(atau: kenapa aku memilih mengetik dalam huruf kecil sambil meratapi harga mie instan)
ada sesuatu yang sangat mengganggu dalam dunia modern ini. bukan, bukan polusi udara, bukan juga utang negara yang menumpuk seperti cucian lebaran. bukan juga kenyataan bahwa nasi padang sekarang sudah hampir setara harganya dengan sewa kos. yang benar-benar mengganggu adalah: huruf kapital.
coba lihat. setiap merek dagang, setiap iklan, setiap janji palsu di baliho pinggir jalan — semua berteriak dalam huruf kapital. GRATIS ONGKIR!. CICILAN 0%!. DISKON GEDE-GEDEAN!!!. seolah-olah hidup ini hanya valid kalau dikapitalisasi, tidak hanya dalam arti ekonomi, tapi juga dalam arti tata bahasa.
apa mereka pikir kalau kita dikasih kata gratis dalam huruf kecil, kita akan mengabaikannya? kalau baliho bilang diskon dengan huruf mungil, kita akan pura-pura buta? tidak, saudara-saudaraku. kita sudah terlalu lama terjebak dalam dunia di mana kapital (huruf maupun modal) jadi simbol kuasa.
bayangkan, sebuah dunia alternatif di mana baliho tulisannya begini:
diskon kecil-kecilan. kalau mau ya silakan, kalau enggak ya enggak apa-apa.
atau:
barang ini biasa aja sih, tapi kalau kamu suka, boleh beli.
betapa damainya dunia. tak ada lagi teriakan visual, tak ada lagi font ukuran 72 bold italic underline berwarna merah menyala seolah mau membakar retina kita. tapi sayangnya, kapitalisme tak akan membiarkan itu terjadi. karena kapitalisme suka segala sesuatu yang berteriak agar dompet kita terbuka.
kapitalisme huruf kapital: dari baliho ke bio medsos
pernahkah kalian lihat bio di media sosial orang-orang yang sukses secara kapitalis? FOUNDER. CEO. ENTREPRENEUR. VISIONARY. semua huruf besar, semua penuh ambisi. tak ada yang tulis begini:
orang biasa, kadang lapar.
atau:
cuma manusia yang suka tidur siang.
karena di dunia ini, kalau kamu tak menulis dengan kapital — baik huruf, jabatan, maupun gaya hidup — kamu dianggap tak layak diperhatikan. padahal, coba jujur: apa yang lebih jujur daripada bio “manusia yang sering nyasar di google maps”?
perlawanan huruf kecil
dan di sinilah aku berdiri (atau tepatnya, duduk, karena berdiri bikin capek), mengetik dengan huruf kecil. ini bukan sekadar pilihan gaya. ini bentuk perlawanan. perlawanan terhadap kapitalisme yang memaksa kita untuk selalu besar, kuat, mewah, penuh ambisi.
huruf kecil adalah pengingat bahwa kita manusia biasa. kita punya hari-hari bodoh, kita salah eja, kita typo. kita beli mie instan satu bungkus waktu tanggal tua dan menganggap itu strategi bertahan hidup, bukan kegagalan.
huruf kecil adalah cara bilang: aku tak perlu teriak untuk didengar.
dunia tanpa kapital
bayangkan dunia tanpa huruf kapital. tak ada lagi merek yang berteriak. tak ada lagi logo yang minta dipuja. tak ada lagi brand value yang jadi agama baru. semua kembali ke esensi: barang ya barang, bukan simbol status.
dan kalau dunia ini tanpa kapitalisme? ah, tentu kita masih akan makan mie instan, tapi bukan karena tak mampu beli ayam goreng, melainkan karena kita memang suka.
penutup: ode untuk huruf kecil
jadi di sini aku menulis, dalam huruf kecil, menolak ikut lomba teriak-teriakan dalam dunia kapital huruf kapital. dunia yang mengukur nilai manusia dari seberapa keras dia menonjolkan diri.
huruf kecil ini, kawan, adalah bisikan di tengah pasar yang riuh. dan kadang, bisikan lebih jujur daripada teriakan baliho.
Comments
Post a Comment