Skip to main content

Negara Sebagai Ruang Terapi: Dari Bintang Bhayangkara ke Inner Child

 

Beberapa bulan terakhir, Presiden Prabowo tampak rajin menebar penghargaan. Ada polisi yang naik pangkat luar biasa karena terluka saat mengamankan demo, ada unit Polri yang dapat medali Nugraha Sakanti saat Hari Bhayangkara ke-79, ada pula pejabat tinggi sipil dan militer yang menerima Bintang Mahaputera. Dari luar, ini kelihatan seperti budaya apresiasi yang subur. Tapi dari kacamata rakyat yang sedang nonton, rasanya mirip acara award show yang tidak punya jadwal tetap. Tahu-tahu ada saja nama baru yang dadanya makin berat karena tempelan logam.

Di sinilah muncul komentar satir di media sosial: jangan-jangan ini efek “trauma inner child” dan “Hero Syndrome.” Kedengarannya klinis, tapi kalau dipakai untuk membaca fenomena politik, hasilnya lumayan segar.


Inner Child: Bintang yang Hilang dari Raport

Konsep inner child menjelaskan bahwa setiap orang dewasa masih menyimpan jejak masa kecilnya. Ada yang tumbuh dengan penuh pengakuan, ada juga yang tumbuh dengan rasa lapar akan validasi. Nah, kalau yang kedua ini terbawa sampai dewasa, sering muncul perilaku berlebihan dalam mencari atau memberi pengakuan.

Membayangkan pola ini pada presiden kita cukup menggelitik. Mungkin dulu bintang emas di raport terasa langka, sekarang negara bisa dipakai untuk menebusnya. Bedanya, stiker bintang masa kecil ditempel di kertas, sementara versi dewasanya ditempel di dada pejabat. Dari perspektif psikologi, ini seperti anak kecil yang tidak pernah tuntas dengan luka batin, lalu menemukan cara baru untuk memuaskan dirinya—bukan dengan terapi, tapi dengan menjadikan satu bangsa sebagai audiens permanen.


Hero Syndrome: Pahlawan di Atas Pahlawan

Ada juga istilah Hero Syndrome, dorongan untuk selalu terlihat sebagai penyelamat. Dalam bentuk ekstrem, orang bisa menciptakan situasi di mana dirinya tampak sebagai penolong utama.

Di panggung politik, Hero Syndrome muncul lewat logika sederhana: aparat memang bekerja, tapi siapa yang mengangkat mereka menjadi pahlawan? Tentu saja orang yang memberi bintang. Dengan begitu, spotlight tetap kembali ke pemberi penghargaan. Polisi boleh gagah, pejabat boleh berwibawa, tapi ada figur yang berdiri lebih tinggi: sang pahlawan di atas pahlawan.

Kalau ini film action, ia bukan hanya aktor utama, tapi juga sutradara, produser, bahkan pembagi piala di akhir cerita.


Antara Strategi Politik dan Terapi Batin

Namun jangan lupa, ini bukan sekadar soal psikologi pribadi. Ada aspek politik yang jelas terlihat. Dalam teori kekuasaan, pemberian penghargaan adalah cara klasik membangun loyalitas. Sama seperti bos perusahaan yang bagi-bagi bonus: bukan berarti semua karyawan jenius, tapi karena bonus itu membuat orang merasa berutang budi.

Bedanya, kalau bonus perusahaan habis di warung, medali negara bertahan seumur hidup. Ia melekat di dada, menjadi simbol status, dan tentu saja memperkuat loyalitas politik.

Tetapi tetap menarik membayangkan sisi lain: seolah negara ini dijadikan ruang terapi terbuka. Alih-alih kursi konseling, yang dipakai adalah panggung Istana. Alih-alih psikolog, yang hadir adalah pejabat tinggi. Dan alih-alih bantal untuk menangis, yang dibagikan adalah medali.


Efek Inflasi Penghargaan

Masalahnya, penghargaan yang terlalu sering diberikan bisa kehilangan makna. Sama seperti uang, semakin banyak dicetak, nilainya semakin merosot. Kalau semua pejabat dapat bintang, lama-lama bintang itu tak lagi jadi simbol prestasi, melainkan aksesori.

Rakyat pun bisa menangkap sinyal itu. Alih-alih terkesan, banyak yang malah sinis. Penghargaan yang harusnya melambangkan kehormatan justru dipandang sebagai “voucher politik.” Bahkan ada yang menyebutnya mirip “terapi inner child” versi negara: setiap kali ada rasa tidak lengkap, yang keluar adalah satu lagi medali baru.


Pada Akhirnya

Apakah benar semua ini murni trauma masa kecil? Tidak ada bukti langsung. Apakah ini Hero Syndrome? Bisa jadi, meski kita tentu tak bisa mendiagnosis presiden dari jauh. Atau apakah ini strategi politik? Sangat mungkin.

Yang jelas, faktanya memang ada rangkaian pemberian penghargaan:

  • Juli 2025, tujuh unit Polri dapat Nugraha Sakanti dan tiga perwira dapat Bintang Bhayangkara Nararya.

  • September 2025, polisi yang terluka saat demo dipromosikan pangkatnya.

  • Agustus 2025, sejumlah pejabat menerima Bintang Mahaputera, termasuk figur kontroversial dengan rekam jejak korupsi.

Dari data itu saja, rakyat wajar kalau kemudian membaca dengan kacamata satir. Karena ketika penghargaan jadi begitu sering dan kadang jatuh ke nama yang problematik, sulit untuk tidak mengaitkannya dengan psikologi pribadi sang pemberi.

Dan di titik ini, humor jadi pelarian. Kalau negara berubah jadi ruang terapi, paling tidak rakyat bisa menertawakan absurditasnya. Karena kalau ditanggapi terlalu serius, bukan cuma dada pejabat yang terasa berat oleh bintang, tapi dada rakyat juga ikut sesak.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...