Skip to main content

Dari Peci ke Podium: Apa yang Benar-Benar Dibawa Indonesia ke PBB?

Ada tiga foto yang jika dipajang berurutan bisa jadi pameran kecil tentang sejarah diplomasi Indonesia di PBB. Yang pertama: wajah-wajah kaku, jas sederhana, peci hitam yang masih harum keringat perjuangan. Yang kedua: headphone penerjemah, dasi mengkilap, wajah Presiden SBY dengan ekspresi “tenang, terkendali, penuh kalkulasi.” Yang ketiga: masa kini, dengan Prabowo yang duduk gagah di Sidang Umum PBB September lalu, melempar pidato diplomatis dengan senyum kamera, meski publik di rumah ramai bertanya—“kok soal Palestina nadanya terdengar kurang tegas?”

Dari tiga potret ini, terbaca garis waktu: diplomasi Indonesia di PBB bertransisi dari keringat → senyum → foto bareng.

Keringat: Diplomasi Eksistensi

Era awal kemerdekaan, para delegasi Indonesia datang ke PBB bukan untuk pidato gagah atau pencitraan, melainkan untuk menyodorkan eksistensi. Mereka membawa argumen tentang hak bangsa muda yang baru saja keluar dari mulut moncong senapan Belanda. Lambertus N. Palar dan kawan-kawan hadir dengan wajah tegang, seakan tahu bahwa sekali salah langkah, kedaulatan bisa direbut kembali. Peci kala itu bukan sekadar aksesori identitas, melainkan simbol bahwa republik ini lahir dari peluh dan darah, bukan dari konferensi hotel berbintang.

Apa hasilnya? Nyata. Dunia akhirnya mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat. Tanpa keringat mereka di podium, mungkin kita masih sibuk menegosiasikan status “Hindia Belanda versi upgrade.”

Senyum: Diplomasi Konsolidasi

Lalu masuk era konsolidasi. Indonesia sudah mapan jadi anggota PBB, ikut Konferensi Asia-Afrika, ikut mendirikan Gerakan Non-Blok. Di foto kedua, kita lihat SBY di kursinya, dengan headphone penerjemah yang menempel manis, wajah “kalem ala dosen pascasarjana.” Inilah era di mana diplomasi Indonesia mulai belajar bahasa tubuh global: jangan terlalu keras, jangan terlalu lembek, cukup senyum dan kutipan manis dari Piagam PBB.

Apa yang dibawa? Legitimasi, peacekeeping, reputasi sebagai negara “cukup penting” di Global South. Kita kirim pasukan penjaga perdamaian, kita duduk manis di Dewan Keamanan PBB, kita dapat predikat “moderate Muslim democracy.” Hasilnya? Ada, tapi abstrak: reputasi, jejaring, proyek kerjasama. Tapi rakyat di rumah? Mereka lebih sering hanya melihat berita: “Delegasi Indonesia tersenyum di sidang PBB.”

Foto Bareng: Diplomasi Citra

Kini sampailah kita di era foto bareng. Presiden Prabowo naik podium September lalu. Ia kecam genosida di Gaza, dukung solusi dua negara, bahkan tawarkan pasukan perdamaian. Di atas kertas, itu sikap berani. Tapi apa yang ditangkap publik? Nada yang terdengar diplomatis, hati-hati, bahkan kurang tegas. Ucapan tentang “menghormati keselamatan Israel” membuat sebagian orang mengernyit: apakah ini diplomasi kemanusiaan, atau diplomasi menjaga pergaulan elit internasional?

Inilah diplomasi generasi baru: pidato harus rapi, statement harus aman, dan setelah itu… senyum ke kamera, unggah ke akun resmi, lalu pulang. Yang penting feed media sosial terjaga, bukan sekadar substansi yang mengguncang.

Jadi, Apa yang Benar-Benar Dibawa?

Dari peci ke podium, lalu ke feed Instagram, sebenarnya apa yang dibawa Indonesia ke PBB?

Awal dulu: membawa kedaulatan, eksistensi, hidup-mati republik.

Era tengah: membawa legitimasi, reputasi, dan jargon “moderasi.”

Era kini: membawa pidato diplomatis yang aman untuk semua pihak, plus stok foto untuk rilis media.

Hasilnya pun ikut bergeser. Dulu hasilnya adalah pengakuan dunia. Lalu hasilnya adalah reputasi global. Kini hasilnya adalah headline berita 24 jam dan konten digital.

Penutup

Sejarah diplomasi Indonesia di PBB adalah sejarah pergeseran beban. Dari keringat pejuang yang mempertaruhkan eksistensi, berubah jadi senyum birokrat yang mempertahankan legitimasi, hingga akhirnya menjadi foto bareng politisi yang lebih mementingkan pencitraan.

Judul “Dari Peci ke Podium” akhirnya bukan sekadar metafora fesyen, melainkan cermin perjalanan diplomasi kita. Pertanyaannya sekarang: di masa mendatang, apa lagi yang akan dibawa delegasi Indonesia ke PBB? PowerPoint? Merchandise? Atau cukup selfie stick dengan caption, “Indonesia mendukung perdamaian dunia”?
-C-

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...