Di setiap zaman, selalu ada orang yang menjadikan lidahnya sebagai mata pencaharian. Ia bukan penulis, bukan orator, bukan pula seniman. Profesi utamanya sederhana: menjilat. Pagi hari ia menyusun pujian, siang menebar basa-basi, malam mencari kesempatan untuk menyelipkan kalimat manis ke telinga orang berkuasa. Kalau orang lain bekerja dengan otak, tenaga, atau keterampilan, ia justru mengandalkan kelenturan lidah.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejak zaman raja-raja, istana selalu dipenuhi orang-orang yang sibuk membangun karier dari kemampuan menyenangkan penguasa. Mereka menguasai seni menunduk, mahir tertawa pada lelucon basi, bahkan piawai menangis ketika penguasa pura-pura bersedih. Semuanya dilakukan bukan karena ketulusan, melainkan karena ada rezeki yang menetes dari arah singgasana.
Namun Voltaire, filsuf besar dari Prancis, sudah lama mengingatkan: siapa yang hidup dari menjilat akan mati saat lidahnya kering. Sebuah kalimat pendek, tetapi tajam seperti pisau. Ia bukan sekadar sindiran, melainkan peringatan keras bahwa hidup semacam itu rapuh dan berumur pendek.
Lidah sebagai profesi
Mari kita lihat realitas sehari-hari. Tidak sedikit orang yang kariernya menanjak bukan karena kompetensi, melainkan karena kepandaian menjilat. Di kantor, ada karyawan yang rajin sekali mengangkat-angkat nama bos. Bukan kinerja yang dipamerkan, melainkan kemampuan menyusun kalimat manis saat rapat. Ia pandai sekali berkata “wah, ide brilian, Pak” meski ide itu jelas-jelas recyle dari PowerPoint 10 tahun lalu. Begitu bosnya lewat, ia langsung ikut tertawa, seakan-akan setiap langkah atasan adalah humor stand-up.
Di dunia politik lebih gamblang lagi. Kita sering menyaksikan politisi yang mendadak pindah haluan, mengubah pidato, bahkan menghapus jejak kritik lama hanya demi dekat dengan penguasa baru. Hari ini lantang menyebut diri oposisi, besok pagi sudah jadi juru bicara istana. Mereka bukan sekadar bunglon, melainkan seniman lidah kelas wahid.
Profesi lidah ini tampak menguntungkan, tetapi punya kelemahan mendasar. Lidah bisa lelah, bisa kering, dan bisa salah sasaran. Orang yang dulu dijilat bisa kehilangan kuasa. Situasi bisa berubah. Sekali angin berbalik, posisi penjilat pun langsung goyah. Ibarat orang yang membangun rumah di atas pasir, semua akan ambruk hanya dalam sekali terjangan gelombang.
Yatim politik dan yatim sosial
Kita tidak perlu membuka buku sejarah jauh-jauh. Cukup melihat layar televisi atau linimasa media sosial. Banyak nama besar yang dulu berkuasa kini menghilang. Apa kabar orang-orang yang dulunya rajin mengucap “kami setia mendukung”? Sebagian menghilang dari panggung, sebagian lagi buru-buru mencari tuan baru untuk dijilat.
Fenomena ini membuat mereka seperti yatim politik. Begitu penguasa jatuh, mereka mendadak kehilangan segalanya. Tidak ada lagi tangan yang bisa dicium, tidak ada lagi telinga yang bisa dibisikkan, tidak ada lagi panggung yang bisa ditumpangi. Dunia melihat mereka apa adanya: kosong, tanpa nilai, tanpa karya.
Kehidupan sosialnya pun getir. Teman sejati hampir tidak ada, sebab semua tahu si penjilat tidak pernah tulus. Persahabatan mereka dibangun atas kepentingan, bukan ketulusan. Maka begitu tuannya hilang, ia pun ditinggalkan sendirian. Ironis, orang yang tadinya sibuk memamerkan kedekatan dengan penguasa kini mendapati dirinya sendirian di sudut ruang, tidak lebih dari catatan kaki dalam sejarah.
