(Sebuah Memoar tentang Trompet, Keringat, dan Generasi yang Pernah Melompat Bersama)
Ketika Hidup Pernah Berirama Offbeat
Ada benang halus yang mengikat ingatan masa muda kita: bau keringat di bawah lampu panggung, tawa yang pecah saat nada trompet jatuh salah, dan rasa bodoh yang terasa mulia karena dibagikan bersama teman.
Di Indonesia, benang itu dulu bernama ska — musik yang datang perlahan, menempel, lalu meledak jadi sesuatu yang tak sekadar bunyi.
Awal yang Datang Lewat Celah
Ska tidak tiba di sini sebagai tamu yang langsung paham aturan rumah. Ia datang lewat celah-celah: dari kaset Madness dan The Clash yang berputar di kamar kos, satu atau dua stanza “white reggae” ala The Police yang dicoba-coba musisi lokal, bahkan jejak samar bisa ditemui di lagu pop lama Igor Tamerlan, “Suka Skally.”
Di masa itu, pensi sekolah terasa “kurang lengkap” tanpa band yang menyelipkan satu-dua lagu berebut tiupan trompet. Namun kultur dan movement-nya belum benar-benar ada—baru getaran kecil, eksperimen suara yang asyik dijadikan tumbal tawa remaja.
Gelombang Ketiga yang Menyapa
Lalu, pada pertengahan 1990-an, sesuatu berubah.
Gelombang dari luar negeri—Fishbone, The Mighty Mighty Bosstones, Rancid dengan …And Out Come the Wolves (1995)—masuk ke telinga anak tongkrongan yang sedang haus referensi.
Di dunia tanpa internet cepat, kaset impor dan majalah musik yang dibawa pulang teman dari luar negeri menjadi harta karun. Dari situ istilah “ska” mulai punya arti di komunitas underground ibu kota. Dari salah sebut sebagai reggae lama, kita bergerak belajar menyebutnya dengan benar: third-wave ska, ska-punk, two tone, yang kemudian melahirkan ratusan variasi lokal.
Ada momen konkret: Tokyo Ska Paradise Orchestra datang pentas ke Jakarta pada 1993 — catatan penting sebagai band ska mancanegara pertama yang menginjakkan kaki di tanah air. Itu seperti pesan bahwa pintu dunia mulai terbuka.
Beberapa tahun kemudian No Doubt bermain di Bali (1996), Maroon Town dan Save Ferris muncul di penghujung dekade, dan nama-nama lain makin sering muncul di berita festival. Di dalam negeri, tempat seperti Harley Davidson Café dan Poster Café jadi ruang latihan sekaligus pertemuan. Di sana anak-anak punk, oi!, dan eks-band cover mulai menyelipkan satu dua lagu ska dalam setlist mereka, sampai akhirnya nama seperti Tipe-X, Skalie, Artificial Life, Rolling Door, Jun Fan Gung Foo, Washtafel muncul dan saling bergaul di panggung kecil itu.
Musim Panas Panjang 1997–1999
Maka lahirlah sebuah era: 1997 hingga 1999 terasa seperti musim panas panjangnya ska.
Majalah Hai pernah mengangkat tema “Ska… Ska… Ska…” di edisi Januari 1998 — bukti bahwa bukan hanya tongkrongan yang bicara; media arus utama mulai menengok.
Band-band yang awalnya hanya bermain di gig kampus mulai berlabuh ke label besar. Beberapa bahkan merilis album seminal — Waiting Room (1997) disebut banyak orang sebagai album ska Indonesia yang penting.
Dan 1999? Itu puncaknya.
Banyak band masuk catatan industri, ikut kompilasi, muncul di radio — sekaligus saat komunitas jalanan merasa terbelah antara yang tetap underground dan yang “naik level.”
Di masa ini, ska bukan lagi sekadar musik; ia jadi gaya hidup kecil-kecilan. Kaos kotak-kotak, sepatu Doc Mart, dan rambut berdiri jadi kode sosial tersendiri.
Lagu-Lagu yang Menjadi Penanda
Di tengah keramaian sejarah itu, ada lagu-lagu yang menjadi penanda. Mereka bukan hanya hits; mereka adalah fragmen waktu yang, ketika diputar kembali, membuat kita instan pulang ke masa itu.
Tipe-X misalnya — “Genit” bukan sekadar lagu cinta jenaka. Ketika lagu itu mengudara, seluruh lapangan pensi terasa seperti satu undangan kolektif untuk jadi norak. Ritme dan liriknya memberi izin sosial: boleh konyol, boleh berlebihan, yang penting ikut.
Di sisi lain ada Souljah dengan “Tak Selalu,” yang mengajarkan ketenangan: bahwa di balik tawa, ada ruang untuk realisme. Dua lagu itu berdampingan dalam memori — satu memantik lompatan, satu menenangkan napas.
