Jakarta, September 1995. Kota itu sedang menelan orang-orang dengan lahapnya. Jalanan macet, udara dipenuhi asap knalpot, dan orang-orang berjalan cepat dengan pandangan yang jarang mau beradu tatap. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda asal Solo berdiri di pinggir jalan raya Pasar Minggu. Usianya baru dua puluh tahun, tubuhnya kurus, matanya penuh keyakinan yang keras kepala. Di dadanya tergantung sebuah papan sederhana bertuliskan: “Saya mencari pekerjaan.”
Tidak ada cara halus untuk mengatakannya: ia tidak punya akses, tidak punya kerabat yang bisa menaruh namanya di tumpukan rekomendasi HRD, tidak punya uang untuk membayar pelicin, apalagi posisi nyaman menunggu di kampung halaman. Yang ia punya hanya keberanian yang jarang dimiliki orang pada masa itu: keberanian untuk jujur, terbuka, dan rela sedikit dipandang aneh demi sebuah kesempatan.
Di tangannya, ia membawa ijazah SMA. Ijazah asli — bukan selembar kertas yang dicetak di Pasar Pramuka, bukan hasil editan komputer. Ini kertas yang ia peroleh setelah tiga tahun sekolah, berpeluh dalam ujian, dimarahi guru, dan menapaki perjalanan panjang yang penuh keterbatasan. Ijazah itu bukan hanya bukti pendidikan, tapi juga simbol satu-satunya modal hidupnya: "Saya sungguh-sungguh lulus, saya datang ke Jakarta untuk hidup yang lebih baik."
Dan pada saat itu — di era tanpa internet, tanpa job portal, tanpa algoritma rekrutmen — yang ia lakukan bukan hal konyol. Justru terasa wajar. Terlalu banyak orang yang hidupnya sulit, hingga jujur dan terus terang malah menjadi pilihan paling waras. Tidak ada yang menertawakannya. Bahkan banyak yang diam-diam mendoakan agar ada perusahaan yang melihat, berhenti, dan memberi harapan.
Pemuda itu mungkin tidak tahu bahwa apa yang ia lakukan hari itu akan menjadi potret abadi. Bukan potret kemiskinan. Tapi potret keberanian manusia biasa: datang ke kota besar, berdiri tegak, menunjukkan ijazah asli sebagai bukti kesungguhan.
Waktu berjalan. Dunia berubah.
Tahun-tahun berlalu. Teknologi merayap masuk ke setiap sudut hidup. Orang mencari pekerjaan lewat layar, bukan lagi lewat papan di dada. Anak-anak muda generasi berikutnya membawa ijazah dalam format PDF, bukan lagi kertas di tangan. Tapi ternyata ada satu hal yang tak ikut berubah: nasib orang jujur yang tetap harus berjuang sendirian.
Dan di sinilah muncul ironi yang menyesakkan: di negeri yang sama, beberapa dekade kemudian, ada seorang anak Solo lain yang juga datang ke Jakarta untuk "mencari kerja". Bukan kerja sembarangan — pekerjaan tertinggi di republik ini. Ia mencalonkan diri sebagai presiden, dan kemudian menang. Tapi berbeda dari Ari Rianto yang berdiri di pinggir jalan membawa ijazah asli, sosok yang satu ini membawa ijazah yang bertahun-tahun kemudian justru dipertanyakan keasliannya.
Sebuah ijazah yang entah mengapa membutuhkan klarifikasi laboratorium forensik, kesaksian ahli, putusan pengadilan, bahkan liputan media yang tiada henti — hanya untuk menjawab satu hal yang dulu dipegang Ari dengan polosnya: bahwa ia benar-benar lulus sekolah.
Dan di sinilah pahitnya mulai terasa.
Ari membawa ijazah asli ke tengah jalan, dan tetap tidak mendapatkan pekerjaan. Ia mempertaruhkan rasa malunya demi peluang yang belum tentu ada. Tapi di negeri yang sama, seseorang yang ijazahnya bahkan belum selesai meyakinkan publik, bisa duduk di kursi tertinggi, menentukan nasib jutaan rakyat.
Ketika ditanya soal keaslian dokumennya, jawabannya seringkali bukan transparansi, melainkan politik. Bukan keterbukaan, melainkan birokrasi. Bukan pembuktian, melainkan pengalihan. Seolah kejujuran hari ini adalah barang mewah, hanya boleh dibuka di ruang pengadilan, bukan di hadapan rakyat yang gajinya dipungut dari pajak.
Negeri ini pernah membuat seorang pemuda harus berdiri di pinggir jalan dengan papan "Saya mencari pekerjaan", karena ia terlalu jujur untuk memalsukan apa pun. Kini negeri yang sama membiarkan pejabatnya bertahan di singgasana sambil berkata: “Percaya saja, tak usah banyak tanya.”
Kisah Ari Rianto adalah cermin retak dari zaman yang sudah lama lewat. Cermin yang memantulkan pertanyaan-pertanyaan getir:
Kapan kejujuran berhenti menjadi tiket hidup di negeri ini?
Mengapa yang jujur harus berdiri di trotoar, sementara yang diragukan naik ke panggung dan disambut tepuk tangan?
Mungkin sekarang Ari telah tua. Rambutnya memutih, hidupnya sederhana, dan papan kayu yang dulu ia kalungkan di dada sudah lama hilang entah ke mana. Tapi foto itu tetap ada. Ia menyimpan luka sunyi: luka tentang sebuah negeri yang pelan-pelan kehilangan rasa malu, namun terus menuntut rakyatnya untuk tetap jujur.
Dan pahitnya adalah ini:
Di negeri yang mempekerjakan pemilik ijazah palsu di kursi tertinggi, pemilik ijazah asli masih harus berjuang sendirian di pinggir jalan.
Comments
Post a Comment