Dari ruang rapat sampai media sosial
Budaya menjilat juga merambah dunia korporasi dan digital. Di kantor, kita sering menjumpai “tim ABS” alias Asal Bos Senang. Mereka bukan tipe pekerja yang memikirkan solusi, tetapi yang sibuk memastikan bos merasa penting. Laporan bisa berantakan, tetapi asal ada kalimat “visi Bapak sungguh luar biasa,” semua dianggap beres.
Di media sosial, bentuknya lebih absurd lagi. Influencer mendadak memuji-muji kebijakan tertentu meskipun sehari sebelumnya mereka mengeluh soal harga naik. Caption panjang penuh bunga-bunga kata muncul begitu ada tanda kerjasama berbayar atau undangan makan malam dengan pejabat. Publik, tentu saja, tidak bodoh. Netizen dengan cepat membedakan mana pujian tulus dan mana yang sekadar menjilat demi sponsor.
Menggadaikan martabat
Apa yang lebih tragis daripada kehilangan martabat demi kenyamanan sesaat? Penjilat mungkin berhasil memperoleh jabatan, uang, atau fasilitas. Namun semua itu dibayar dengan harga diri. Ia harus rela menekan prinsip, memutarbalikkan kata-kata, bahkan menyangkal akal sehat.
Voltaire benar. Menjilat sama dengan menggadaikan martabat. Kita boleh saja hidup dengan sederhana, boleh juga gagal mencapai puncak, tetapi setidaknya masih punya harga diri untuk ditegakkan. Penjilat memilih jalan pintas menuju puncak, tetapi jalannya licin dan rapuh. Satu kali tergelincir, ia akan jatuh lebih keras daripada orang yang berjuang dengan jujur.
Jurang kehinaan
Ada pepatah lama yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih cepat ditinggalkan daripada teman yang menjilat. Bahkan penguasa yang diidolakan pun tahu, orang semacam itu hanya datang demi keuntungan pribadi. Ia tidak akan setia jika angin politik berbalik. Maka pada akhirnya, penjilat akan berakhir di jurang kehinaan.
Jurang ini tidak selalu tampak dramatis. Kadang hanya berupa sepi. Tidak ada lagi yang peduli, tidak ada lagi yang mendengarkan. Orang-orang sibuk dengan hidupnya sendiri, sementara sang mantan penjilat duduk mengenang masa kejayaannya yang semu. Ia mungkin pernah berfoto bersama penguasa, mungkin pernah tampil di televisi, tetapi semua itu tinggal arsip usang. Sejarah tidak menulisnya sebagai tokoh penting, melainkan hanya sebagai pengiring yang mudah diganti.
Integritas sebagai fondasi
Sebaliknya, hidup yang kokoh hanya bisa dibangun di atas integritas. Integritas memang tidak selalu memberi jalan pintas. Orang yang jujur kadang kalah cepat, kalah populer, bahkan kalah kaya dibanding mereka yang pandai menjilat. Tetapi ada yang tidak bisa dikalahkan: pijakan yang stabil.
Integritas membuat seseorang tetap berdiri tegak meskipun keadaan berubah. Kejujuran membuat ia dipercaya bahkan saat kekuasaan berganti. Keterampilan membuat ia tetap dibutuhkan meskipun tuan lama sudah pergi. Dengan kata lain, orang yang hidup dengan integritas mungkin berjalan lebih lambat, tetapi ia sampai ke tujuan dengan kepala tegak, bukan dengan lutut lecet karena merangkak.
Penutup
Voltaire telah mewariskan pelajaran berharga. Hidup dari menjilat mungkin memberi keuntungan sesaat, tetapi pada akhirnya hanya meninggalkan kehinaan. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada orang yang menukar martabatnya dengan kenyamanan singkat. Lidah memang bisa menjilat, tetapi lidah juga bisa kering. Dan ketika itu terjadi, habislah segala sandaran hidupnya.
Maka jika ingin membangun kehidupan yang kokoh, jangan pernah menjadikan penjilatan sebagai jalan hidup. Pilihlah kejujuran, keterampilan, dan integritas. Mungkin jalannya lebih terjal, tetapi di ujung sana ada martabat yang tetap utuh, bahkan saat segala hal lain runtuh.
Comments
Post a Comment