Skip to main content

Dulu Gila, Sekarang Viral: Dunia yang Lupa Bahwa Standar Itu Sementara


Kita hidup di zaman yang aneh. Dulu orang bisa dicap gila hanya karena joget-joget di depan kamera. Hari ini, kalau kamu gak joget-joget, kamu dianggap gak seru, gak asik, atau malah dicap “anti-sosial.” Dulu dunia memberi label aib pada ekspresi diri. Sekarang, dunia yang sama memberi label “influencer.”

Zaman berubah. Tapi perubahan itu tidak selalu berarti peradaban kita makin dewasa. Kadang, ia hanya berganti topeng, ganti bahasa, ganti algoritma.

Marshanda hanyalah satu dari sekian banyak contoh. Ketika ia mengunggah video marah, tertawa, menyanyi, menari, dan meluapkan emosinya di tahun 2009, ia dicap gila. Lalu waktu berlalu, TikTok muncul, dan generasi baru justru berlomba-lomba membuat video serupa. Bedanya? Yang dulu dibenci, kini dirayakan.

Kita tidak sedang menjadi masyarakat yang lebih menerima. Kita hanya sedang melupakan bahwa dulu kita pernah menghakimi. Kita hanya sedang menikmati keanehan yang kini dianggap estetis.


Mari kita tarik lebih luas. Pernah dengar kisah tentang perempuan Barat di awal abad ke-20 yang dipenjara hanya karena mengenakan celana panjang? Ya, hanya karena celana. Di zaman itu, celana adalah milik laki-laki. Perempuan harus memakai rok panjang, tertutup, sopan menurut standar zamannya.

Kini? Bahkan di Paris, London, atau New York, pakaian dalam pun bisa jadi busana luar. Festival musik bisa jadi ajang telanjang sah, dan itu dilabeli sebagai freedom of expression. Dunia tidak sepenuhnya berubah karena menjadi lebih bijak. Dunia berubah karena norma itu lentur, dan karena yang menentukan norma bukan selalu logika, tapi tren dan dominasi opini.

Lalu kita bertanya:
Apakah yang dulu dianggap “melanggar norma” benar-benar salah?
Ataukah norma itu sendiri hanyalah konstruksi sosial yang terus direvisi sesuai selera mayoritas?


Kita sering lupa bahwa banyak hal yang dulu dianggap sesat, hari ini dipuja. Galileo pernah dianggap melawan gereja karena bilang bumi mengelilingi matahari. Kini, semua anak SD tahu dia benar. Kartini dulu dilarang sekolah tinggi. Kini namanya dipakai di setiap seminar emansipasi.

Artinya: ada masa di mana kebenaran terlihat seperti kegilaan. Ada fase di mana keberanian tampak seperti penyimpangan. Tapi masalahnya, manusia punya kebiasaan jelek—menghukum lebih cepat daripada memahami.

Kita begitu ketat pada masa kini, padahal masa kini akan jadi masa lalu yang kita tertawakan.


Masih ingat ketika anak nongkrong di warnet sampai tengah malam dibilang “nggak punya masa depan”? Sekarang, streamer dan gamer bisa menghasilkan ratusan juta hanya dari main game sambil ngoceh. Yang dulu dilarang orang tua, sekarang jadi profesi yang dicari sponsor.

Dulu rambut gondrong dianggap simbol kenakalan. Sekarang itu gaya hipster. Dulu tato identik dengan kriminal. Sekarang, bahkan artis religi pun bangga pamer tato dengan makna spiritual. Dunia ini seperti seleksi alam ide: yang bertahan bukan yang paling benar, tapi yang paling diterima.


Kita hidup dalam masyarakat yang memaksa orang untuk “menyesuaikan diri,” tanpa sadar bahwa yang mereka minta sesuaikan itu cuma tren sementara.

Seorang anak bisa dicemooh karena gaya bicaranya yang terlalu ekspresif, terlalu teatrikal. Tapi dua dekade kemudian, gaya itu yang menjadikannya stand-up comedian ternama.
Seorang perempuan bisa dibilang “tidak tahu malu” karena berani berbicara keras soal tubuhnya. Tapi di masa depan, dialah yang dianggap pelopor gerakan self-love.
Seorang remaja bisa dianggap tidak sopan karena menolak ikut tradisi. Tapi barangkali dialah yang sedang menyelamatkan keluarga dari warisan toksik yang membunuh pelan-pelan.

Yang dulu “gila”, bisa jadi hanya sedang lebih dulu dari zamannya.
Dan yang hari ini dianggap normal, bisa jadi hanya belum dipertanyakan.


Perubahan zaman tidak selalu berarti kemajuan. Kadang hanya perubahan kostum. Yang dulu malu-malu, sekarang vulgar. Yang dulu ditindas, sekarang jadi penguasa narasi. Dan yang dulu diasingkan, kini justru dijadikan ikon.

Tapi yang tetap sama dari dulu hingga sekarang adalah satu hal: manusia lebih cepat menghakimi daripada memahami. Manusia lebih senang mengatur daripada mendengarkan. Kita lebih suka dunia yang seragam karena itu membuat kita merasa aman.

Tapi dunia tidak pernah diciptakan untuk seragam. Alam semesta tidak butuh persetujuanmu untuk tetap berjalan. Dan manusia tidak butuh validasi publik untuk menjadi utuh.


Kita hidup di tengah masyarakat yang berubah setiap saat, tapi seolah menuntut orang lain untuk selalu sama. Ini adalah hipokrisi kolektif: kita ingin dunia menerima kita seutuhnya, tapi kita belum selesai menghakimi orang lain karena cara jalannya, cara tertawanya, atau karena ia menari di saat kita memilih diam.

Marshanda mungkin hanya satu contoh dari mereka yang berani melawan arus waktu itu. Tapi hari ini, kita semua sedang menjadi saksi bahwa apa yang dulu dianggap “keterlaluan,” kini hanya bagian dari beranda harian media sosial kita.

Maka sebelum kamu mencemooh orang karena cara berpakaiannya, cara berbicaranya, cara berekspresinya—tanyakan ini pada dirimu:

Apakah kamu benar-benar sedang menjaga moral?
Atau kamu hanya sedang takut menghadapi sesuatu yang tidak kamu pahami?

Apakah kamu membela nilai?
Atau kamu hanya mengikuti mayoritas karena tidak mau sendirian?

Karena bisa jadi, hari ini kamu merasa waras… hanya karena dunia sedang gila bersama-sama.


“Yang disebut gila bisa jadi hanya minoritas yang masih berpikir jernih.”
— Nassim Nicholas Taleb


Zaman tidak pernah netral. Ia memilih siapa yang disorot dan siapa yang dikucilkan. Tapi kamu, sebagai manusia merdeka, bisa memilih untuk tidak ikut menjadi hakim dalam peradilan sosial yang tidak pernah adil itu.

Karena bisa jadi, hari ini kamu menertawakan orang yang dianggap aneh,
tapi besok anakmu justru akan menjadikannya inspirasi.

Dan saat itu terjadi, semoga kamu tidak lupa… bahwa kamu pernah ikut melempar batu.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...