Sungguh. Kita tak perlu gelar akademik berjejer dari fakultas teknik informatika atau lisensi video editor tingkat dewa untuk sekadar tahu: ini gambar manusia, ini gambar buatan mesin.
Coba perhatikan: sesempurna apa pun hasil karya AI, selalu ada flaws—cacat kecil yang membuat kita geleng-geleng kalau mau sedikit saja memakai nikmat akal. Kacamata menempel di mata, tapi tanpa gagang dan melayang begitu saja, jari tangan yang kalau dihitung malah sebelas, atau tulisan di papan nama yang lebih cocok jadi jampi-jampi ketimbang alfabet. Itu semua petunjuk. Petunjuk yang sering kita abaikan karena kita lebih sibuk wow-ing hasilnya ketimbang mengamati detailnya.
Lucunya, ini mirip dengan cara kita membedakan berita asli dengan hoaks. Caranya? Sama saja: tinggal effort sedikit buat cari sumber lain, cek berita pembanding di mesin pencari, atau ya… minimal baca sampai selesai sebelum komentar “MasyaAllah, sadis sekali!” padahal baru baca judulnya doang. Tapi apa daya, netizen kita lebih kuat jempolnya ketimbang otaknya. Bukan karena bodoh, tapi karena malas. Malas menggali kebenaran, tapi rajin sekali menimbun kekacauan.
Di sinilah tragedi modern kita bermula. Kita hidup di zaman ketika teknologi makin cerdas, tapi penggunanya makin dungu—sorry not sorry. AI dilatih untuk mengenali pola, sedangkan kita malah makin malas mengenali pola kebohongan. AI rajin belajar, kita rajin scroll. AI udah bisa bikin naskah film pendek dengan alur non-linear, kita masih anggap sinetron adegan kecelakaan 12 kali zoom-in itu mahakarya.
Lalu kita bersembunyi di balik alasan klasik: “Ah, aku kan cuma netizen biasa.” Loh, sejak kapan status sebagai “netizen biasa” jadi alasan pembenaran untuk jadi pemalas verifikasi? Kalaupun kalian netizen biasa, masa kalah sama mesin yang cuma rangkaian kode?
Yang lebih ironis lagi, kita ini spesies yang konon paling mulia, tapi kerjaannya nitip otak ke AI. Tanyalah diri sendiri: kapan terakhir kali Anda membaca berita sampai tuntas, bukan cuma judul? Kapan terakhir kali Anda lihat foto viral, lalu memperbesar gambarnya, periksa detailnya, dan berpikir: “Hmm, ini kayaknya aneh deh”? Jangan-jangan terakhir kali Anda crosscheck berita adalah saat cari harga promo Indomie di minimarket.
Padahal, kalau kita mau sedikit saja peka, flaws karya AI itu kentara banget. Sama kentaranya dengan flaws dalam logika berita hoaks. Bedanya, flaws di karya manusia biasanya lahir dari keterbatasan; sedangkan flaws di karya AI lahir dari kecanggihan yang belum sempurna. Sedangkan flaws netizen? Lahir dari kemalasan, dikawinkan dengan kepercayaan diri berlebih, lalu melahirkan spesies baru: netizen sotoyus maximus.
Maka, jangan heran kalau kita makin sering terkecoh. Karena masalahnya bukan di AI yang terlalu pintar, bukan di hoaks yang terlalu licik, tapi di kita sendiri yang terlalu malas. Kita lebih suka jadi corong berita palsu ketimbang jadi saringan kebenaran. Kita lebih bangga jadi buzzer dadakan ketimbang jadi pemikir awam. Kita lebih suka vibes dramatis ketimbang fakta yang mungkin pahit.
Jadi, lain kali kalau Anda lihat foto yang aneh—jari sebelas, gigi vampir, atau tulisan “welcome” yang jadi “welco#@%&”—jangan buru-buru teriak: “Inilah bukti keajaiban dunia!” Coba lihat baik-baik. Kalau perlu, pinjam kacamata nenek. Kalau baca berita, jangan berhenti di judul. Jangan berhenti di paragraf pertama. Jangan berhenti sebelum akal Anda selesai bekerja.
Karena di zaman ini, membedakan karya manusia dengan AI, membedakan berita benar dengan hoaks, sebetulnya gampang. Yang susah itu mengalahkan kemalasan diri sendiri.
Comments
Post a Comment