Presiden Prabowo baru saja menyampaikan kabar gembira dalam sidang kabinet paripurna: angka kemiskinan Indonesia kini turun ke 8,47%, katanya, angka terendah sepanjang sejarah Republik. Tepuk tangan bergema di ruang sidang, para menteri tersenyum, dan grafik-grafik indah menanjak turun di layar LED.
Tapi di luar gedung itu, masih banyak orang yang harus menunggu sisa nasi kotak acara agar bisa makan malam.
Begitulah cara negara kita menulis sejarah, dengan angka, bukan dengan perut.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan per Maret 2025 berada di Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari. Artinya, kalau pengeluaranmu sudah di atas itu, selamat: kamu bukan lagi “orang miskin”. Kamu sudah “naik kelas”, secara administratif. Tidak apa kalau gajimu habis untuk kontrakan, listrik, dan beras yang makin mahal, yang penting kamu tidak miskin menurut tabel Excel negara.
Angka itu memang tampak kecil, tapi di situlah keindahannya: kemiskinan bisa dihapus bukan dengan menyejahterakan rakyat, tapi dengan menurunkan definisinya. Seperti menurunkan standar ujian supaya semua siswa bisa lulus, lalu berpesta karena katanya kualitas pendidikan meningkat.
Dan inilah yang disebut kemajuan versi modern, ketika kesejahteraan diukur dari berapa murah harga hidup versi spreadsheet, bukan dari berapa manusia bisa hidup tanpa utang dan kecemasan.
Secara resmi, Indonesia memang tercatat mengalami penurunan angka kemiskinan terus-menerus sejak pandemi. Tapi mari lihat konteksnya.
Data Bank Dunia (2024) menyebut garis kemiskinan global untuk negara berpendapatan menengah ke bawah seperti Indonesia adalah US$3,65 per hari, sekitar Rp57 ribu jika dikonversi ke rupiah. Artinya, standar BPS yang hanya Rp20 ribu per hari bahkan tidak sampai sepertiganya.
Dengan standar Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia akan melonjak jauh di atas angka 8%.
Ekonom senior Faisal Basri pernah menyindir hal ini dengan kalimat sederhana: “Kalau garis kemiskinan hanya Rp600 ribu, itu bukan garis kemiskinan, itu garis keputusasaan.”
Masalahnya bukan di BPS semata, melainkan di cara berpikir kekuasaan. Ketika negara terlalu sibuk menghitung berapa banyak orang miskin, ia lupa bertanya kenapa orang miskin tetap miskin meski angka mereka menurun.
Padahal, di balik satu angka “turun”, bisa jadi ribuan keluarga hanya berpindah status dari miskin absolut menjadi miskin rasa menengah, kelompok yang pendapatannya pas-pasan tapi beban hidupnya melebihi angka gaji.
Ironisnya, data BPS juga menunjukkan ketimpangan (gini ratio) nyaris stagnan di angka 0,384, artinya jurang antara kaya dan miskin tak banyak berubah.
Jadi, kemiskinan mungkin turun, tapi kesenjangan tetap berdiri tegak seperti monumen.
Pemerintah menargetkan angka kemiskinan 4,5–5% pada 2029. Target yang indah, seperti brosur motivasi MLM tentang “Indonesia Emas”. Tapi bila garis kemiskinannya tidak direvisi, maka kemiskinan itu bisa “turun” bukan karena rakyat makin sejahtera, melainkan karena definisi kemiskinan makin dipermurah.
Seolah dengan Rp20 ribu per hari, seseorang bisa membeli martabat dan masa depan.
Seorang ekonom Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, pernah mengingatkan bahwa “penurunan angka kemiskinan tidak otomatis berarti peningkatan kesejahteraan.” Sebab banyak rumah tangga berada tepat di atas garis kemiskinan, sedikit saja harga naik, mereka langsung jatuh miskin kembali.
Artinya, yang kita sebut turun itu sebenarnya hanya rapuh.
Barangkali suatu hari nanti, ketika kemiskinan resmi mencapai nol persen, kita akan benar-benar jadi bangsa yang “maju”. Semua orang akan punya pekerjaan, entah itu sebagai kurir, buruh lepas, atau content creator bersertifikat.
Harga beras mungkin naik, biaya sekolah melesat, dan rumah hanya mimpi, tapi negara bisa tidur nyenyak: rakyatnya tidak miskin, karena mereka semua telah melampaui garis ajaib Rp20.305 per hari.
Begitulah cara sejarah ditulis di republik ini: dengan angka yang menenangkan, bukan kenyataan yang menyakitkan.
Comments
Post a Comment