Polemik antara Xpose Uncensored dan Pondok Pesantren Lirboyo telah menjelma menjadi cermin buram yang memantulkan dua wajah bangsa: media yang lalai menjaga etika, dan umat yang mudah terbakar oleh sentimen simbolik.
Apa yang seharusnya menjadi perbincangan rasional tentang tanggung jawab media, kini berubah menjadi medan emosional antara “pembela marwah pesantren” dan “pembela kebebasan pers”. Keduanya bersuara keras, tapi sama-sama kehilangan keseimbangan.
Kesalahan Media dan Luka yang Diperlebar
Tidak sulit memahami mengapa banyak pihak tersinggung oleh tayangan Xpose Uncensored di Trans7. Narasi yang dimaksudkan sebagai investigasi sosial justru menimbulkan kesan bahwa dunia pesantren identik dengan kekerasan dan penyimpangan moral. Framing semacam ini jelas keliru dan tidak bertanggung jawab.
Pesantren bagi banyak orang Indonesia bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan rumah kebudayaan — tempat ribuan anak ditempa dalam kesederhanaan dan keikhlasan. Maka ketika rumah itu dilecehkan, rasa tersinggung adalah hal yang manusiawi.
Namun, reaksi emosional bukan alasan untuk mengabaikan prinsip hukum dan akal sehat. Tindakan penyegelan gerai Transmart, intimidasi, hingga pelabelan “musuh pesantren” terhadap pihak yang berbeda pandangan justru memperlebar luka yang ingin disembuhkan.
Dari Protes ke Intimidasi
Kasus yang terjadi di Jember memperlihatkan betapa tipis batas antara “klarifikasi” dan “intimidasi”. Sejumlah anggota Banser mendatangi rumah seorang Youtuber bernama Stevanus Revaldo setelah ia mengunggah video berjudul “Kenapa Trans7 Diboikot! Sini Gua Jelasin.”
Dalam video berdurasi sekitar 15 menit itu, Stevanus sejatinya tidak menghina pesantren. Ia hanya menyampaikan pendapat bahwa isu boikot Trans7 sebaiknya tidak menjadi pusat perhatian publik, melainkan fokus dialihkan ke isu yang lebih substansial: pembahasan Undang-Undang di DPR.
Namun, bagi sebagian pihak, ucapan tersebut dianggap “melukai hati warga pesantren”. Revaldo pun dipaksa menjelaskan maksudnya, dan akhirnya meminta maaf. Videonya kini disetel dalam mode privat, seolah menghapus jejak dari ruang publik.
Peristiwa ini memperlihatkan betapa rapuhnya ruang kebebasan berekspresi ketika amarah menjadi ukuran kebenaran.
Klaim Moral dan Eksklusivitas Kebenaran
Fenomena “kalian yang nggak pernah mondok jangan ikut komentar” yang ramai di media sosial memperlihatkan gejala lain: munculnya eksklusivitas kebenaran. Seakan-akan hanya mereka yang pernah mondok yang berhak bicara tentang pesantren, sementara yang lain tak pantas menyentuh topik tersebut.
Logika semacam ini berbahaya. Ia menutup pintu dialog, dan mengubah pesantren — yang sejatinya lahir sebagai ruang pencarian ilmu — menjadi menara gading yang menolak koreksi. Padahal, jika konsisten, maka para santri pun tak boleh bicara soal jurnalisme, politik, atau ekonomi karena mereka bukan praktisinya.
Kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh pengalaman kelompok. Apalagi jika pengalaman itu dijadikan senjata untuk membungkam kritik.
Autokritik untuk Dunia Pesantren
Kita perlu jujur mengakui: di sejumlah pesantren, terutama yang berafiliasi dengan tradisi Nahdlatul Ulama, praktik ghuluw — pengkultusan berlebihan terhadap sosok kiai — memang nyata adanya.
Cinta kepada guru adalah ajaran luhur, tetapi ketika cinta berubah menjadi pemujaan, logika akan mati. Kritik terhadap kiai sering kali dianggap durhaka, bahkan kufur. Padahal, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah memperingatkan, “Janganlah kalian memujiku berlebihan sebagaimana orang-orang Nasrani memuji Isa bin Maryam.”
Namun di banyak tempat, wibawa kiai diletakkan di atas kebenaran. Fatwanya lebih dipuja daripada dalil yang ia kutip. Dari situ, lahirlah kultur yang menolak pertanyaan — sebuah tradisi yang diam-diam membunuh daya kritis generasi santri.
Standar Ganda Moral
Ada ironi yang sukar diabaikan.
Ketika seorang perempuan di media sosial menginjak Al-Qur’an, sebagian tokoh NU menyerukan agar umat tak mudah terpancing. Tetapi ketika pesantren mereka disentuh media, kemarahan kolektif langsung menyala.
Ketika kasus kekerasan seksual di beberapa pondok pesantren terungkap, banyak suara memilih diam. Tetapi ketika satu acara televisi mengusik simbol kehormatan, ribuan orang bereaksi.
Seolah marwah lebih penting dari moral, dan simbol lebih penting dari substansi.
Padahal, di situlah ujian sesungguhnya: apakah pembelaan terhadap pesantren masih berlandaskan nilai-nilai Islam, atau sekadar reaksi emosional yang dibungkus kesalehan?
Kritik Bukan Penistaan
Kritik terhadap pesantren bukan penistaan terhadap agama. Sama halnya, kritik terhadap media bukan pembenaran atas amarah tanpa kendali.
Keduanya adalah bentuk peringatan agar masing-masing pihak tidak melampaui batas.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Celakalah orang-orang yang melampaui batas.” (HR. Muslim).
Berlaku berlebihan dalam ucapan dan tindakan adalah bentuk kemungkaran tersendiri.
Ketika kelompok keagamaan mudah tersulut oleh kritik, dan media mudah tergelincir pada sensasi, maka yang lahir adalah masyarakat yang kehilangan kemampuan untuk mendengar dan berpikir.
Cermin yang Retak
Polemik Xpose–Lirboyo seharusnya menjadi pelajaran bersama, bukan bahan bakar kebencian.
Bagi media, ini saatnya kembali menegakkan etika jurnalisme dan berhenti mengejar atensi dengan mengorbankan akurasi.
Bagi dunia pesantren, ini momen untuk meneguhkan bahwa cinta kepada guru tidak boleh menyingkirkan akal sehat.
Sebab marwah pesantren tidak akan runtuh oleh satu tayangan televisi, melainkan oleh perilaku para pembelanya yang kehilangan adab ketika marah.
Dan kebebasan pers tidak akan bermakna jika digunakan tanpa tanggung jawab.
Kita hidup di masa di mana setiap orang bisa menjadi mikrofon bagi kemarahannya sendiri. Maka tugas terberat kita hari ini bukan membela siapa yang benar, tapi menjaga agar cara kita membela kebenaran tidak berubah menjadi kebodohan yang baru.
Comments
Post a Comment