Ada satu aturan tak tertulis di dunia produksi digital: segala sesuatu bisa hilang dalam satu klik. Tapi tidak semua orang mengalaminya—kecuali Pixar, tahun 1998.
Saat itu, Toy Story 2 sedang mendekati garis akhir. Sebuah proyek ambisius, hasil dari ribuan jam kerja animator, teknisi, sutradara, dan penulis naskah. Film ini bukan hanya sekuel dari Toy Story pertama, tapi juga taruhan besar: bisakah Pixar membuktikan bahwa kesuksesan film pertamanya bukan hanya keberuntungan pemula?
Segalanya tampak baik-baik saja. Di server utama, file demi file tersusun rapi: karakter Woody dengan gerakan ekspresifnya, Buzz Lightyear yang kini lebih luwes dan kompleks, adegan-adegan penuh emosi, lelucon, bahkan tekstur rumput dan cahaya dari jendela kamar. Semua tersimpan di direktori raksasa bernama production.
Sampai hari itu datang. Hari yang kelak akan dikenang oleh para petinggi Pixar sebagai “hari yang hampir menelan segalanya.”
Di satu sudut ruangan, seorang teknisi, entah karena niat baik membersihkan direktori yang salah, entah karena kelelahan, mengetikkan perintah mematikan:
Tanpa sadar, tanpa peringatan, tanpa konfirmasi, perintah itu dijalankan.
Bagi yang tidak familiar: rm
berarti remove, -rf
berarti hapus recursively (semua subfolder) dan force (tanpa tanya-tanya). Dan /production/*
berarti semua isi folder produksi.
Dan begitulah, dalam hitungan detik, layar-layar di ruang kerja mulai menampilkan pesan aneh: file tidak ditemukan. Model karakter menghilang. Animasi tak bisa diputar. Lingkungan 3D menjadi kosong.
Buzz hilang. Woody hilang. Jessie hilang. Film—secara harfiah—lenyap di depan mata.
“Ada yang salah,” gumam salah satu teknisi.
“Tolong, matikan server!” seru yang lain.
Namun terlambat. Lebih dari 90% file proyek Toy Story 2 telah terhapus dari server utama.
Kepanikan berubah jadi keheningan. Seorang animator terduduk di kursinya. Yang lain memandangi layar dengan mata kosong. Tak ada yang tahu harus berkata apa.
Tapi ada satu harapan terakhir: sistem backup harian. Seharusnya, jika terjadi kesalahan, tim bisa mengembalikan semua dari salinan cadangan yang dibuat rutin.
Mereka bergegas ke ruang server cadangan. Sistem backup diakses.
Hening.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Backup terakhir yang valid ternyata berusia lebih dari sebulan.
Ternyata, selama berminggu-minggu, backup otomatis mengalami kerusakan. Sistem berjalan, tapi file yang disimpan kosong. Tak ada yang memeriksa. Tak ada alarm. Tak ada notifikasi. Semua mengira semuanya baik-baik saja.
Seolah-olah proyek ratusan juta dolar itu telah dipertaruhkan pada satu nyawa yang tidak diberi makan: dan nyawa itu sudah lama mati.
Saat itulah sebuah nama disebut: Galyn Susman.
Galyn bukan sembarang staf. Ia adalah supervising technical director—orang yang tahu seluk-beluk teknis setiap adegan. Saat itu, ia sedang cuti melahirkan, bekerja sebagian waktu dari rumah. Karena itulah, untuk bisa melanjutkan tugasnya dari jauh, ia meng-copy seluruh proyek Toy Story 2 ke komputer pribadinya. Ya—seluruh proyek.
Begitu mendengar kabar itu, ruangan yang penuh frustrasi tadi berubah jadi tim darurat.
Beberapa staf langsung mengemasi peralatan. Mereka menuju rumah Galyn. Bukan untuk panik, tapi untuk menyelamatkan film.
Komputer itu—sebuah workstation berukuran besar—tidak bisa dibawa sembarangan. Mereka membungkusnya dengan selimut bayi, bukan demi estetika, tapi untuk mengurangi guncangan. Hard disk saat itu masih sangat rentan—sedikit benturan bisa membuat kepala baca tergelincir dan menghancurkan data. Mereka mengangkutnya dengan hati-hati, seolah mengantar bom atau organ donor. Di jalanan San Francisco, sore itu, sebuah mobil melaju dengan misi: mengembalikan dunia yang telah lenyap.
Sampai di studio, komputer diletakkan pelan-pelan. Tim teknis berkeringat. Kabel disambungkan. Sistem di-mount.
Dan…
Mereka melihatnya.
Buzz muncul. Woody muncul. Semua adegan muncul. File-nya tidak 100% utuh, tapi cukup untuk menyelamatkan segalanya.
Selama berminggu-minggu setelahnya, tim memulihkan file demi file. Mereka memperbaiki referensi yang rusak, membersihkan duplikat, dan menyatukan kembali proyek yang sebelumnya seperti puzzle tanpa potongan.
Dan akhirnya, pada November 1999, Toy Story 2 tayang dengan sukses besar—tanpa penonton tahu bahwa hanya setahun sebelumnya, film itu nyaris lenyap tak bersisa.
Galyn Susman? Ia tetap bekerja di Pixar hingga puluhan tahun setelahnya. Dan komputer rumahan itu—dengan CPU biasa dan sentuhan kasih sayang seorang ibu—menjadi pahlawan tak resmi di dunia animasi.
Kisah ini kini diceritakan sebagai legenda dalam dunia teknologi dan kreatif: bagaimana satu perintah nyaris menghapus sejarah, dan bagaimana satu tindakan kecil, yang tak disengaja—membuat salinan di rumah—bisa menyelamatkan dunia.
Dan jika ada satu pelajaran dari semua ini, bukan hanya soal teknologi. Tapi soal kepercayaan, kehati-hatian, dan kemanusiaan dalam dunia digital yang kadang terlalu percaya diri.
Juga, tentu saja:
Selalu cek backup-mu. Karena kadang, komputer rumah lebih bisa diandalkan daripada seluruh sistem perusahaan.
Comments
Post a Comment