Skip to main content

Satu Jeritan yang Membakar Sebuah Imperium

 


(dan dunia Muslim yang kini justru sunyi dari gema seperti itu)

Ada satu cerita yang sudah berabad-abad lamanya beredar di kalangan umat Islam. Ia dituturkan dari mimbar ke mimbar, dibisikkan dalam halaqah, dan diceritakan ulang di kamp-kamp dakwah, dengan mata berkaca dan suara bergetar. Bukan karena ceritanya panjang—tapi karena dampaknya panjang. Karena satu jeritan seorang wanita, mampu mengguncang peta dunia. Karena satu kalimat putus asa dari seorang Muslimah, menjelma menjadi bahan bakar penaklukan sebuah kota besar bernama Amuriyah.

Di tahun 223 Hijriyah, Romawi Timur (Bizantium) sedang dalam fase overconfidence. Mereka menyerang kota-kota perbatasan Daulah Abbasiyah di Anatolia seperti anak kecil menendangi kaleng. Mereka membunuh, menjarah, memperkosa. Dan seperti kebiasaan para penakluk sebelum munculnya istilah "hak asasi manusia", mereka memperlakukan para tawanan Muslimah dengan cara yang lebih keji dari binatang lapar. Di antara yang ditawan, ada satu wanita. Namanya tidak tercatat. Sejarah hanya mencatat jeritannya.

"Wā Mu‘taṣimāh!"
("Wahai Mu‘tasim, tolong aku!")

Dan di situlah letak keajaiban yang sering kita lupakan di zaman modern ini. Bahwa sebuah kepedihan, jika disuarakan dengan keimanan, bisa menggerakkan gunung. Atau dalam kasus ini: menggerakkan pasukan sebanyak 100.000 prajurit dari jantung Baghdad ke benteng batu Amuriyah.

Teriakan itu sampai ke telinga al-Mu’tashim Billah, Khalifah Abbasiyah ke-8, anak dari Harun al-Rasyid yang legendaris. Beliau berdiri, tidak untuk berpidato panjang. Tidak untuk membentuk tim penyelidik. Tidak untuk membuat cuitan “kami prihatin” atau mengutuk dengan nada-nada diplomatis seperti pemimpin hari ini.

Tidak.

Ia hanya berkata satu kalimat pendek:
"Labbayki yā ukhti."
("Aku datang wahai saudariku.")

Dan dunia pun tahu, Mu’tashim bukan pemimpin yang doyan janji manis. Ia menempa pedang-pedang terbaik. Ia rekrut pasukan berkuda, mempersiapkan logistik, menyusun strategi pengepungan. Bukan untuk sekadar membalas dendam—tapi untuk menunjukkan bahwa harga diri satu Muslimah… adalah harga mati.

Kota Suci Byzantium Dibakar oleh Gairah Kehormatan

Amuriyah bukan kota sembarangan. Ia adalah lambang Romawi Timur. Tempat kelahiran Kaisar Theophilos sendiri. Dindingnya 30 kaki tinggi, dilindungi menara-menara batu dan pasukan elite. Tapi semua itu tidak cukup tinggi untuk menahan gelombang pasukan yang digerakkan oleh satu jeritan yang tulus.

Dan ketika pasukan khusus berhasil menyusup lewat saluran air di malam hari, yang terjadi bukan sekadar kemenangan militer. Itu adalah klimaks dari sebuah balas budi atas sebuah kalimat permohonan.
Benteng itu runtuh. Para jenderalnya ditawan. Wanita-wanita Muslim dibebaskan.

Sang wanita yang berteriak, akhirnya berdiri di hadapan Mu’tashim. Dengan suara gemetar, ia berkata:

"Allahu Akbar… engkau benar-benar datang."

Dan Mu’tashim menjawab, tanpa membusungkan dada atau menepuk dada layaknya influencer politik:

"Demi Allah, satu jeritanmu telah membakar benteng terkuat Byzantium."

Dan Hari Ini?

Hari ini, satu kota hancur hanya karena wanita Muslim dipermalukan.
Hari ini, ratusan wanita Muslim dipermalukan… tapi dunia Islam tak bergeming.
Tidak ada Mu’tashim. Tidak ada Salahuddin. Tidak ada al-Fatih.
Yang ada? Lobi ke PBB. Sumpah serapah di Twitter. Doa berjamaah sambil selfie.
Dan parade kesibukan diplomasi dengan jargon-jargon seperti “solidaritas”, “dukungan moral”, “konferensi tingkat tinggi”, atau “sanksi ekonomi simbolik”.

Sungguh, andai wanita tadi menjerit hari ini, barangkali jawabannya bukan “Labbayki yā ukhti” tapi:
“Kami sedang KTT dulu, sabar ya.”
Atau lebih ironis:
“Akun Instagram-mu sudah diverifikasi belum? Biar cepat viral.”

Apa yang Membunuh Reaksi?

Yang membunuh bukan cuma senjata. Tapi sistem yang mati. Yang membunuh adalah umat yang tidak punya satu komando. Umat yang tersekat-sekat oleh perbatasan nasional, paspor, dan kepentingan ekonomi. Umat yang mengira bahwa penjaga kehormatan wanita Muslim hari ini adalah PBB, bukan Khilafah.

Yang membunuh adalah ketakutan terhadap kata “jihad”.
Kata yang pernah berarti membela yang lemah, hari ini diperlakukan seperti senjata biologis.
Kata yang dulu menggetarkan imperium Romawi dan Persia, hari ini dicekal bahkan oleh umat Islam sendiri.
Padahal dalam al-Qur’an, jihad itu bukan teror. Tapi perisai.
"Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya untuk Allah." (QS. Al-Baqarah: 193)

Lalu, Sampai Kapan?

Sampai kapan kita berharap dari NATO?
Sampai kapan kita mengutuk penindasan sambil membeli produk penjajahnya?
Sampai kapan kita puas dengan orasi-orasi lantang tanpa tindakan konkret?

Wanita itu dulu hanya berkata satu kalimat.
Tapi ia tahu pada siapa ia berharap.
Ia tidak meminta keadilan dari Kaisar Theophilos.
Ia tidak menunggu konferensi HAM.
Ia hanya berharap pada Khalifah yang mengerti bahwa kehormatan satu wanita Muslim lebih berharga dari seluruh kota.

Maka Hari Ini…

Jangan hanya menitikkan air mata membaca kisah Amuriyah.
Air mata tidak mengubah dunia.
Kepemimpinan yang benar, sistem yang adil, dan umat yang bersatu—itulah yang mengubah sejarah.

Bukan nostalgia yang kita butuhkan. Tapi keberanian untuk menyalakan kembali api itu.

Dan andai hari ini ada yang berteriak:
"Wā Mu‘taṣimāh!"
Apakah kita masih pantas menjawab:
"Labbayki, yā ukhti…”

Ataukah kita hanya akan menggulirkan berita itu, menyisakan satu emoji menangis, lalu beralih ke video kucing lucu?


“Kehormatan satu wanita Muslim… harus lebih berharga daripada seluruh kekuasaan dunia.”
— (dalam ingatan sejarah yang kini nyaris kita lupakan)

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...