Kalau ada lagu yang boros akan nostalgia hangat, itu “Di Sayidan” dari Shaggydog. Lagu itu beraroma angkringan, jalan kecil, malam yang dipenuhi cerita kecil — bukan drama besar, melainkan detik-detik biasa yang kini bergetar di memori.
Jakarta punya Jun Fan Gung Foo dengan “Bruce Lee” — perayaan humor dan kecepatan. Band ini membuktikan bahwa ska lokal bisa menyerap referensi pop culture Asia dan menjadikannya bahan mentah yang lucu dan lincah.
Ada juga Escoret dengan “Berkhayal,” yang memberi sentuhan melankolis pada ritme riang — pengingat bahwa mimpi tak selalu sampai, tapi bernyanyi tentangnya tetap menyenangkan.
UFO dengan “Oh Ibuku” bermain di antara absurditas dan kasih sayang; menertawakan keadaan tapi tetap tulus — cara ska bekerja: bercanda untuk menahan sedih.
Sementara Monkey Boots meniupkan “Free” — manifesto kebebasan yang kasar namun mudah dicerna, lagu yang cocok diputar saat angin sore menyengat dan kita ingin menari tanpa alasan.
Dan jangan lupakan jalur bawah tanah yang terus hidup meski sorot lampu bergeser.
Collonyet dengan “Siti Aminah” merekam kehidupan sederhana yang kerap diabaikan: cinta yang tidak glamor, yang terajut di ruang bengkel, terminal, dan warteg.
Rolling Door lewat “Pesawat” menaruh optimisme naif — kita terbang menembus langit imajinasi meski bahan bakarnya cuma nekat.
Purpose Tiger Clan memaksa kita berdiri dan bergerak dengan “Tiger Clan,” energi mentah yang mengingatkan bahwa ska pernah bersentuhan dengan intensitas hampir punk.
Setelah Riuh Reda
Memasuki 2000-an, pembelahan mulai terasa.
Skena yang dulu komunal perlahan terpangkas. Banyak band memilih jalur industri, masuk kompilasi, atau dirilis label besar — memicu debat klasik soal “sell out,” tapi juga membuat suara ska tersebar lebih luas.
Sementara komunitas bawah tanah menyusut, sebagian jiwa ska pindah ke playlist pribadi dan reuni musiman. Album-album kompilasi seperti Ska Klinik menandai era pasca-industri — bukti bahwa meski komunitas menipis, jejaknya masih menggantung di katalog musik Indonesia.
Ska Sebagai Kenangan Kolektif
Kini, ketika kita memutar ulang satu dari sepuluh lagu itu, yang terjadi bukan sekadar nostalgia dangkal.
Suara trompet membawa kita ke kamar kos, ke lapangan sekolah, ke Poster Café yang penuh asap rokok dan percakapan tak jelas. Kita tersenyum karena ingat masa ketika kebebasan terasa sederhana: melompat, menertawakan diri sendiri, dan merasa bahagia tanpa alasan muluk.
Ada sesuatu yang jujur tentang itu: ska — meski bukan warisan asli Nusantara — diadopsi sepenuh hati. Ia tumbuh dari percikan global, tapi menjelma jadi bahasa lokal.
Dari “Genit” yang membuat kita berani norak, sampai “Siti Aminah” yang mengafirmasi keseharian — semuanya menjadi arsip emosional generasi.
Buku seperti I Wanna Skank: Melacak Ska di Jakarta 1996–2006 menelusuri bagaimana gelombang itu lahir, bergolak, lalu mengendap — mengingatkan kita bahwa setiap demam punya awal, puncak, dan penurunan.
Masih Ada Irama di Kepala
Dua dekade berlalu.
Banyak panggung telah disapu waktu, banyak rekaman mengecil artinya di tengah lautan rilisan baru. Mungkin era itu sudah lewat — tapi tidak hilang. Ia hidup di mulut yang masih menirukan riff, di kaset yang masih diputar diam-diam, di reuni yang tiba-tiba penuh tawa saat satu intro terdengar.
Dan kalau ditanya apakah kita membutuhkan ska hari ini?
Mungkin tidak secara praktis.
Tapi sebagai memori kolektif — sebagai bukti bahwa kita pernah punya masa ketika musik memperbolehkan kita jadi konyol dan tulus pada waktu yang sama — jawabnya jelas: iya.
Karena pada akhirnya, yang kita rindukan bukan sekadar lagu; kita merindukan versi diri yang berani menari saat dunia menuntut diam.
Dan itulah yang membuat trompet-trompet offbeat itu masih punya suara di kepala kita, meski panggungnya kini lebih sering berupa memori.
Comments
Post a Comment