Skip to main content

Jakarta, Kota yang Hujannya Pun Sudah Daur Ulang

 

Udah denger belum? Air hujan di Jakarta sekarang mengandung mikroplastik.
Iya, hujan, yang dulu katanya “berkah dari langit”, kini turun membawa serpihan sandal jepit, serat jaket, dan debu ban mobil yang meleleh.
Alam sudah bosan dikotori dari bawah, jadi ia memutuskan untuk membalas lewat atas.

Temuan ini datang dari riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang sejak 2022 meneliti kandungan air hujan di Jakarta. Hasilnya bikin miris: setiap tetes air hujan mengandung partikel mikroplastik, berasal dari pembakaran sampah plastik, serat sintetis pakaian, debu kendaraan, hingga degradasi plastik di ruang terbuka.
Artinya, setiap kali langit menurunkan hujan, yang sebenarnya jatuh ke tubuh kita adalah partikel dari hidup kita sendiri, plastik yang dulu kita buang, kini kembali dengan format aerosol.

Jakarta, kota di mana langit pun ikut tercemar gaya hidup.


“Apakah ini fenomena baru?” tanya banyak orang.
Tidak. Ini bukan badai misterius dari film fiksi ilmiah. Ini cuma konsekuensi logis dari satu abad peradaban plastik sekali pakai.
Bedanya, sekarang bumi sudah tidak punya tempat untuk menyembunyikan kebodohan manusia, bahkan atmosfer pun mulai memantulkannya kembali.

BRIN memperingatkan bahwa partikel-partikel ini bisa terbawa ke sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Jadi jangan khawatir, polusinya inklusif. Semua kebagian.
Hujan mikroplastik bukan bencana lokal, tapi nasional.
Kita semua diseragamkan oleh butiran polimer yang sama, sebuah simbol kesetaraan baru di Republik Plastik Indonesia.


Bahaya mikroplastik bukan teori konspirasi. Lembaga National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mengingatkan bahwa mikroplastik bisa menyerap bahan kimia beracun, lalu masuk ke rantai makanan.
Artinya, kita tidak cuma minum plastik, tapi juga kimia yang menempel di permukaannya.
Studi kolaborasi Greenpeace dan Fakultas Kedokteran UI menemukan jejak mikroplastik di darah, paru-paru, bahkan plasenta manusia Indonesia.
Sedangkan riset internasional mencatat: paparan mikroplastik bisa menurunkan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.
Jadi kalau hari-hari ini kita sering melihat masyarakat makin sulit berpikir jernih, mungkin bukan cuma karena politik, bisa jadi karena plastik.

Epidemiolog Dicky Budiman dari Griffith University menegaskan, efeknya tak main-main: peradangan kronis di saluran pernapasan dan usus, gangguan hormon, bahkan jantung.
Dengan kata lain, mikroplastik bukan sekadar kotoran di udara, tapi racun yang menyusup pelan-pelan ke dalam sistem biologi kita, menurunkan daya pikir dan menumpulkan empati. Sebuah senjata kimia yang kita buat sendiri, tanpa musuh asing.


Indonesia sendiri, menurut Environmental Science & Technology Journal — masuk peringkat teratas dunia dalam konsumsi mikroplastik per kapita. Sebagian besar dari makanan laut.
Jadi bukan cuma laut yang kotor, tapi juga laut yang memberi makan kita kini ikut mengembalikan “oleh-oleh” kecil itu dalam bentuk partikel plastik di perut.

Ironinya, kita terus membanggakan program “Jakarta Smart City” dan “Kota Hijau”, padahal tak satu pun kota di dunia yang bisa disebut cerdas bila hujannya saja sudah beracun.
Kita membangun waste to energy plant, tapi gagal menekan pembakaran terbuka yang jadi sumber utama polusi udara dan partikel plastik.
Kita sibuk bicara “ekonomi sirkular”, padahal yang benar-benar sirkular adalah polusinya: dari tanah ke udara, dari udara ke awan, dari awan ke tubuh kita.

Sebuah daur ulang sempurna, hanya saja, manusianya ikut terdaur.


BRIN memberi saran: kurangi pembakaran sampah terbuka, bijak menggunakan plastik sekali pakai, dan tingkatkan pengolahan limbah.
Tapi saran itu terdengar seperti nasihat untuk orang yang sudah tenggelam agar jangan berenang terlalu dalam.
Sebab masalahnya bukan sekadar perilaku individu, tapi sistem yang sejak awal menjadikan plastik sebagai bahasa resmi kemajuan.
Dari sedotan hingga sachet, dari bungkus makanan sampai baliho kampanye, semuanya diseragamkan dalam polimer yang tak bisa mati.

Maka barangkali, hujan mikroplastik ini bukan kutukan, tapi cermin.
Langit sedang memantulkan kembali gaya hidup kita yang sintetik, dalam bentuk partikel-partikel kecil, lembut, dan mematikan.
Jakarta bukan lagi kota di bawah awan, tapi kota di bawah lapisan tipis plastik yang kini menetes ke wajahnya sendiri.

Dan mungkin, di masa depan, anak-anak sekolah akan belajar bahwa air hujan itu tidak lagi suci, melainkan cairan campuran antara oksigen, nitrogen, dan kenangan buruk dari masa industri.

Selamat datang di era di mana setiap tetes hujan adalah pengingat:
Bumi tidak membalas dendam. Ia hanya mengembalikan barang.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...