Skip to main content

Magang Setelah Lulus: Negara yang Tak Percaya Pada Anak Didiknya Sendiri

 

Ada masa ketika “magang” berarti belajar. Belajar tentang dunia kerja, mengenal ritme kantor, merasakan beban tanggung jawab sebelum resmi menerima gaji. Tapi kini, magang tampaknya bukan lagi soal belajar, melainkan cara halus negara mengakui kegagalannya sendiri dalam menciptakan pekerjaan.

Tanggal 20 Oktober nanti, pemerintah akan menyalurkan dua puluh ribu lulusan sarjana ke berbagai perusahaan lewat program magang nasional. Dua puluh ribu anak muda yang baru saja menggenggam ijazah, kini diarahkan bukan untuk bekerja, melainkan “dimagangkan”. Alasannya? Supaya mereka mendapat exposure ke dunia kerja. Lucunya, istilah yang dipakai sama seperti promosi skincare: “exposure”, seolah pengalaman tanpa bayaran bisa jadi bekal masa depan.

Kementerian Tenaga Kerja dengan bangga menyebut pendaftar program ini sudah tembus seratus ribu orang. Begitu banyak lulusan sarjana yang berbondong-bondong mendaftar untuk kesempatan menjadi pekerja sementara tanpa kepastian upah. Ini bukan sekadar angka antusiasme. Ini potret nyata dari keputusasaan yang dipoles menjadi statistik optimisme.

Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh sudah mengingatkan, magang seharusnya untuk pelajar yang masih menempuh pendidikan. Tapi di negeri ini, batas antara belajar dan bekerja sudah kabur. Negara membungkus pengangguran dengan istilah pelatihan. Mereka yang seharusnya mendapat upah layak kini mendapat “kesempatan belajar lagi”. Setelah lulus empat tahun, anak muda Indonesia rupanya dianggap masih terlalu mentah untuk dunia kerja, tapi cukup dewasa untuk jadi data keberhasilan program pemerintah.

Padahal, data berbicara dengan jujur.
Per Februari 2025, ada lebih dari satu juta sarjana yang menganggur, atau sekitar 6,23 persen. Naik dari tahun ke tahun. Tahun 2023, 5,52 persen. Tahun 2024, 5,63 persen. Artinya, setiap tahun ratusan ribu lulusan baru muncul, sementara lapangan kerja tak tumbuh secepatnya. Ada 1,2 juta sarjana baru setiap tahun, dan pintu kerja yang terbuka tetap sempit.

Jadi apa yang dilakukan negara? Bukannya memperlebar pintu, mereka membuat ruang tunggu baru bernama “program magang”. Di ruang tunggu itu, para sarjana diminta bersabar sambil berharap ada HRD yang kasihan lalu mempekerjakan mereka sungguhan.

Ini bukan solusi. Ini kosmetika ekonomi.
Sebuah cara agar angka pengangguran tampak menurun di laporan BPS tanpa perlu menciptakan pekerjaan riil. Karena secara statistik, peserta magang tidak tercatat sebagai pengangguran. Mereka sedang “ikut pelatihan”. Cerdik, bukan? Negara berhasil mengubah penganggur jadi peserta program, cukup dengan permainan kata.

Di titik ini, pertanyaan muncul: apakah program magang ini sekadar bentuk ngeles pemerintah dari janji 19 juta lapangan kerja yang dulu dielu-elukan?
Karena di atas kertas, janji itu masih tergantung di udara. Di dunia nyata, yang tumbuh malah angka jobseeker. Sulit untuk tidak mencium aroma panik dalam kebijakan ini.

Ketika negara tak mampu menciptakan pekerjaan, maka rakyat disuruh menciptakan kesibukan.
Ketika janji tak bisa ditepati, maka definisi “bekerja” digeser jadi “berpartisipasi dalam program”.
Dan ketika generasi muda mulai kehilangan arah, mereka diajak magang seolah waktu adalah sumber daya tak terbatas.

Kebijakan seperti ini adalah bentuk keputusasaan yang dikemas rapi. Pemerintah tak lagi bicara soal keberdayaan manusia, melainkan manajemen angka. Mereka sibuk menata narasi agar pengangguran terlihat produktif, tanpa benar-benar menyelesaikan akar masalah: tidak adanya lapangan kerja baru yang bernilai tambah.

Lebih ironis lagi, ketika negara ikut memproduksi tenaga kerja murah untuk korporasi.
Bayangkan, perusahaan kini punya akses ke puluhan ribu sarjana baru, siap bekerja tanpa beban gaji penuh, dilabeli “magang resmi pemerintah”. Sebuah simbiosis ganjil antara kapitalisme dan birokrasi: yang satu butuh tenaga murah, yang satu butuh angka keberhasilan. Dan di tengah-tengahnya, manusia berubah jadi statistik.

Pertanyaan pentingnya bukan lagi “berapa banyak yang magang?”, tapi “berapa banyak yang akan benar-benar dipekerjakan setelahnya?” Karena tanpa kejelasan itu, program ini tak ubahnya seperti lomba lari tanpa garis finis. Semua orang disuruh berlari, tapi tak ada yang tahu kapan boleh berhenti.

