Skip to main content

Bukan Tentang Barangnya, Bung… Tapi Tentang Luka Batin yang Ingin Diobati


Coba kita jujur-jujuran sebentar.

Orang beli Red Bull bukan karena rasanya enak. Jujur saja, rasanya mirip larutan air aki dicampur sirup anak kos. Tapi tetap laku. Kenapa? Karena setiap tegukan Red Bull mengandung ilusi bahwa kamu bisa ngebut di jalan hidup tanpa perlu tidur, tanpa perlu istirahat, seolah kamu adalah makhluk setengah dewa yang bisa menabrak deadline dengan satu sayap.

Ya, kawan, ini bukan soal fungsi. Ini soal ilusi. Soal perasaan.

Marketing modern bukan lagi soal menjual barang. Tapi menjual kompensasi emosional.

Red Bull? Bukan soal energi. Tapi soal ego.

Nike? Bukan soal sepatu. Tapi soal mimpi absurd bahwa kamu, pegawai kantoran yang ngos-ngosan naik tangga lantai dua, bisa “Just Do It” seperti Michael Jordan… padahal baru jogging 7 menit sudah buka GoFood.

Rolex? Orang-orang waras tahu ada jam 25 ribuan yang bisa nunjuk waktu lebih akurat. Tapi Rolex bukan tentang waktu. Rolex adalah tentang perasaan dihormati, disegani, dan bisa menyikut yang antre di bandara lounge sambil memamerkan kilauan emas imitasi kehidupan.

Karena di dunia yang makin dangkal ini, identitas lebih penting daripada fungsi.
Fungsi bisa kamu jelaskan.
Tapi emosi? Bisa kamu jual.


Begini, loh: Orang Beli Perasaan, Bukan Produk

Coba bayangin kamu jual bor listrik.
Kalau kamu tulis di iklan:
“500 watt, mata bor titanium, 3 mode kecepatan.”
Ya, bagus. Tapi itu cuma ngasih tahu kamu insinyur pengangguran yang terlalu bangga dengan katalog produk.

Tapi kalau kamu bilang:
“Rasakan bangganya memasang rak sendiri. Bukan cuma lubang di dinding, tapi lubang di kebanggaan diri.”

Nah, itu baru jualan.

Kenapa? Karena manusia modern hidup dalam kekosongan yang sangat teknis. Semua sudah serba fitur. Semua sudah serba cepat. Semua sudah serba instan.
Tapi...
Siapa yang peduli tentang kamu?

Itulah sebabnya kita beli produk bukan karena logika. Tapi karena luka.
Dan brand yang pintar adalah mereka yang ngerti luka mana yang bisa mereka garuk dengan elegan.


Contoh Kasus:

📌 Ferrari
Bukan karena kamu butuh ngebut. Kamu nggak bisa ngebut di Jakarta, Bung. Polisi tidur lebih banyak daripada jam tidur kamu.
Tapi Ferrari menjual perasaan: "Saya lebih cepat dari hidup ini."
Padahal cicilannya lebih lama dari umurmu.

📌 Peloton
Bukan soal sepeda mahal yang nggak jalan ke mana-mana.
Tapi soal ilusi bahwa kamu tidak sendirian dalam perjuangan membakar lemak dan membakar waktu.
Karena hidup sendirian di apartemen dengan AC rusak butuh pengalih yang bernama komunitas digital palsu.

📌 Supreme
Kaos putih tulis merah. Bahannya standar. Tapi kamu beli perasaan langka, eksklusif, dan kebal kritik.
Karena ketika hidupmu kosong, menjadi “rare” adalah pelarian dari realita bahwa kamu sebenarnya biasa aja.


Produkmu Itu Cuma Alat. Yang Dijual Adalah Perasaan Jadi Orang Penting

📎 Kursus online?
Orang nggak beli PowerPoint kamu. Mereka beli harapan bahwa 8 video bisa mengubah nasib.
Padahal masalah utamanya bukan kurang ilmu, tapi kurang disiplin. Tapi ya sudahlah.
Yang penting mereka merasa sedang naik kelas. Meski hanya secara imajinatif.

📎 Gym membership?
Bukan tentang alat. Tapi tentang janji bahwa kamu bisa kurus, glow up, dan mantan akan menyesal.
Meski akhirnya yang kamu lakukan cuma selfie di treadmill dan minum protein shake tiap hari seperti minum kopi susu kekinian.

📎 MacBook?
Spek-nya kalah dari laptop gaming. Tapi kamu beli sensasi bahwa kamu adalah creative genius—meski isinya cuma buka Google Docs dan nonton YouTube tutorial Canva.


Ini Bukan Dunia Fungsional. Ini Dunia Eksistensial.

Zaman dulu, orang beli barang karena butuh.
Sekarang, orang beli barang karena butuh eksistensi.

Karena dalam dunia yang makin tidak manusiawi, kita semua butuh satu hal:
Merasa jadi sesuatu.
Bukan cuma jadi manusia yang bekerja lalu mati. Tapi jadi manusia yang… "di-notice."
Dan produk yang pintar paham betul cara bikin kamu merasa di-notice.

Makanya jangan heran kalau tagline sekarang bukan:
“Beli ini karena bagus.”
Tapi:
“Beli ini karena kamu berhak merasa cukup.”

Padahal, kalau kita jujur, semua rasa cukup itu bisa dibangun tanpa membeli apapun. Tapi ya, siapa yang mau hidup dengan kenyataan sesederhana itu?
Makanya kita beli lebih banyak, bukan karena kita kekurangan barang. Tapi karena kita kekurangan makna.


Kesimpulannya?

Kalau kamu jualan, berhenti ngiklan seperti brosur teknik mesin.
Jangan bilang produkmu bisa A, B, C.
Tapi tanyakan:
👉 “Setelah mereka pakai ini, mereka akan merasa seperti apa?”
👉 “Apa versi diri terbaik yang bisa mereka bayangkan karena ini?”
👉 “Apa luka batin mereka yang bisa diusap dengan produkmu?”

Karena di era kapitalisme emosional, produk bukan lagi tentang kegunaan. Tapi tentang penghiburan.
Dan pelanggan bukan beli fungsi. Mereka beli narasi.

Kalau kamu masih ngeyel jualan pakai fitur, silakan. Tapi kamu akan kalah sama brand yang ngerti cara menjual mimpi.
Bahkan mimpi yang absurd sekalipun.

Selamat datang di abad dua puluh satu:
Tempat di mana kita beli sepatu bukan untuk lari di jalan,
tapi untuk lari dari kenyataan.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...