Skip to main content

Kehidupan adalah Film, Tapi Kadang Kita Hanya Figuran Tanpa Dialog

 

Hidup ini film. Begitu katanya. Tapi tak semua dari kita diberi naskah. Ada yang kebagian adegan lompat jurang, ada yang cuma lewat di latar, mengangkat dus, lalu menghilang. Tidak semua jadi leading role. Bahkan banyak dari kita mungkin cuma figuran, disuruh jongkok di belakang kamera sambil pura-pura makan mie yang sudah dingin.

Tapi tetap saja... “I'm king of the world!”, teriak kita, meniru DiCaprio yang belum tahu kapal itu akan tenggelam. Kita terlalu cepat bahagia, seringkali pada momen-momen kecil yang ternyata hanya montage menuju kesedihan berikutnya. Dan ketika realita mencolek dari belakang, kita hanya bisa bilang ke diri sendiri: "Snap out of it!"

Kadang hidup berjalan cepat. Kita merasa butuh kecepatan, bukan kebijaksanaan. "I feel the need—the need for speed!" Tapi kecepatan tanpa arah cuma bikin kita nyasar lebih cepat. Kita pikir kita Tom Cruise, padahal kita lebih mirip martabak telat balik: gosong di bawah, mentah di atas.

Tentu, ada momen magis. Momen ketika kita merasakan cinta. Ketika seseorang menatap kita dan berkata, “You're my knight in shining armor.” Tapi setelah itu tagihan listrik datang, dan kita sadar: armor itu cicilan.

Dan ketika tekanan datang dari segala penjuru—ekonomi, keluarga, ekspektasi—ada dorongan untuk berontak. Teriakan primal, seperti Al Pacino: "Attica! Attica!" Tapi sistem tidak mendengar. Bahkan kalau kita lempar batu ke jendela, yang datang hanya satpam, bukan perubahan.

Lalu kita mencoba jadi romantis, berharap kisah kita berakhir seperti film klasik. Tapi kenyataan lebih mirip King Kong: “It wasn't the airplanes. It was Beauty killed the Beast.” Kecantikan kadang membunuh bukan karena niat, tapi karena ekspektasi yang tak bisa ditanggung realita.

Kita terus bertanya pada langit, pada waktu, bahkan pada AI: “Open the pod bay doors, HAL.” Tapi jawabannya selalu sama: error, maintenance, atau "coba lagi nanti."

Kita marah. Teriak ke cermin: “Here's Johnny!” Tapi cermin tak menjawab. Ia cuma mengulang balik wajah kita yang capek, mungkin dengan sedikit jerawat. Kita ingin berkata seperti Rocky: "Yo, Adrian!" tapi Adrian tak pernah membalas pesan.

Di tengah absurditas ini, kita ingin merasa keren. Menyebut nama dengan gaya: "Bond. James Bond." Tapi di KTP, nama kita tiga suku kata yang sulit disebut dan selalu salah ketik di akta lahir.

Dan tetap saja, kita mencoba. Karena, seperti kata Rick di Casablanca, “We'll always have Paris.” Meskipun dalam realita, kita bahkan belum pernah keluar dari Ciledug.

Kita bertahan dengan filosofi sederhana: "Life is like a box of chocolates." Tapi nyatanya, kita sering kebagian yang isi rum. Atau kelapa. Dan kita nggak suka kelapa.

Lalu datang tawaran palsu. Jabatan. Proyek. Janji. Seseorang bilang: “I'm going to make him an offer he can't refuse.” Tapi ketika kita terima, ternyata itu skema ponzi.

Kita merasa gagal. Gagal jadi anak berbakti. Gagal jadi orang tua sempurna. Gagal jadi versi terbaik dari diri sendiri. Kita meratap: “I coulda been a contender. I could’ve been somebody.” Tapi dunia menjawab: "Frankly, my dear, I don't give a damn."

Tapi bahkan dalam kegagalan, kita terus hidup. Karena hidup bukan soal menang, tapi soal bertahan. Soal menatap kekacauan dan berkata: "Fasten your seatbelts. It’s going to be a bumpy night."

Dan di malam-malam sunyi, saat kita meringkuk di pojok kamar, suara kecil dalam diri mengingatkan: “Just keep swimming.”

Karena kadang hidup tidak memberimu peran utama, tapi kamu tetap harus muncul. Meski cuma figuran. Meski cuma pengantar dialog satu kalimat yang tak disebut di kredit akhir.


Kalau kamu membaca ini sambil berpikir, “Lho, kok banyak kutipan film ya?” Maka itu berarti kamu juga sedang menonton. Tapi bukan film layar lebar. Ini film hidupmu sendiri. Yang kadang lucu, kadang horor, kadang documentary yang terlalu suram untuk tayang di bioskop.

Dan kalau kamu merasa bingung, gelap, dan ingin menyerah, ingat satu hal:

“Tomorrow is another day.”

Dan sampai hari itu datang, “May the Force be with you.”

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...