Tahun 1947. Bau mesiu masih melekat di udara Surabaya, tanah belum kering dari darah pemuda, dan republik muda yang baru berumur dua tahun itu masih dipertanyakan keberadaannya oleh dunia. Di tengah hiruk pikuk itu, sebuah kabar datang dari Kairo: Raja Farouk I dari Mesir mengakui kedaulatan Indonesia. Bagi republik yang masih ringkih, pengakuan itu adalah oksigen; ia meyakinkan dunia bahwa Indonesia bukan sekadar nama dalam proklamasi, melainkan kenyataan politik yang harus dihadapi.
Namun, bayangkan jika pada tahun yang sama, Raja Farouk I berdiri di mimbar dan berkata, “Kami mendukung kemerdekaan Indonesia… tapi dengan solusi dua negara. Biarkan Indonesia tetap punya negara di Jawa, sementara Belanda mengurus sisanya. Dunia akan damai, karena kita bagi kue kolonialisme secara adil." Pernyataan absurd seperti itu mungkin akan membuat Sukarno mendelik, Agus Salim langsung mengisap rokoknya dalam-dalam, Hatta menghela napas lalu menulis nota protes dingin, dan Tan Malaka tertawa getir sambil berkata, “Sejarah memang suka bercanda dengan bangsa kecil.”
Tentu Raja Farouk tidak pernah mengucapkan kalimat konyol itu. Sebab ia tahu, tidak ada martabat dalam kemerdekaan yang dipotong separuh. Pengakuan Mesir adalah pengakuan penuh, karena hanya dengan itu sebuah bangsa bisa berdiri tegak.
Cepatkan jarum jam ke September 2025. Dari podium Sidang Umum PBB, Prabowo, Presiden Indonesia menyuarakan dukungan untuk two-state solution bagi Palestina. Kata-katanya terdengar diplomatis: “Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus, kita juga harus mengakui, kita juga harus menghormati, dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan begitu kita bisa memiliki perdamaian sejati, perdamaian yang nyata, tanpa kebencian dan tanpa kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah solusi dua negara.” Semua terdengar manis, penuh keseimbangan, penuh statesmanship.
Tetapi di balik kalimat rapi itu, ada ironi yang menusuk. Indonesia, bangsa yang lahir karena menolak kompromi kolonial, kini justru menyarankan kompromi kepada bangsa lain yang masih dirampas haknya. Indonesia, yang menolak bentuk “federalisme buatan Belanda” karena sadar itu hanyalah jebakan, kini menawarkan formula serupa untuk Palestina: tanah yang dirampas tetap diambil, lalu sisa yang diberikan disebut “solusi.”
Bayangkan jika di tahun 1947, Belanda datang ke Hatta dan berkata, “Baiklah, kami akan akui Republik Indonesia, tapi hanya di Jawa dan Sumatera. Papua tetap milik kami. Kalimantan kita kelola bersama. Itu realistis, bukan?” Apakah Hatta akan mengangguk, berterima kasih, lalu menulis surat syukur ke Den Haag?
Tidak. Ia akan menulis nota protes keras, dengan bahasa dingin tapi penuh pisau tajam. Sukarno mungkin akan naik podium, suaranya bergemuruh, matanya menyalakan api kemerdekaan. Tan Malaka akan menulis risalah panjang tentang bagaimana kompromi hanya melanggengkan penindasan. Semua tahu: merdeka setengah bukanlah merdeka.
Sejarah mengajarkan kita bahwa bangsa tidak bisa lahir dari setengah pengakuan. Kemerdekaan bukan hadiah separuh rumah dari pencuri, melainkan hak penuh atas tanah sendiri. Itulah mengapa Mesir tidak pernah berkata, “Kami akui Indonesia tapi hanya separuh.” Itulah mengapa Sukarno pada tahun 1960 di PBB berpidato dengan lantang, “To build the world anew”, membangun dunia baru yang bebas dari kolonialisme, bukan dunia tambal sulam yang memelihara penjajahan dalam bentuk baru.
Pidato Prabowo mungkin dimaksudkan sebagai kompromi elegan, bahasa diplomasi yang bisa diterima semua pihak. Tetapi netral di hadapan penjajahan hanyalah sinonim lain dari berpihak pada penjajah. Sejarah kita sendiri adalah bukti. Jika dunia pada 1947 mengusulkan two-state solution untuk Nusantara, mungkin hari ini tidak ada Republik Indonesia yang utuh. Yang ada hanya potongan-potongan negara boneka, sibuk berterima kasih atas secuil kemerdekaan yang diizinkan kolonialis.
Maka pertanyaannya sederhana: mengapa kita rela menjual resep busuk itu kepada bangsa lain? Mengapa kita, yang dulu ditolong Mesir dengan pengakuan penuh, kini menyarankan Palestina untuk puas dengan sisa?
-C-
Comments
Post a Comment