Ada satu hal yang kita pakai setiap hari, tapi tidak pernah tahu sisa jumlahnya. Bukan pulsa. Bukan kuota. Bukan uang. Tapi waktu.
Waktu adalah satu-satunya "mata uang" yang kita belanjakan tanpa pernah bisa mengecek saldo. Dan ironisnya, justru karena itu kita sering memperlakukannya seperti sesuatu yang murah. Dibuang ke drama yang tidak penting, ditukar dengan validasi murahan, atau dibarter dengan pekerjaan yang secara diam-diam mengikis makna hidup—asal gaji masuk tanggal 25.
Banyak orang tumbuh dengan pemahaman bahwa kesuksesan identik dengan kesibukan. Jadwal padat dianggap lambang keberhasilan. Tapi semakin dewasa, banyak yang mulai menyadari bahwa tidak semua kesibukan berarti kemajuan. Ada yang sibuk lari, tapi sebenarnya sedang menjauh dari diri sendiri. Ada yang tampak produktif, tapi dalam hatinya terasa kosong.
Kita semua sibuk membangun “karier”, merancang “masa depan”, mengejar “stabilitas finansial”—tapi jarang bertanya: waktu yang kita pakai untuk semua itu, benar-benar milik kita, atau milik ekspektasi orang lain yang kita kejar validasinya?
Tidak sedikit yang rela bekerja 12 jam sehari, 6 hari seminggu, hanya agar bisa terlihat “hebat”, “sukses”, atau “berguna”. Tapi di balik itu, ada yang mulai kehilangan arah, hubungan, bahkan kesehatan. Waktu dihabiskan, tapi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak menumbuhkan apa-apa.
Waktu yang kita habiskan tidak pernah memberi notifikasi. Tidak seperti dompet yang bisa dibuka dan dihitung. Kita tidak tahu kapan saldo waktu kita habis. Bisa lima puluh tahun lagi, bisa besok pagi saat menyeberang jalan. Tidak ada yang benar-benar tahu.
Dan mungkin karena itulah waktu itu suci. Karena setiap detiknya tidak bisa diulang, tidak bisa ditabung, dan tidak bisa dicuri. Tapi anehnya, kita sering memberikan waktu kita untuk hal-hal yang tidak layak menerimanya.
Kita beri waktu untuk menonton kehidupan orang lain, tapi pelit memberi waktu untuk merenungi hidup sendiri. Kita beri waktu untuk marah di jalanan, tapi lupa memberi waktu untuk bicara dengan keluarga. Kita beri waktu untuk membuktikan sesuatu kepada orang yang bahkan tidak peduli, tapi lupa duduk tenang bersama orang yang selalu ada.
Kalau waktu benar-benar mata uang, maka setiap hari kita sebenarnya sedang berbelanja. Tapi masalahnya, kita sering berbelanja tanpa berpikir. Kita membuang waktu seperti orang kaya yang tidak sadar saldonya tinggal sedikit.
Karena tidak ada aplikasi yang bisa memberi tahu sisa waktu kita di dunia, satu-satunya cara untuk tidak bangkrut secara batin adalah dengan menyadari: waktu bukan hanya detik—waktu adalah nilai.
Maka, pertanyaannya sekarang bukan lagi: "Punya waktu berapa lama?" Tapi: "Waktu yang dimiliki ingin digunakan untuk apa? Untuk siapa? Dan akankah kita menyesal nantinya?"
Kesadaran menjadi penting di sini. Bukan berarti hidup menjadi lambat atau harus selalu hening seperti meditasi. Tapi sadar bahwa waktu kita terbatas, dan justru karena terbatas, ia menjadi berharga.
Bekerja keras itu baik. Memiliki ambisi itu penting. Mengejar mimpi itu mulia. Tapi jangan tukarkan waktu yang berharga dengan hal-hal yang membuat kita kehilangan diri sendiri. Jangan biarkan hidup kita terlihat panjang secara teknis, tapi kosong secara makna.
Karena pada akhirnya, semua orang akan sampai di satu titik: menoleh ke belakang dan bertanya, "Selama ini sudah digunakan untuk apa waktuku?"
Semoga saat hari itu datang, kita tidak menjawab dengan penyesalan. Tapi dengan senyum kecil, dan mungkin sedikit air mata bahagia.
Karena meskipun waktu tidak pernah menampilkan saldonya, kita tahu—kita telah menggunakannya dengan bijak.
Comments
Post a Comment