Skip to main content

Maneki Neko: Penjaga Nyawa di Gerbang Kuil

 

Pada zaman ketika samurai masih menapaki jalan-jalan berbatu, dan suara lonceng kuil terdengar jauh menembus kabut pagi, hiduplah seorang kucing sederhana di pelataran sebuah kuil miskin. Kuil itu berdiri di pinggir hutan, sunyi, nyaris terlupakan, hanya dihuni oleh seorang pendeta tua yang sehari-hari hidup dari sedekah penduduk desa.

Kucing itu bukan kucing yang istimewa di mata dunia—bulu putihnya sedikit kotor karena tanah, ekornya kadang menekuk ke samping karena luka lama yang tidak pernah sembuh, dan perutnya sering kosong. Namun bagi pendeta tua, kucing itu adalah sahabat. Mereka berbagi keheningan malam dan kehangatan sederhana dari api yang jarang menyala di musim dingin.

Suatu sore, awan hitam berkumpul di atas bukit. Petir berkilat, guruh mengguncang udara, dan hujan turun tanpa ampun. Di jalan tanah tak jauh dari kuil itu, seorang daimyo kaya—seorang penguasa feodal yang tengah melakukan perjalanan resmi—terpaksa turun dari kudanya. Ia mencari tempat berteduh, dan menemukan sebuah pohon tua yang kokoh di pinggir jalan. Ia berdiri di bawahnya, menunggu badai reda, menggerutu dalam hati karena pakaian sutranya sudah basah kuyup.

Saat itu, matanya menangkap sesuatu di depan kuil kecil yang tampak lusuh. Seekor kucing berdiri di pelataran, tidak lari dari hujan, tidak bersembunyi, melainkan duduk tegak memandangnya. Lebih aneh lagi, kaki depannya terangkat, seolah-olah melambai… atau memanggil. Gerakannya pelan, seperti ajakan yang sabar dan penuh maksud.

Sang daimyo mengerutkan kening. Ia belum pernah melihat kucing berperilaku seperti itu. Entah mengapa, ada rasa ingin tahu yang menggerakkannya. Ia meninggalkan pohon tempatnya berteduh dan mendekat ke arah kuil, mengikuti panggilan sunyi yang terasa seperti tanda.

Baru beberapa langkah ia berjalan, suara menggelegar terdengar dari langit. Petir menyambar pohon tempat ia berdiri tadi—membelahnya menjadi dua, percikan api memercik, daun-daunnya terbakar di bawah hujan deras. Daimyo tertegun. Seandainya ia tetap di bawah pohon itu, mungkin tubuhnya kini hanya menjadi abu bersama batang yang terbelah.

Ia menoleh ke kucing itu, yang kini duduk tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Dalam hati daimyo merasakan sesuatu yang jarang ia rasakan selama hidup penuh kekuasaan: rasa terima kasih yang tulus kepada makhluk kecil yang bahkan tidak mengerti siapa dirinya.

Setelah badai reda, ia mendekati kuil dan menemui pendeta tua yang menjaga tempat itu. Kepadanya, daimyo mengisahkan kejadian yang baru saja terjadi. Ia berkata dengan suara berat, “Kuil ini menyelamatkan nyawaku… melalui seekor kucing. Mulai hari ini, aku adalah pelindung kuil ini.”

Sejak saat itu, kuil yang tadinya miskin menerima aliran dukungan dari daimyo tersebut. Bangunannya direnovasi, atapnya diganti, halaman dibersihkan, dan kucing kecil itu—yang sebelumnya tak bernama—menjadi simbol keberuntungan bagi semua yang datang berdoa.

Orang-orang menyebutnya Maneki Neko, kucing pemanggil. Dan lambaiannya dipercaya bukan sekadar gerakan kaki, melainkan panggilan untuk mendekat kepada keberuntungan, perlindungan, dan keselamatan.

Hingga hari ini, patung-patung keramik bergambar kucing dengan satu kaki terangkat bisa dilihat di pintu toko, rumah makan, hingga rumah pribadi di seluruh Jepang. Mereka berdiri diam, tapi dalam diamnya terkandung gema dari satu kejadian pada abad ke-17: ketika seekor kucing sederhana, tanpa kata-kata, menyelamatkan satu nyawa dan mengubah sejarah sebuah kuil kecil untuk selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...