Lebih jauh, ini juga bentuk ketidakpercayaan negara terhadap sistem pendidikannya sendiri. Kalau sarjana dianggap belum siap kerja, bukankah itu berarti empat tahun kuliah mereka gagal menyiapkan kemampuan dasar? Mengapa solusi yang dipilih bukan memperbaiki kurikulum, melainkan memperpanjang masa percobaan?

Mungkin memang begitulah cara berpikir birokrasi kita: alih-alih membangun jembatan, mereka menambah antrian di tepi jurang.

Negara ini punya cara aneh untuk mendefinisikan kemajuan. Kita sibuk mencetak ijazah, bukan mencetak kesempatan. Kita bangga dengan jumlah peserta program, bukan dengan jumlah pekerjaan yang benar-benar tercipta. Pemerintah ingin terlihat sibuk menolong, padahal yang dilakukan hanyalah menunda masalah.

Karena di negeri yang terlalu sering mengubah janji menjadi jargon, kerja dan magang kini dibedakan hanya oleh satu hal: anggaran.
Yang satu dibayar pasar, yang satu dibiayai pajak.
Dua-duanya tetap menaruh nasib anak muda di ruang tunggu yang sama.

Jadi kalau hari ini pemerintah menyebut program magang ini sebagai “exposure ke dunia kerja”, mungkin yang sebenarnya terekspos adalah wajah asli kebijakan itu sendiri — kebijakan yang sibuk mencari cara agar terlihat berhasil, bahkan ketika sedang gagal.


Apakah magang ini solusi? Mungkin.
Apakah ini bentuk ngeles dari janji besar? Lebih mungkin lagi.
Karena di negara yang gemar menepuk dada, bahkan kegagalan pun bisa diubah jadi program.

Dan bagi para sarjana yang kini “dimagangkan”, selamat datang di dunia kerja versi negara: tempat di mana masa depan dimulai dengan kontrak sementara dan diakhiri dengan tepuk tangan birokrat yang puas karena angka pengangguran terlihat turun di layar presentasi.

Comments

Popular posts from this blog

Al-Qur'an: Masterpiece Copywriting dari Sang Pencipta

Pernahkah Anda berpikir bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa disebut sebagai bentuk copywriting yang sempurna? Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar unik, bahkan mengejutkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, keindahan, kekuatan pesan, dan pengaruh emosional dalam Al-Qur'an memang memiliki banyak kesamaan dengan elemen-elemen dalam seni copywriting . Bahkan, ia melampaui batasan copywriting modern dengan tujuan yang jauh lebih mulia dan dampak yang abadi. Mari kita bedah bersama mengapa Al-Qur'an layak disebut sebagai karya copywriting yang sempurna. Apa Itu Copywriting? Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita definisikan dulu apa itu copywriting . Secara sederhana, copywriting adalah seni menulis teks yang dirancang untuk memengaruhi pembaca atau audiens agar melakukan tindakan tertentu. Dalam dunia pemasaran, ini sering kali berarti membeli produk, mendaftar layanan, atau bahkan sekadar memberikan perhatian pada suatu pesan. Teks copywriti...

Tren "We Listen, We Don't Judge": Ketika Sepak Bola Humor Salah Kaprah di Indonesia

  Sepak bola dan tren media sosial punya kesamaan menarik: dua-duanya seru, penuh strategi, tapi sering juga salah kaprah saat dimainkan di lapangan yang berbeda. Salah satu tren media sosial yang bikin geger adalah " We Listen, We Don't Judge ." Kalau diibaratkan sepak bola, ini seperti permainan passing bola yang rapi: intinya berbagi cerita tanpa  tackle  berlebihan. Tapi saat tren ini dibawa ke Indonesia, kadang rasanya seperti nonton  striker  ngotot bawa bola sendiri ke gawang... yang malah autogol. Kick-Off: Makna Asli Tren Tren " We Listen, We Don’t Judge " dimulai dengan niat mulia. Bayangkan seorang  striker  yang bekerja sama dengan tim, oper bola cantik, dan akhirnya cetak gol bersama-sama. Di tren ini, semua orang berbagi cerita lucu tentang diri sendiri, sambil memastikan nggak ada yang merasa di- tackle  habis-habisan. Misalnya: "Kemarin ngantuk banget, salah masuk kamar orang lain di hotel. Untung nggak kena  ...

Pedang yang Tak Pernah Mereka Pegang, Tapi Darahnya Menggenang

Mereka bilang Islam menyebar dengan pedang. Itu sudah lagu lama. Kaset usang yang terus diputar ulang, bahkan saat listrik mati akal sehat. Dari ruang kelas hingga siaran televisi, dari artikel ilmiah yang pura-pura netral hingga obrolan kafe yang penuh superioritas samar—semua ikut bernyanyi dalam paduan suara yang berlagak objektif, tapi sebenarnya penuh kebencian dan ketakutan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon, agama ini ekspansionis. Konon, para penganutnya doyan perang. Tapi mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat sekeliling. Lihat reruntuhan di Irak yang bahkan belum sempat dibangun kembali. Lihat anak-anak di Gaza yang hafal suara drone lebih daripada suara tawa. Lihat reruntuhan peradaban yang ditinggal pergi oleh para pembawa “perdamaian.” Lalu tanya satu hal sederhana: siapa sebenarnya yang haus darah? Barat menyukai wajahnya sendiri di cermin. Tapi bukan cermin jujur—melainkan cermin sihir seperti di kisah ratu jahat. Di dalamnya, wajah pembantai bisa te...