Pendidikan, kepemimpinan, dan konsistensi. Tiga kata yang sederhana, tapi menentukan apakah seseorang hanya sekadar “ada” atau benar-benar meninggalkan jejak yang abadi. Dalam dunia normal, hukum dasarnya jelas: mereka yang tersesat mencari pendidikan, mereka yang sudah terdidik butuh eksekusi, dan mereka yang mengeksekusi butuh konsistensi. Sederhana, rapi, logis.
Namun begitu kita pindahkan ke Indonesia, hukum logika itu seakan berubah jadi lawakan. Pendidikan bisa kalah oleh koneksi, kepemimpinan tersisih oleh pencitraan, dan konsistensi malah dianggap membosankan. Hasilnya? Kita sering menyaksikan orang-orang yang salah kaprah naik ke panggung kekuasaan, sementara mereka yang benar-benar punya bekal justru tersingkir di pinggir jalan.
Pendidikan: Ilmu atau Sekadar Formalitas?
Di dunia ideal, pendidikan itu cahaya. Ia menuntun cara pikir, cara pandang, hingga cara mengambil keputusan. Orang yang terdidik sejati bukan hanya paham teori, tapi juga tahu kapan harus melangkah dan kapan harus menahan diri.
Sayangnya, di Indonesia, pendidikan sering kali terjebak di kertas bernama ijazah. Gelar S1, S2, S3 bisa panjang berderet di belakang nama, tapi isi kepala masih kosong melompong. Lebih menyedihkan lagi, ada pula yang ijazahnya palsu, tapi entah bagaimana bisa tetap duduk di kursi empuk.
Kita jadi terbiasa mendengar orang pintar kalah oleh orang licik. Mereka yang punya gagasan cemerlang tersingkir oleh mereka yang jago menyusun proposal anggaran. Sementara itu, anak-anak muda yang haus ilmu terjebak dalam sistem pendidikan yang lebih sibuk menghitung angka akreditasi ketimbang melatih logika.
Kepemimpinan: Antara Menggiring atau Menggembala
Setelah pendidikan, yang paling krusial adalah kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati bukan hanya berani bicara, tapi juga sanggup mendengar. Ia bukan sekadar berdiri di depan, melainkan juga siap mendorong dari belakang ketika yang dipimpin mulai goyah.
Namun apa yang kita lihat? Kepemimpinan di negeri ini sering kali hanya sebatas gaya. Pemimpin sibuk berswafoto di sawah, pura-pura memetik cabai, atau ikut nonton konser rakyat. Semua demi pencitraan, bukan karena benar-benar ingin mengerti penderitaan rakyat.
Kepemimpinan palsu itu ibarat boneka pajangan. Bagus di etalase, tapi rapuh ketika diuji badai. Dan parahnya, banyak orang tetap terpesona, karena kita hidup di era di mana pencitraan bisa lebih kuat dari realitas.
Konsistensi: Barang Langka di Negeri Serba Instan
Lalu tibalah kita pada ujian paling sulit: konsistensi. Dalam dunia nyata, konsistensi ibarat tetesan air yang mengikis batu. Pelan, sederhana, kadang diremehkan, tapi pada akhirnya meninggalkan jejak yang tak tergantikan.
Namun di Indonesia, konsistensi sering dipandang membosankan. Kita lebih suka yang serba instan. Kalau ada jalan pintas, kenapa harus bersusah payah? Kalau bisa viral semalam, buat apa menunggu bertahun-tahun?
Akibatnya, konsistensi mati pelan-pelan. Janji politik berubah-ubah sesuai arah angin. Program pembangunan berganti setiap kali kursi berganti. Bahkan janji sederhana seperti “tidak akan menaikkan harga” bisa dilanggar dengan enteng, seolah rakyat hanya punya daya ingat sependek ikan cupang.
Ketika Hukum Logika Dibalik
Kalau tiga hal tadi—pendidikan, kepemimpinan, konsistensi—seharusnya menjadi tangga menuju kemajuan, di Indonesia justru sering kali diputar balik.
-
Yang minim pendidikan bisa jadi pejabat asal punya koneksi.
-
Yang miskin kepemimpinan bisa memimpin asal pandai pencitraan.
-
Yang tak konsisten bisa terus berkuasa asal pintar mengatur narasi.
Hasilnya? Negeri kita sering terlihat sibuk, tapi tidak benar-benar bergerak. Ada pembangunan, tapi setengah hati. Ada janji, tapi penuh tipu daya. Ada pemimpin, tapi lebih suka didengar ketimbang mendengar.
Di titik ini, kita seperti hidup dalam drama absurd. Bahkan orang-orangan sawah pun bisa lebih layak jadi pejabat, karena setidaknya ia berdiri konsisten menjaga sawah tanpa pernah ingkar janji.
Mengembalikan Makna Sejati
Pertanyaannya, apakah kita mau terus hidup dengan hukum logika terbalik semacam ini? Atau sudah waktunya mengembalikan makna sejati dari tiga hal tadi?
Pendidikan harus kembali jadi cahaya, bukan sekadar simbol status. Kepemimpinan harus kembali jadi seni mendengar dan menggerakkan, bukan seni berpose di depan kamera. Konsistensi harus kembali jadi fondasi, bukan bahan olok-olok.
Jika tiga hal ini benar-benar bersatu, Indonesia tidak akan sekadar bergerak, tapi melesat. Badai hanya akan jadi latihan, kegagalan hanya jadi bahan bakar, dan kritik hanya jadi cermin untuk semakin kuat.
Kata kuncinya jelas: pendidikan, kepemimpinan, konsistensi. Tiga hal sederhana, tapi kalau terus dibiarkan dipermainkan, kita hanya akan jadi penonton di tanah sendiri.
Comments
Post a Comment