Di sebuah negeri yang katanya demokrasi, suara rakyat sering dianggap sekadar kebisingan jalanan. Mikrofon dibungkam, spanduk dirobek, dan massa dipukul mundur dengan tameng baja. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa direbut: simbol. Dan simbol itulah yang kini bergerak bebas di layar-layar gawai, diubah menjadi tone dua warna sederhana: merah muda dan hijau.
Bagi sebagian orang, warna hanyalah warna. Tapi bagi ribuan warganet yang mengganti foto profilnya dengan gradasi pink dan hijau, ini adalah bahasa baru perlawanan. Bahasa visual yang tidak membutuhkan orasi panjang, tidak memerlukan spanduk di jalan, tetapi bisa menyebar secepat cahaya: Brave Pink dan Hero Green.
Ibu Ana dan keberanian yang tak bisa dibungkam
Semua bermula dari sosok sederhana: seorang ibu bernama Ana. Ia bukan politisi, bukan aktivis kawakan, bukan pula tokoh besar dengan panggung yang megah. Ia hanyalah seorang ibu dengan jilbab merah muda, berdiri di tengah hujan, berhadapan dengan barisan aparat lengkap dengan tameng dan senjata.
Di tangan kirinya ada sebatang kayu. Bukan senjata mematikan, bukan pula alat untuk melukai. Hanya sepotong kayu, tapi cukup untuk membuatnya tercatat dalam sejarah sebagai simbol keberanian. Ketika ia memukul tameng aparat, bukan kayunya yang terdengar, melainkan suara frustrasi rakyat yang selama ini terabaikan.
Pink yang biasanya kita asosiasikan dengan kelembutan, kasih sayang, bahkan sesuatu yang manis, kini berubah makna. Di kepala rakyat, pink bukan lagi warna bunga sakura atau pita remaja, melainkan warna keberanian seorang ibu yang menolak tunduk pada intimidasi negara. Pink menjadi Brave Pink—simbol bahwa kelembutan pun bisa berubah jadi ketegasan ketika keadilan diinjak-injak.
Affan Kurniawan: hijau yang abadi di jalanan
Lalu ada nama lain: Affan Kurniawan. Seorang pengemudi ojek online, yang hidupnya mungkin sama seperti ratusan ribu driver lain di kota ini. Bangun pagi, hidup di jalanan, mencari nafkah untuk keluarga. Hari itu, tugasnya sederhana: mengantarkan makanan. Ironisnya, justru di tengah rutinitas sederhana itu nyawanya direnggut oleh kendaraan taktis Brimob yang melindas tubuhnya.
Kisahnya menyebar cepat. Dan publik segera menangkap simbol yang paling jelas: jaket hijau yang selalu dipakai para driver ojol. Dari situ lahirlah Hero Green—warna yang kini tidak hanya identik dengan transportasi daring, tetapi juga dengan solidaritas terhadap korban rakyat kecil yang seharusnya tidak pernah jatuh dalam konflik politik.
Hijau adalah warna harapan. Tapi ketika melekat pada kisah Affan, hijau berubah jadi warna luka kolektif. Hijau adalah pengingat bahwa di negeri ini, yang mati duluan bukanlah para perancang kebijakan, melainkan rakyat kecil yang kebetulan berada di garis tembak.
Simbolisme dua warna
Dari pink dan hijau, publik menemukan simbolisme yang lebih luas. Pink adalah keberanian, hijau adalah pengorbanan. Pink adalah perlawanan, hijau adalah solidaritas. Satu hidup, satu mati. Satu berdiri menantang, satu tergeletak sebagai korban.
Kombinasi keduanya menjadi kode visual: Brave Pink + Hero Green = suara rakyat yang tak bisa dibungkam.
Di medsos, tren ini mirip dengan “Yellow Umbrella Movement” di Hong Kong, “Black Square” untuk Black Lives Matter, atau “Orange Revolution” di Ukraina. Tapi yang menarik, simbol di Indonesia lahir dari hal yang sangat lokal, sangat sederhana, bahkan sangat sehari-hari: jilbab seorang ibu dan jaket driver ojol.
