Kisah ini dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana di bandara Halim. Seorang jurnalis bertanya kepada presiden—dan sang presiden bahkan menjawab. Tidak ada keributan, tidak ada drama. Namun, malam harinya, biro komunikasi presiden mencabut kartu peliputan istana si jurnalis. Seolah-olah pertanyaan itu terlalu liar untuk dibiarkan hidup, sehingga harus dibayar dengan pencabutan akses.
Mari kita luruskan dulu: yang ditarik bukan kartu pers. Itu tetap utuh, tidak bisa disentuh oleh negara. Yang dicabut adalah kartu peliputan istana—selembar tanda pengenal yang memberi akses ke ruang paling simbolik dari kekuasaan: istana presiden. Jadi yang dipreteli bukan identitas jurnalis, melainkan aksesnya. Tapi justru di situlah letak simbol yang lebih tajam: ini bukan sekadar soal selembar plastik, melainkan pesan politik. Pesannya jelas: pertanyaan pun ada harganya.
Kartu peliputan itu kecil, tapi maknanya besar. Dengan satu tarikan, negara ingin menunjukkan siapa yang berhak duduk di kursi wartawan istana, siapa yang boleh bicara, dan pertanyaan macam apa yang pantas dilontarkan. Bukan lagi publik yang menentukan pentingnya sebuah pertanyaan, melainkan filter kekuasaan yang diam-diam bekerja lewat prosedur administratif. Bentuknya administratif, tapi dampaknya politis: jurnalis diingatkan bahwa setiap kata bisa dipertaruhkan dengan kehilangan akses.
Di sini, kita melihat permainan klasik: jawaban boleh, tapi pertanyaan tetap bisa dihukum. Presiden boleh menjawab santai, tapi biro di sekelilingnya merasa perlu “menegakkan aturan” dengan cara mencabut akses. Seolah-olah presiden sendiri hanyalah aktor di panggung, sementara para pengawal di belakang layar yang memegang remote control atas siapa yang boleh bertanya dan siapa yang harus diam.
Apa legalitasnya? Memang, biro komunikasi istana punya kewenangan administratif untuk mengeluarkan dan mencabut kartu peliputan. Namun, ketika digunakan sebagai respon atas pertanyaan yang masih sesuai kode etik jurnalistik, maka kewenangan itu berubah menjadi alat represi. Dari situ jelas: bukan soal kartu, melainkan logika kontrol.
Tindakan semacam ini bukan hal baru. Di banyak negara, akses istana atau gedung pemerintahan sering dijadikan alat tekan. Dan di Indonesia sendiri, sejarah menunjukkan betapa mudahnya kekuasaan tersinggung oleh sebuah pertanyaan. Padahal, Pasal 4 UU Pers sudah terang benderang: pers punya hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Kalau pertanyaan harus disaring dulu, maka undang-undang itu hanya jadi etalase kosong.
Itulah yang membuat langkah BPMI terlihat ganjil sekaligus berbahaya. Karena yang dipukul bukan hanya individu jurnalis, tapi juga hak publik untuk tahu. AJI sudah mengingatkan: serangan semacam ini tidak bisa dipandang personal, melainkan serangan terhadap akses informasi rakyat. Dengan kata lain, pencabutan akses satu orang jurnalis adalah pesan dingin kepada semua jurnalis: jangan terlalu jauh melangkah.
Masalahnya, kalau jurnalis harus diarahkan kapan dan di mana mereka boleh bertanya, apakah itu masih bisa disebut kebebasan pers? Atau sekadar kebebasan bersyarat yang ditentukan birokrat istana? Demokrasi kita sering bangga menyebut pers sebagai pilar keempat, tapi kalau pilar ini terus digergaji, jangan kaget kalau rumahnya ambruk.
Kebebasan pers hari ini memang tampak rapuh. Ancaman tidak lagi hanya berupa kekerasan fisik, tapi juga pencabutan akses, doxing digital, hingga tekanan psikologis. Semua itu menunjukkan tren: kekuasaan ingin mengatur bukan hanya apa yang dijawab, tapi juga apa yang boleh ditanyakan. Dan ketika pertanyaan pun diawasi, sesungguhnya yang terkikis bukan hanya kebebasan jurnalis, melainkan kebebasan kita semua sebagai warga untuk tahu.
Jadi sekali lagi, bukan soal kartunya. Bukan soal selembar plastik dengan logo istana. Yang sedang dipertontonkan adalah ego kekuasaan yang terlalu besar untuk disentuh pertanyaan sederhana. Ego yang begitu rapuh hingga butuh prosedur administratif untuk membungkam. Ironis, memang: demokrasi yang katanya kokoh, ternyata bisa goyah hanya karena satu pertanyaan di bandara.
Comments
Post a Comment