Masjid, yang seharusnya jadi rumah sunyi bagi doa dan dzikir, tiba-tiba jadi panggung glamor untuk politikus dengan rekam jejak yang lebih cocok dipajang di papan meme ketimbang di kitab sirah. Bayangkan, Bahlil Lahadalia—sosok yang namanya kerap muncul di berita karena urusan gelar S2 yang kabur kabarnya, kebijakan investasi yang bikin rakyat kecil megap-megap, dan foto viral bersama botol minuman dewasa, sekarang diangkat jadi Ketua Dewan Pembina Pemuda Masjid Dunia.
Pertanyaannya sederhana: apa yang dilihat oleh para formatur rapat di Singapura selain fatamorgana politik?
Masjid sebagai Etalase Citra
Keterangan resmi berbunyi manis: Bahlil dipilih karena “peduli organisasi pemuda masjid” dan “aktif membantu Palestina, Rohingya, hingga Thailand Selatan.” Klaim yang terdengar seperti brosur motivasi MLM: penuh jargon, minim verifikasi. Masjid, yang seharusnya jadi tempat pembinaan akhlak, dijadikan etalase citra. Cukup tunjuk satu nama pejabat, kasih embel-embel “peduli umat,” lalu sah! Jadilah ia tokoh pembina pemuda masjid dunia.
Dunia? Betul, dunia. Karena kalau hanya masjid RT, rasanya tidak cukup megah untuk kepentingan panggung politik.
Dari Kursi Menteri ke Kursi Pembina
Di negeri ini, kursi pejabat sering mirip kursi kafe, mudah dipindah-pindahkan. Habis dari kabinet, lompat ke organisasi. Dari parlemen, nyambung ke ormas. Bahkan, dari meja penuh botol minuman bisa nyelonong ke mimbar penuh ayat. Transisinya mulus, seolah tidak ada garis tebal antara yang profan dan yang sakral.
Mungkin inilah yang disebut “politik mashup”: mencampur semua hal agar aura religius bisa menutupi bau amis kapitalisme.
Logika yang Dipaksa Masuk Akal
Jika syarat utama menjadi Ketua Dewan Pembina Pemuda Masjid Dunia adalah “pernah membantu Palestina”, maka donatur receh via kotak amal di masjid seharusnya lebih layak ketimbang seorang menteri yang gemar mengundang investor tambang. Kalau syaratnya adalah “pernah dekat dengan organisasi masjid”, maka marbot yang setia mengumandangkan adzan lima waktu jelas lebih tulus daripada pejabat yang baru mampir ketika ada kepentingan politik.
Namun di negeri kita, logika sering dipaksa jinak. Yang penting, ada nama besar, ada jabatan, ada foto bersama. Masjid pun ikut dijadikan ornamen karier.
Dari Pemuda Masjid ke Pemuda Meme
Ironi terbesar bukan pada jabatan itu sendiri, melainkan pada kontradiksi publik yang sudah jelas-jelas terpampang. Bagaimana mungkin generasi muda masjid bisa menjadikan teladan seorang yang fotonya viral sedang bersantai di samping botol minuman keras? Kalau pun foto itu salah konteks, publik sudah kadung menelan gambarnya. Reputasi di era digital tidak lagi butuh klarifikasi, cukup satu frame untuk menghancurkan narasi panjang.
Pemuda masjid di lapangan berjuang dengan kajian, bakti sosial, dan pengajian subuh. Sedangkan pemuda masjid di papan atas disuguhi teladan politikus yang hobi merangkap jabatan. Ini bukan pembinaan, ini pembinasaan akal sehat.
Masjid Jadi Arena Parkir
Akhirnya, penunjukan ini bukan soal agama, bukan soal kepemudaan, apalagi soal masjid. Ini semata soal parkir politik. Masjid dijadikan garasi baru untuk kendaraan ambisi. Dengan bendera religius, siapa pun bisa menutupi catatan-catatan kontroversial.
Dan rakyat dipaksa menelan logika absurd bahwa seseorang yang sibuk menjamu investor dan dipotret bersama botol minuman bisa secara otomatis jadi “Pembina Pemuda Masjid Dunia.”
Dari Botol ke Mimbar
Dari botol ke mimbar, dari rapat investasi ke rapat formatur, dari polemik gelar ke gelar kehormatan. Yang berubah hanya panggung, tapi aktornya tetap sama: wajah politik yang lihai berdandan sesuai kebutuhan.
Mungkin inilah masjid versi zaman kita: bukan lagi tempat umat mencari Tuhan, tapi tempat politisi mencari legitimasi.
Comments
Post a Comment