Ada ironi yang sedang bergulir di negeri ini. Di satu sisi, media merasa sedang menjalankan fungsi kontrol sosial dengan menyoroti kehidupan pesantren. Di sisi lain, para santri dan kiai merasa martabat mereka diinjak-injak oleh narasi sembrono yang dibuat tanpa riset dan tanpa rasa. Dua pihak sama-sama merasa benar, padahal keduanya, dengan cara berbeda, sedang kehilangan takaran etisnya.
Kasus Xpose Uncensored di Trans7 yang menayangkan segmen tentang Pondok Pesantren Lirboyo adalah contoh paling aktual dari ketegangan itu. Tayangan tersebut memicu gelombang amarah publik, terutama dari kalangan santri dan alumni pesantren. Frasa-frasa seperti “santri ngesot” dan “minum susu sambil jongkok” dianggap merendahkan, bahkan menghina tradisi yang selama ini dihormati. Media dituduh mengejar cuan lewat sensasi, bukan lewat kebenaran.
Tapi kalau kita mau sedikit menurunkan emosi dan membuka ruang refleksi, mungkin kita bisa melihat bahwa yang terjadi sebenarnya bukan sekadar benturan antara media dan pesantren. Ini benturan antara dua ekstrem: sensasi tanpa etika di satu sisi, dan pengkultusan tanpa kritisisme di sisi lain.
Media yang Kehilangan Rasa
Dalam teori komunikasi, jurnalisme punya tiga tanggung jawab utama: kebenaran, keseimbangan, dan kemanusiaan. Sayangnya, sebagian besar media modern kini hanya mengingat yang pertama — itu pun setengah hati. Kebenaran direduksi menjadi “apa yang terlihat,” bukan “apa yang benar.” Maka muncullah liputan yang serba visual, dramatis, dan memancing emosi publik tanpa memperhatikan konteks sosial di baliknya.
Program seperti Xpose Uncensored lahir dari logika algoritma dan iklan. Ia harus menggigit, harus viral, harus “rame.” Dalam dunia di mana rating dan engagement menjadi ukuran moral baru, etika jurnalistik sering kali hanya hiasan di dinding redaksi. Cover both side dianggap terlalu lambat, riset dianggap terlalu mahal, dan sensitivitas budaya dianggap terlalu rumit untuk mengejar deadline.
Akibatnya, yang muncul bukan jurnalisme, tapi teater sensasi. Liputan tentang pesantren, lembaga pendidikan dengan kompleksitas sejarah dan spiritual yang panjang, dijadikan semacam tontonan eksotis. Para santri dipotret sebagai objek keanehan, bukan subjek kemuliaan. Di situ media gagal memahami: bahwa dunia pesantren tidak bisa dibaca dengan lensa sinisme, tapi juga tidak boleh dimanjakan dengan romantisasi. Ia harus didekati dengan adab.
Pesantren yang Kehilangan Jarak
Namun di sisi lain, polemik ini juga menguak satu kenyataan getir yang jarang mau diakui secara terbuka: bahwa dalam sebagian kultur pesantren, terutama yang berafiliasi dengan tradisi ke-NU-an, fenomena ghuluw, atau pengkultusan individu, memang ada dan kadang meresahkan.
Kiai dihormati, itu wajar. Dalam Islam, guru dipandang sebagai perantara ilmu, dan ilmu itu cahaya yang membimbing manusia menuju kebenaran. Tapi ketika penghormatan bergeser menjadi pemujaan, maka cahaya itu berubah jadi bayangan. Ada santri yang mencium tanah bekas pijakan kiai, ada yang menganggap air bekas wudunya penuh barokah, bahkan ada yang takut berpikir berbeda karena takut dianggap durhaka. Itu bukan lagi adab, tapi ketakutan yang dibungkus kesalehan.
Tentu tidak semua pesantren demikian, banyak yang justru mendidik santri untuk berpikir kritis dan terbuka. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada tradisi simbolik yang terus dipertahankan meski sudah melampaui esensi. Ketika seorang kiai menjadi sosok yang tak boleh dikritik, maka pesantren kehilangan jiwanya sendiri sebagai ruang pencarian ilmu. Ilmu sejati tak bisa tumbuh di bawah bayang-bayang pengkultusan.
Ironisnya, ketika media menyoroti hal ini (dengan cara yang salah), banyak pihak justru sibuk marah, bukan sibuk bercermin. Padahal, kritik yang kasar sekalipun bisa menjadi bahan renungan jika diterima dengan kepala dingin. Namun dalam iklim sosial kita yang mudah tersinggung, refleksi sering kalah oleh gengsi.
Benturan Dua Dunia
Media dan pesantren sesungguhnya punya misi yang mirip: sama-sama mengedukasi publik, sama-sama berurusan dengan kebenaran. Tapi keduanya kini seperti dua kutub yang tak lagi saling memahami bahasa satu sama lain.
Media berbicara dengan logika “viral”, sementara pesantren berbicara dengan logika “adab.” Yang satu mengutamakan kecepatan, yang lain mengutamakan ketenangan. Yang satu percaya pada kebebasan berekspresi, yang lain pada batas kesopanan. Dan ketika dua bahasa ini bertemu tanpa penerjemah, yang terjadi hanyalah salah paham kolektif.
Padahal, andai media mau turun dengan rendah hati, menyelami kehidupan santri, berbincang dengan para kiai, memahami struktur nilai yang bekerja di balik tradisi mereka, mungkin liputan itu bisa jadi karya jurnalistik yang membuka mata. Sebaliknya, andai pesantren juga mau lebih terbuka terhadap kritik, bahkan terhadap yang datang dari luar lingkarannya, maka marwah pesantren justru akan makin kokoh, bukan tercoreng.
Mencari Titik Tengah
Yang dibutuhkan sekarang bukan saling hujat, tapi saling belajar. Media perlu belajar dari pesantren tentang adab dalam berkata, tentang menempatkan niat dan rasa sebelum bicara. Pesantren perlu belajar dari media tentang transparansi dan akuntabilitas, tentang pentingnya membuka diri terhadap kritik agar tidak terjebak dalam mitos kesempurnaan.
Kritik terhadap pengkultusan di pesantren bukanlah penghinaan, selama disampaikan dengan ilmu dan empati. Begitu pula, kritik terhadap jurnalisme yang serampangan bukan bentuk anti-kebebasan pers, melainkan pengingat agar kebebasan itu tidak berubah jadi kelalaian.
Di antara cuan dan kultus, ada satu nilai yang sama-sama hilang dari kedua pihak: takaran.
Takaran dalam bicara, takaran dalam menghormati, takaran dalam mencari kebenaran.
Dan ketika takaran itu hilang, semua yang tersisa hanyalah kebisingan.
Jika media kembali menemukan rasa, dan pesantren kembali menemukan jarak, maka mungkin kita bisa mulai lagi dari titik yang sama, titik di mana ilmu dan etika saling bergandeng tangan, bukan saling menuduh.
Comments
Post a Comment