Green Day pernah menyanyikan Wake Me Up When September Ends. Lagu itu lahir dari kehilangan pribadi Billie Joe Armstrong, tetapi bertransformasi menjadi nyanyian universal tentang duka, perang, dan kelelahan. Di Indonesia, kita justru memasukinya dengan cara paling getir. Bukan karena tragedinya terjadi di September, tetapi karena kita datang ke bulan ini dengan tubuh masih basah oleh luka Agustus.
Agustus 2025 seharusnya menjadi bulan perayaan kemerdekaan. Nyatanya, ia berubah menjadi bulan kehilangan. Seorang anak muda bernama Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di dekat DPR. Ia sedang mencari nafkah, bukan mencari masalah. Polisi menyebut kecelakaan, lalu minta maaf. Tujuh personel ditahan. Publik sudah hafal skrip itu, karena naskahnya tidak pernah berbeda dari tragedi sebelumnya.
Di jalanan, massa dibubarkan dengan gas air mata. Water cannon menyapu kerumunan. Jalan ditutup rapat. Media menyiarkan situasi kondusif, padahal paru-paru warga masih sesak. Di gedung DPR, para wakil rakyat tetap nyaman dengan tunjangan puluhan juta rupiah per bulan, seolah jerit rakyat hanya angin yang lewat di jendela.
Dengan warisan luka itu, kita masuk ke September. Maka wajar jika banyak orang ingin tidur panjang. Bangunkan saja ketika September sudah berakhir. Karena bulan ini terasa seperti perpanjangan rasa sakit, semacam babak tambahan dari pertandingan yang seharusnya sudah usai. Tetapi kenyataannya, kita tidak punya kemewahan untuk tidur.
Berbeda dengan Billie Joe Armstrong yang bisa melarikan diri sejenak lewat musik, rakyat Indonesia tidak punya pilihan selain terjaga. Karena tidur kita adalah pesta bagi penguasa. Bila kita terlelap, mereka akan menulis ulang narasi dengan versi mereka, menyembunyikan nama Affan di catatan kaki, menyapu amarah rakyat di bawah karpet laporan resmi.
September di sini bukan sekadar bulan di kalender. Ia adalah metafora tentang lelah yang menumpuk setelah duka yang belum reda. Luka Agustus masih segar, dan September hanya menambahkan lapisan keletihan baru. Kita ingin sekali melewati bulan ini, tetapi sejarah tidak bisa di-skip seperti iklan lima detik di YouTube. Kita dipaksa tetap melek, tetap merekam, tetap bersaksi.
Mungkin ada yang berharap bisa menyerah pada kantuk, lalu bangun ketika September berakhir. Namun bila semua memilih tidur, September tidak akan pernah benar-benar usai. Ia akan menjelma menjadi Oktober, November, Desember, dengan pola luka yang sama, hanya berganti nama.
Karena itu, jangan bangunkan kami ketika September sudah berakhir. Bangunkan kami sekarang, di tengah tangisan yang masih terdengar, di jalanan yang masih basah oleh air mata, di udara yang masih pekat oleh gas. Bangunkan kami bukan ketika kalender berganti, melainkan ketika keadilan benar-benar dimulai.
Bangunkan kami dari luka Agustus, sebelum September berakhir dan berubah menjadi bab baru dari tragedi yang sama.
Comments
Post a Comment