Negara bisa punya segala macam instrumen kekuasaan: undang-undang, aparat, bahkan senjata. Tetapi simbol jauh lebih kuat. Karena simbol hidup di kepala, di hati, dan di ingatan. Ia menembus barikade yang paling tebal sekalipun.
Kegagalan negara membaca bahasa rakyat
Fenomena ini pada akhirnya menunjukkan satu hal: negara sering gagal membaca bahasa rakyat. Mereka bisa menguasai narasi resmi di televisi, bisa mengatur kata-kata dalam konferensi pers, tapi tidak bisa mengendalikan simbol yang lahir dari bawah.
Ironisnya, penguasa sering kali menganggap remeh gerakan digital. Mereka melihat orang ganti foto profil sebagai sekadar tren medsos. Padahal sejarah sudah berkali-kali membuktikan, gerakan besar sering dimulai dari simbol kecil. Dari bunga yang diselipkan di laras senjata, dari pita warna tertentu di lengan, hingga kini dari tone warna di foto profil.
Yang lebih menyedihkan, negara justru terus melanggengkan pola lama: menganggap rakyat sebagai gangguan, bukan sebagai pemilik sah negeri ini. Maka yang dikedepankan selalu kendaraan taktis, gas air mata, dan tameng. Mereka lupa, yang dilawan bukanlah musuh negara, melainkan rakyatnya sendiri.
Ketika rakyat membalas dengan estetika
Ada hal satir di sini: aparat dibekali senjata dan peralatan canggih, tapi rakyat membalas dengan estetika. Negara mengandalkan represi, rakyat merespons dengan warna. Ini bukan sekadar protes, tapi juga sindiran. Seolah rakyat berkata: “Kami tidak punya senjata, tapi kami punya imajinasi. Dan imajinasi kami lebih kuat dari kendaraan lapis baja kalian.”
Dua warna ini—pink dan hijau—menjadi “bendera digital” yang tidak bisa diturunkan paksa. Tidak ada UU ITE yang bisa menghapusnya, tidak ada pasukan siber yang bisa memadamkannya. Karena ia menyebar organik, dari satu profil ke profil lain, dari satu kisah ke kisah lain.
Antara tragedi dan harapan
Brave Pink dan Hero Green bukan sekadar tren musiman. Ia adalah catatan sejarah kecil tentang bagaimana rakyat mengekspresikan diri di era digital. Tetapi lebih dari itu, ia adalah refleksi tragis bahwa untuk bisa didengar, rakyat harus berkorban.
Ibu Ana berani melawan, tapi harus menghadapi stigma, ancaman, dan mungkin kriminalisasi. Affan Kurniawan bahkan kehilangan nyawanya. Dan di atas pengorbanan inilah lahir simbol yang kini diadopsi jutaan orang.
Warna hijau dan pink yang saling bertaut itu mengajarkan kita satu hal: di negeri yang serba timpang ini, keberanian dan pengorbanan rakyat kecil adalah fondasi solidaritas. Sementara negara, yang seharusnya melindungi, justru sering kali berdiri di sisi yang berlawanan.
Lebih dari sekadar warna
Akhirnya, Brave Pink dan Hero Green bukan hanya soal warna. Ia adalah bahasa yang menyatukan frustrasi, kemarahan, sekaligus harapan. Bahasa yang sederhana tapi nyaring. Bahasa yang barangkali lebih jujur daripada ribuan pidato pejabat yang penuh retorika.
Kita bisa menganggapnya tren, bisa juga menganggapnya seni perlawanan. Tapi satu hal yang pasti: dua warna ini telah merebut imajinasi publik. Dan begitu imajinasi publik bersatu, sejarah selalu bergerak.
Mungkin hari ini warnanya hanya ada di foto profil, tapi esok ia bisa menjelma jadi bendera di jalanan. Dari layar-layar kecil itulah lahir solidaritas besar yang tak lagi bisa dibendung.
Dan jika negara masih tuli terhadap bahasa ini, maka pink dan hijau akan terus membayangi mereka. Karena warna, sekali lahir sebagai simbol perlawanan, tidak akan pernah bisa dihapus. Ia akan tinggal di ingatan kolektif, seperti luka yang tak kunjung sembuh—dan seperti harapan yang tak pernah padam.
Comments
Post a Comment