Skip to main content

Ketika Tikus Dihukum, Serigala Menyamar, dan Singa Berkuasa

 


Di sebuah kebun tua yang sunyi, di pinggir desa yang nyaris terlupakan, seorang tukang kebun hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak punya banyak harta, hanya pohon-pohon buah yang ia rawat dengan cinta dan kesabaran. Anggur tumbuh manis, apel memerah, pir berair menggantung di dahan—buah-buahan yang menjadi kebanggaan desa dan sumber harapan hidupnya.

Namun, seperti halnya tempat yang subur, kebun itu tak pernah lepas dari incaran. Malam-malam datang membawa bayangan. Dan pada suatu malam yang dingin, seekor tikus kecil menyelinap masuk. Tubuhnya mungil, langkahnya pelan, dan yang ia ambil hanyalah sebutir anggur. Tapi malam itu, tukang kebun sedang berjaga. Ia menangkap si tikus dan murka.

“Dasar pencuri! Kau merusak kebunku hanya untuk sebutir anggur! Kau pantas dihukum berat,” katanya, suaranya menggema di antara pohon-pohon yang diam.

Tikus kecil itu gemetar. Ia bukan pencuri besar, hanya makhluk lapar yang mencari sesuap hidup. Tapi dunia jarang mendengar alasan dari mulut yang lemah. Ia tahu, dalam kebun ini, keadilan bukan soal niat, tapi soal siapa yang tertangkap.

Belum sempat hukuman dijatuhkan, datanglah seekor serigala berbulu domba. Ia melangkah tenang, dengan sorot mata yang teduh dan suara yang menenangkan.

“Wahai Tuan Tukang Kebun,” katanya lembut, “engkau terlalu keras. Biarkanlah pencuri kecil ini. Bukankah ada pencuri yang lebih besar, yang lebih berbahaya? Izinkan aku menjaga kebunmu dari mereka.”

Tukang kebun, yang lelah dan mudah terpesona oleh kata-kata manis, percaya. Serigala berbulu domba diangkat menjadi penjaga kebun. Tikus kecil pun dibiarkan hidup, meski hatinya tahu: bahaya sejati bukanlah yang datang diam-diam, tapi yang menyamar dengan wajah kesalehan.

Hari-hari berlalu. Buah-buahan semakin matang. Lalu datanglah tamu agung: seekor singa perkasa. Dengan auman yang mengguncang tanah, ia berkata:

“Kebunmu indah, pohonmu subur, buahmu manis. Mulai hari ini kebun ini menjadi milikku. Kau boleh tetap merawatnya, tapi semua buah adalah milikku. Sebagai balasannya, aku akan melindungimu dari pencuri kecil dan serigala lapar. Kau hanya perlu tunduk padaku.”

Tukang kebun tak berdaya. Ketakutan melumpuhkan logika. Ia mengangguk, dan sejak saat itu, segalanya berubah.

Tikus kecil yang dulu hanya mengambil sebutir anggur kini diburu habis-habisan. Serigala berbulu domba semakin dipercaya, bahkan diberi jabatan. Sedangkan singa besar mengambil hampir seluruh hasil kebun untuk dirinya sendiri, menyisakan remah-remah bagi si tukang kebun.

Tikus kecil pun berbisik lirih:

“Beginilah dunia. Yang lemah selalu ditindas. Pencuri kecil ditangkap, pencuri licik diberi jabatan, dan pencuri besar diangkat menjadi raja.”

Dan Dunia pun Berkata: Beginilah Adanya
Tikus kecil itu tetap hidup, tapi tidak tenang. Ia bersembunyi di balik akar, mengamati kebun yang dulu damai kini berubah menjadi panggung kekuasaan. Ia melihat serigala yang semakin gemuk, berjalan dengan dada membusung, disambut hormat oleh pohon-pohon yang dulu ia lindungi. Ia melihat singa duduk di singgasana dari batu, mengawasi segalanya dengan mata yang tak pernah berkedip.

Ia bertanya dalam hati: apakah ini keadilan?

Ia ingat malam itu, saat ia hanya mengambil sebutir anggur. Ia ingat ketakutan, suara tukang kebun yang marah, dan janji serigala yang manis. Ia tahu, dalam kebun ini, yang kecil harus tunduk, yang licik diberi kepercayaan, dan yang kuat mengambil segalanya.

Dan ia mulai melihat: kebun itu bukan hanya kebun. Ia adalah dunia.

Kebun Itu Adalah Kita
Di luar cerita, kita hidup dalam kebun yang sama. Tikus-tikus kecil adalah mereka yang lapar, yang melanggar aturan demi bertahan hidup. Mereka dihukum, dipermalukan, dijadikan contoh. Sementara serigala berbulu domba adalah mereka yang pandai bicara, yang tampil suci, yang menyamar sebagai penjaga, tapi diam-diam menggigit.

Dan singa? Ia tidak perlu menyamar. Ia cukup mengaum, dan semua tunduk. Ia mengambil hasil kerja banyak tangan, dan menyisakan remah-remah sebagai hadiah.

Tukang kebun adalah kita semua—rakyat yang ingin hidup tenang, tapi sering kali terlalu mudah percaya, terlalu cepat tunduk, terlalu takut kehilangan.

Hukum di Kebun Itu
Di kebun itu, hukum bukanlah pagar yang melindungi. Ia adalah jaring yang hanya menangkap yang kecil. Tikus ditangkap karena sebutir anggur, sementara serigala dan singa bebas berkeliaran, bahkan diberi peran.

Dan kita pun bertanya: apakah keadilan hanya milik mereka yang besar?

Harapan di Balik Akar
Namun tikus kecil tidak menyerah. Ia tahu, dalam cerita lama, seekor tikus pernah menyelamatkan singa dari jerat. Ia tahu, yang kecil bisa berarti, jika ia bertahan, jika ia bersatu, jika ia berani.

Ia tidak ingin menjadi raja. Ia hanya ingin kebun itu kembali menjadi tempat di mana buah bisa tumbuh untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang berkuasa.

Dan Tukang Kebun pun Terbangun
Malam itu, tukang kebun duduk di bawah pohon anggur. Ia melihat ke langit, dan bertanya pada dirinya sendiri: apakah aku telah salah percaya? Apakah aku telah membiarkan kebunku diambil perlahan?

Dan mungkin, hanya mungkin, ia mulai sadar: bahwa keadilan bukan soal siapa yang kuat, tapi siapa yang berani berkata benar.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...