Ada satu lagu yang selalu berhasil menyentil jantung eksistensi manusia modern: Bitter Sweet Symphony dari The Verve. Lagu yang dibuka dengan gesekan string abadi itu terdengar seperti doa, tapi doa yang terlambat dikabulkan. Liriknya sederhana, repetitif, tapi justru karena kesederhanaannya ia menjadi mantra: “’Cause it’s a bitter sweet symphony, this life… Try to make ends meet, you’re a slave to money then you die.”
Hidup ini pahit-manis, dan sering lebih pahit ketimbang manis. Kita kerja keras hanya untuk membayar cicilan, melunasi kartu kredit, menyambung hidup dari gaji ke gaji. Seperti hamster di roda besi: berlari kencang tapi tetap di tempat yang sama. Ironisnya, bagi Richard Ashcroft sendiri, pencipta lagu ini, lirik itu bukan sekadar metafora—melainkan nubuatan hidupnya sendiri.
Hidup yang Jadi Lagu
Kisah Bitter Sweet Symphony adalah tragedi yang terlalu pas dengan isi lagunya. The Verve mengambil sampel orkestrasi dari lagu Rolling Stones (The Last Time). Mereka sudah bayar lisensi, sudah izin, sudah tunduk pada hukum kapitalisme musik. Tapi rupanya tunduk saja tidak cukup. Manajemen Rolling Stones menuduh mereka memakai “terlalu banyak.”
Hasilnya? Hak cipta lagu ini dirampas. Semua royalti—meski lagu ini mendunia, diputar di stadion, iklan, film, upacara kelulusan, sampai kampanye politik—bukan masuk ke Ashcroft, melainkan ke Allen Klein, mantan manajer Stones. Richard Ashcroft yang menulis lirik paling jujur soal keterjajahan manusia modern, ironisnya, justru dijadikan budak sistem musik itu sendiri.
Kalau saja Ashcroft menulis lirik lain, mungkin efeknya tidak sedahsyat ini. Tapi ia keburu jujur. Dan kejujuran seringkali berbiaya mahal.
Lagu yang Jadi Hidup
Bayangkan menulis karya yang akhirnya mengubah hidup jutaan orang, tapi tidak bisa mengubah nasibmu sendiri. Ashcroft bahkan pernah berkata: “It’s the best song I’ve ever written, but it’s also the most cursed.”
Seolah-olah dunia sedang bercanda: kamu menulis lagu tentang budak uang, maka kami pastikan kamu sendiri akan jadi budak sistem, sampai akhir hayat.
Hidup itu betul-betul simfoni pahit-manis. Kadang lebih pahit, kadang manisnya menipu. Dan sistem memastikan: gula hanya jatuh ke cangkir orang-orang tertentu.
Pahit-Manis Indonesia: Simfoni Uang dan Oligarki
Kalau mau jujur, kita di Indonesia pun hidup dalam simfoni yang sama. Bedanya, panggungnya jauh lebih besar dan pemainnya lebih banyak. Rakyat jelata setiap hari berjuang keras—bangun subuh, macet di jalan, pulang malam, semua demi “make ends meet.”
Kita kerja mati-matian untuk membeli rumah yang harganya tidak masuk akal, membayar listrik yang sering byar-pet, membeli bensin yang naik turun tergantung “mood” pemerintah, dan berharap besok tidak ada PHK massal. Dan ketika akhirnya kita jatuh, ada satu kalimat universal yang menyambut: “maaf, kondisi ekonomi sedang sulit.”
Sementara itu, oligarki hidup di bagian “sweet” dari simfoni. Mereka duduk manis di kursi empuk, panen dari konsesi tambang, proyek infrastruktur, dan monopoli pangan. Mereka tidak lari di roda hamster—mereka justru pemilik rodanya. Dan kadang, dengan sadisnya, mereka menjual ilusi kepada rakyat: bahwa jika Anda bekerja lebih keras, Anda juga bisa masuk ke dalam lingkaran manis itu. Padahal tidak. Sistem sudah memutuskan siapa yang dapat bagian manis, siapa yang harus puas dengan pahit.
Ironi Terlambat
Pada 2019, lebih dari dua dekade setelah semua royalti diambil, Mick Jagger dan Keith Richards akhirnya mengembalikan hak cipta Bitter Sweet Symphony kepada Ashcroft. Dunia musik bersorak, media menulisnya sebagai “akhir bahagia.”
Tapi mari kita tanya: apa gunanya keadilan yang datang terlambat, ketika masa emas seorang musisi sudah lewat? Apa gunanya hak cipta dikembalikan setelah miliaran mengalir entah ke mana? Sama saja seperti rakyat Indonesia yang baru mendapat bantuan sosial setelah harga sembako naik tiga kali lipat, atau upah baru disesuaikan setelah inflasi melahap isi dompet.
Keadilan yang telat seringkali bukan keadilan—ia sekadar alibi moral sistem untuk bilang: “lihat, kami tidak sejahat itu kok.”
Simfoni Kita Semua
Akhirnya, Bitter Sweet Symphony bukan sekadar lagu. Ia adalah cermin. Richard Ashcroft mungkin menuliskannya tentang hidupnya sendiri, tapi gema lagunya menembus batas negara dan zaman. Kita semua adalah bagian dari simfoni itu: mengulang pola yang sama, terjebak dalam notasi kapitalisme, sambil sesekali bermimpi tentang kebebasan.
Dan mungkin, seperti Ashcroft, kita akan terus menyanyikan bait yang sama: “I can’t change my mold… No, no, no, no, no…”
Tapi justru di situlah absurditas manusia: kita tahu kita terjebak, tapi tetap mencari melodi untuk menghibur diri. Karena tanpa musik, tanpa ironi, tanpa satir, hidup ini bukan lagi simfoni pahit-manis. Ia akan jadi sekadar—pahit.
📌 Jadi, apakah kita sudah siap mengakui bahwa kita semua sedang memainkan Bitter Sweet Symphony versi Indonesia, di mana rakyat jadi orkestra tanpa upah, dan oligarki duduk nyaman sebagai konduktor?
Comments
Post a Comment